Makna Kenaikan Yesus dan Idul Fitri: Sebuah Refleksi Dialogis

Di tahun 2020 ini, meski pandemi Covid-19 masih begitu ganas merenggut nyawa manusia di luar sana. Manusia tetap harus pandai mengelola dan mengembangkan potensi dirinya untuk tetap bertahan di tengah pandemi yang sudah merenggut jutaan nyawa manusia di muka bumi.

Di penghujung Ramadan edisi spesial pandemi Covid-19 ini, setidaknya kita melalui dua momentum besar. Hari kemarin umat kristiani memperingati kenaikan Yesus ke Surga dan tidak lama berselang umat muslim merayakan Idul Fitri 1441 H. Kedua momen besar ini dilalui dalam suasana berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Tanpa kemeriahan, hanya ada protokol kesehatan di mana-mana. Meskipun demikian, bagi para pemeluknya, hal ini mestinya tidak menjadi masalah berarti jika niat tulus ikhlas untuk beribadah kepada-Nya bergelora dalam palung dasar keimanan.

Pada momentum lalu, umat kristiani memperingati momentum besar dalam kehidupan keberimanannya, yakni Kenaikan Yesus ke Surga. Setelah mati disalib, Yesus kemudian dikebumikan lalu naik ke Surga. Momentum kenaikan ini merupakan satu rangkaian kronologis dan salah satu ajaran yang fundamental dalam iman kristiani. Dari sini dapat dilihat bahwa pengalaman Yesus memberi pesan tentang sebuah pengorbanan dalam hidup. Pengorbanan yang menjadi induk dari segala tindakan manusia.

Yesus memberi contoh konkrit kepada umat manusia bahwa untuk menyembahnya, tidak sekedar memiliki iman dalam hati namun perlu dan sudah barang wajib untuk mengaktualisasikan ke dalam realitas konkrit—ke dalam tindakan atau amal. Tanpa amal, iman hanya fatamorgana.

Merayakan kenaikan Yesus ke Surga juga berarti merayakan berkat yang dicurahkan dalam kehidupan ini, serta merupakan sembah sujud sebagai sikap tunduk dan taat dalam kerendahan hati. Berkat dan sembah sujud merupakan ungkapan kasih manusia. Di mana berkat adalah ungkapan kasih dari Tuhan kepada seluruh ciptaan-Nya, dan sembah sujud adalah ungkapan kasih dari manusia kepada Tuhan.

Kita mengasihi Allah karena Allah lebih dahulu mencurahkan kasih-Nya kepada kita manusia. Dari muasal penciptaan-Nya, kasih Allah tak pernah sedikit pun jeda kepada seluruh ciptaan-Nya. Untuk itu, setiap manusia harus mengetahui ke mana dia hendak menuju agar bisa saling mengasihi dan menjadi saluran berkat bagi manusia serta ciptaan lainnya–“Khairun naas, anfa’uhum li naas” dawuh kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Pascamomentum Kenaikan Yesus yang tahun ini jatuh di bulan Ramadan, gantian umat muslim menyambut Hari Raya Idul Fitri setelah melengkapi puasa 30 harinya. Idul Fitri yang arti harfiahnya “kembali ke fitrah” sesungguhnya berarti kembali atau pulang kepada Allah, karena atas fitrah-Nya fitrah kita diciptakan (QS. Ar-Rum: 30).

Pada proses kepulangan ini, Haidar Bagir memberi penekanan bahwa sebenarnya tak banyak manusia sadar, sesungguhnya kehidupan manusia adalah perjalanan penuh kerinduan. Dimulai dari “kejatuhan” , dan disambung dengan keinginan pulang. Di sinilah kenaikan Yesus sendiri pun dapat dimaknai sebagai perjalanan pulang kepada-Nya.

Maka sudah sepantasnya kita mengalami kenaikan kita pada-Nya. Bahwa di puncak kenaikan (spiritual) kita—di sana sudah menanti Kekasih-sejati kita, Allah Yang Maha Pengasih, yang hanya dalam pelukan-Nya pupus sudah semua kerinduan kita, yang di haribaan-Nya, penuh sudah hasrat kita.

“Wahai jiwa yang tenteram. Pulanglah Engkau ke Pengasuh-Mu dengan rela dan direlai-Nya. Maka, masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku (yang Kucintai). Maka, masuklah ke dalam taman-surga-Ku”, demikian firman-Nya dalam Q.S al-Fajr ayat 27-30. Kembali pada Tuhan adalah perjalanan hakiki yang ditempuh oleh manusia. Pada akhirnya, akan menuju puncak cinta sejati yang tidak lain adalah kembali pada Tuhan.

Kenaikan Yesus ke Surga serupa manusia pulang ke fitrahnya—Idul Fitri. Sebagaimana syawal yang berarti peningkatan atau kenaikan yang terbit setelah teriknya Ramadan, menandakan bahwa tiap manusia yang telah selesai membakar semua ego serta ketamakan diri dalam Ramadan dapat menaiki tangga-tangga spiritual menuju pada-Nya.

Tempat tinggal atau rumah manusia adalah di sisi Tuhan. Jika hendak memasuki rumah-Nya, tak perlu berusaha mengetuk pintu rumah-Nya dari luar—karena sejatinya engkau sudah berada di dalam rumah-Nya. Wallahu a’lam bi shawwab.

Santri Pascasarjana Teologi UKDW Yogyakarta dan aktivis YIPC (Young Interfaith Peacemaker Community).