Pukul 05.00 WITA, di ruang tamu Ashram Ghandi milik Ibu Gedong Bagus Oka di bilangan Sanglah, Denpasar. Ketika itu, penulis sedang menunggu keberangkatan ke lapangan terbang Ngurah Rai –sambil minum teh, bertemu dengan putera kedua beliau, yaitu Krisna Bagus Oka. Sebelumnya, dalam sebuah pertemuan di Candi Desa, Krisna telah mengajukan gugatan. Mengapa Gus Dur selaku seorang mantan presiden di negeri kita masih bersedia dijemput oleh sebuah mobil Mercedez Benz, di samping mobil lainnya berupa mobil Toyota Land Cruiser baru? Bukankah itu pertanda masih adanya elitisme yang diikuti oleh seorang mantan presiden dan menjauhkannya dari rakyat?
Gugatan itu dijawab oleh Agus Indra, salah seorang keponakannya sendiri, dengan argumentasi bahwa seorang mantan presiden, tidak perlu goyah dalam komitmennya terhad ap rakyat jelata. Kesederhanaan itu, adanya terdapat dalam jiwa, bukannya dalam kendaraan yang dinaiki. Di sini, sebuah pertukaran pendapat sekaligus membuktikan bahwa dalam keluarga Ibu Gedong perbedaan adalah sesuatu yang lumrah. Penulis teringat pada keluarga sendiri, yang membiarkan meja makan menjadi tempat perdebatan. Begitu banyak persamaan antara keluarga Ibu Gedong –yang saat ini berusia 80 tahun, dengan keluarga ibu penulis yang membesarkan anak-anaknya dalam suasana berdebat, tetapi sekaligus bertanggung jawab atas tugas yang dipikul.
Hal semacam inilah yang menjadi kesan penulis ketika mengikuti perbedaan pendapat antara Krisna dan Indra. Hanya dengan menggalakkan perdebatan seperti itulah kita akan mampu mencapai kebesaran dalam menunaikan tugas dan amanat masing-masing. Dan, adagium ini penulis pegangi hingga saat ini. Sekaligus merupakan salah satu kunci dalam proses demokratisasi yang berjalan di negeri kita dewasa ini. Bahwa, demokrasi hanya akan berwujud dalam sebuah perbedaan, bukannya hasil dari sebuah proses penyeragaman.
****
Krisna menyampaikan pada penulis, bahwa ia aktif dalam memperbaiki hutan suaka. Begitu banyak tumbuh-tumbuhan langka yang terdapat di negara kita, dengan tidak memperoleh perhatian yang cukup dari orang-orang yang mestinya bertanggung jawab dalam pelestarian hutan. Suaka yang ditanganinya sekarang terletak di sebelah timur Singaraja, di daerah pantai utara Bali. Kawasan ini, adalah salah satu dari hutan lindung langka yang ada di negeri ini.
Dalam perjalanannya ke Amerika Serikat, ia pernah mengunjungi sebuah pusat pelestarian hutan di Fermont, kawasan timur laut Amerika Serikat. Di daerah yang dingin itu ternyata terdapat sebuah pusat pelestarian tumbuh-tumbuhan daerah tropis. Para aktivis di tempat itu –yang datang dari tempat jauh, seperti Ithaca (Universitas Cornell) dan Michigan (Universitas Calamazoo), sangat tertarik dengan pelestarian hutan tropis dan mereka membuat rumah kaca (green house) untuk keperluan tersebut. Penulis lalu teringat dengan rumah-rumah kaca di negeri Belanda yang menumbuhkan bunga tulip sepanjang tahun, hingga menghasilkan devisa sedikitnya US $ 200 juta dari ekspor bunga tersebut ke negeri-negeri lain.
Krisna menyatakan bahwa pusat pelestarian hutan tersebut bersedia membiayai sebuah stasiun penelitian di Bali dan sebuahnya lagi di Jawa Timur. Melalui stasiun tersebut, Krisna akan dapat melanjutkan upaya melestarikan tanam-tanaman langka di hutan yang ditekuninya di kawasan timur Singaraja itu. Tentu, ini adalah sebuah upaya yang sangat menarik yang harus kita sambut dengan gembira. Masih sangat sedikit orang-orang yang memperhatikan hal-hal seperti ini. Tak heranlah jika kemudian kita menjadi sangat tergantung pada negara-negara yang disebut maju itu. Dan tak heran pula jika akhirnya kita banyak berhutang pada mereka, hingga jadi lahan manipulasi saja. Sebab, perusahaan-perusahaan besar (Multi National Coorporation, MNC) telah menguasai perekonomian negara-negara berkembang dan menentukan pola pembangunan mereka. Pasaran dan sumber-sumber kredit telah dikuasai oleh negara-negara maju. Dari sini, tak heran pula jika terorisme internasional dapat berkembang pesat, sebagai reaksi balik tidak wajar terhadap kenyataan tersebut.
****
Krisna adalah contoh dari orang-orang yang mencoba untuk mengabdi pada bangsanya melalui pengembangan profesi yang dipilih. Selama ia memilih untuk menyelamatkan hutan, dan tak memanipulasikannya sebagai kepentingan diri sendiri, selama itu pula ia berhak dinamakan pejuang bagi kepentingan bangsanya.
Jadi, jelaslah bahwa, sikap ketergantungan seseorang atau lembaga terhadap negara lain haruslah diukur melalui hal ini, yaitu bagi kepentingan siapa ia bekerja. Kalau ia bekerja untuk melestarikan milik bangsa, berarti ia berjuang untuk bangsa tersebut. Begitu sebaliknya, jika ia bekerja untuk kepentingan cari untung melalui perusahaan-perusahaan raksasa –tempat ia bekerja, berarti ia akan jadi orang yang sangat bergantung pada pihak lain. Kita berharap, bantuan yang diterima Krisna saat ini, digunakan untuk memperjuangkan terpeliharanya kelestarian tanaman-tanaman langka di hutan kita.
****
Apa yang dilakukan Krisna melalui upayanya itu, merupakan bagian dari upaya mengembangkan perekonomian rakyat. Perekonomian jenis inilah, yang seharusnya menjadi perhatian kita. Beruntunglah penulis, yang memiliki teman-teman seperti Marzuki Usman dan KH. Imam Churmaen (anggota DPR RI). Karena, merekalah yang memimpin para aktivis dan perintis muda kita untuk mengembangkan perekonomian yang sesuai dengan kebutuhan rakyat. Bukan konsep perekonomian yang hanya mengabdi pada segelintir konglomerat saja. Para perintis itulah yang menggariskan multi aspek kita agar tidak didominasi oleh pemilik modal dan kapitalisme internasional. Juga, melalui kegiatan merekalah sikap politis kita yang menolak campur tangan asing dalam kehidupan kita –yang, kemudian diejawantahkan dalam kehidupan kita di luar kawasan politik.
Berpulang pada para aktivis muda seperti Indra dan banyak orang-orang lain terbeban kewajiban yang berat untuk memelihara dan menggunakannya dalam persaingan di dunia internasional. Bukannya gaya sejumlah pempimpin Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang merasa sudah sangat hebat dengan pengalaman mereka yang hanya itu-itu saja, hingga mereka lebih bersikap menggurui para pemimpin masyarakat, termasuk para pemimpin politik.
Jakarta, 5 Oktober 2001
Tulisan ini diambil dari buku Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (Yogyakarta: LKiS, 2002) hlm. 197-200.
Sumber: santrigusdur.com