Covid-19 Membawa Hidup Makin Sekuler?

Jumat 29 Mei lalu seorang teman di grup WA melontarkan pernyataan: “Sekularisasi ala Covid ini sukses besar; bahkan hari ini aku nganti lali nek jumat trus ono jumatan”. Lalu dilanjutkan: “Perlu survei empiris ki; how secular are you?”

Teman yang lain menimpali pesan tersebut: “Jebul ra jumatan yo biasa wae ki…”, sambil diberi emoticon tertawa lebar. Yang lain menimpali: “Nikmat juga ya jadi sekuler?”; ditutup dengan emoticon senyum. Anggota grup yang lain mengirim emoticon tertawa lebar, kemudian ada yang menyahut: “Aku yo lali, ket Maret ora jumatan” disertai emoticon kera menutup wajah tanda malu. Pesan itu pun langsung disahut anggota lain: “Perjumat iki total 11x (tidak jumatan), mendekati 4x kekafiran”; ditambahi emoticon nutup mulut”.

Masa Krisis dan Religiusitas

Belum banyak kajian pengaruh Covid-19 terhadap religiusitas seseorang, apakah pandemi ini menyebabkan orang makin religius atau makin jauh dari agama. Namun riset tentang pengarus masa krisis yang diakibatkan oleh perang dan bencana alam sudah ada. Antropolog Josep Hendrich bersama empat koleganya (Bauer, Cassar, Chytilova, dan Purzycki) menulis artikel berjudul “War Increases Religiosity” di jurnal Nature Human Behavior (2019). Riset mereka dilakukan di tiga wilayah—Uganda, Sierra Leone, dan Tajikistan—yang sebelumnya mengalami konflik dan perang saudara. Lengkapnya mereka menulis:

… We analyse survey data from 1,709 individuals in three post-conflict societies— Uganda, Sierra Leone and Tajikistan. The nature of these conflicts allows us to infer, and statistically verify, that individuals were quasirandomly afflicted with different intensities of war experience—thus potentially providing a natural experiment. We then show that those with greater exposure to these wars were more likely to participate in Christian or Muslim religious groups and rituals, even several years after the conflict. The results are robust to a wide range of control variables and statistical checks and hold even when we compare only individuals from the same communities, ethnic groups and religions (2019).

Ekonom Jeanet Sinding Bentzen, menulis tentang keterkaitan antara bencana alam dengan religiusitas dalam artiklenya berjudul “Act of God? Religiosity and Natural Disaster Across Subnational World District” yang diterbitkan dalam The Economic Journal (2019). Menggunakan gabungan data set global tentang religiusitas dengan data spasial pada bencana alam, Jeanet menyimpulkan bahwa bencana alam memicu orang makin religius.

Mengapa masa sulit akibat perang dan bencana alam mengantarkan orang makin religius. Salah satu jawabnya adalah karena ritual agama menyediakan ruang dan kapasitas untuk menghadapi ketidakpastian dan trauma. Mengutip pendapat antropolog Michael Jackson dalam Existential Anthropology (2005), Andrew Mark Henry dalam kanal Youtube-nya berjudul “Has Religion Surge During Pandemic?” menyatakan bahwa ritual agama adalah procedures invented by human to help regain a sense of control during uncontrollable events. Dari perspektif ini, ritual agama seperti berdoa, salat, misa, sesembahan, slametan, dapat mengantarkan pelakunya merasa tenang dan pasrah di saat menghadapi masa sulit seperti rasa sakit, kehilangan harta hingga kematian. Solidaritas kolektif dalam masyarakat agama atau jemaah menjadi media saling menguatkan antarmasyarakat, terlebih hampir semua agama kaya akan amalan ibadah bersama atau komunal.

Covid-19: Kita Makin Religius atau Sekuler?

Apakah masa sulit akibat perang dan bencana alam yang berdasar riset di atas telah mengantarkan orang makin religius juga terjadi pada wabah Covid-19? Jawaban dari pertanyaan ini tentu tidak sederhana. Di tengah masih sedikitnya riset tentang korelasi antara Covid-19 dengan religiusitas, mari kita cari argumen berdasar “dugaan”. Penggunaan hasil riset tentang kondisi krisis masa perang dan bencana alam untk memprediksi pengaruh Covid-19 terhadap keberagamaan kita di masa pandemi perlu cermat dan hati-hati. Karakteristik masa krisis di saat pendemi ini berbeda dengan masa perang dan bencana alam.

Salah satu perbedaanya adalah protokol kesehatan masa pandemi yang harus ditaati oleh masyarakat, termasuk komunitas agama. Keharusan social and physical distancing dan masa karantina (lockdown) hingga lebih dari tiga bulan dengan pembatasan mobilitas sosial yang sangat ketat telah menganggu kegiatan dan layanan keagamaan yang sebelumnya pada masa normal dilakukan secara bersama-sama (berjemaah). Kampanye #dirumahaja, disertai pengarusutamaan kerja di rumah dan ibadah di rumah serta penutupan rumah-rumah ibadah lambat laun tidak hanya menjadi “kelaziman” namun juga “kenyamanan” baru. Pernyataan seorang teman di grup WA yang dikutip pada awal tulisan ini tentang mulai “nyaman” tidak jumatan, menggarisbawahi hal ini.

Jika kondisi absennya kegiatan keagamaan di ruang publik dan mulai munculnya kenyamanan tidak melakukan ibadah jemaah di tempat ibadah secara bersama terus berlangsung, maka terjadinya sekularisasi pada dataran privatisasi agama pada level individu tidak dapat dipungkiri. Pada saat yang sama, pemberitaan tentang munculnya kluster-kluster baru penyebaran virus Corona akibat dari kegiatan keagamaan kolektif terus dimunculkan, disertai dengan komentar-komentar negatif tentang kelompok keagamaan tertentu.

Opini ini seolah menempatkan komunitas agama sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penambahan angka pasien positif Covid-19. Inilah alasan yang sering dilontarkan oleh sebagian kelompok yang penuh curiga selalu mengangap wabah Covid-19 ini sebagai bentuk konspirasi pihak tertentu untuk mendegradasi agama di masyarakat.

Untungnya, otoritas agama dan ormas keagamaan sangat bijak dalam menyikapi pandemi ini. Wabah didekati tidak hanya dari kacamata agama/teologis, namun juga pertimbangan sains kesehatan. Muncul berbagai inovasi dan penyesuaian dalam beragama di masa pandemi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Teknologi informasi memberikan saluran alternatif yang menyediakan ruang kegiatan keagamaan bersama di ruang maya. Maka muncul kegiatan pengajian online, tahlilan online, tadarus online, jumatan online, syawalan/halal-bil-halal online, misa online, dan lain-lain.

Meski kegiatan keagaman bersama secara daring tersebut tidak dapat mengganti kebutuhan physical touch antarjemaah, namun setidaknya menyediakan saluran untuk saling mengisi, berbagi dan menguatkan secara kognitif dan afektif di masa sulit ini. Belum lagi bila kita perhatikan sosial media di masa pandemi ini ternyata tidak pernah sepi dari pesan-pesan keagamaan.

Berdasar argumen ini, tampaknya pandangan yang mengkhawatirkan Covid-19 akan menjauhkan kita dari agama belum memiliki bukti yang meyakinkan. Bahwa wabah ini telah memicu perubahan pada sebagian cara kita dalam beragama, itu pasti. Namun untuk sampai pada kesimpulan Covid-19 menjadikan masyarakat makin sekuler atau sebaliknya, tentu diperlukan penelitian yang mendalam agar jawaban yang diperoleh lebih komprehensif.

Sumber: arrahim.com

Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ketua Umum ASAI (Asosiasi Studi Agama Indonesia).