Social Media

Sukarno, Gus Dur, dan Komitmen Kebangsaan Kaum Nasionalis dan Agamais

Sejak era kemerdekaan, masih saja, ada beberapa kelompok dari masyarakat kita yang tidak bisa menerima negara ini, Indonesia, secara utuh. Terutama mereka yang lebih menginginkan terbentuknya negara yang berlandaskan ajaran satu agama, Islam. Tentu hal ini melahirkan penolakan-penolakan terhadap aspek fundamental yang menjadi bagian penting atas berdirinya negara Indonesia. Salah satunya ialah penolakannya terhadap Pancasila sebagai ideologi negara.

Apa yang kita peringati setiap tahun sebagai hari lahirnya Pancasila, 1 Juni, adalah sebuah peristiwa saat Sukarno menyampaikan pidatonya yang berisi lima prinsip bagi Indonesia Merdeka pada sidang BPUPKI, (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemedekaan Indonesia) di tahun 1945. Itu berarti dua setengah bulan sebelum dia dan M. Hatta mengatasnamakan bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Di tengah maraknya kelompok-kelompok yang ingin mengganti Pancasila sebagai ideologi negara (misal, Survei The Wahid Foundation pada Mei 2016 kepada 1.626 orang siswa peserta Perkemahan Rohis, ditemukan bahwa 37 persen sangat setuju dan 41 persen setuju Indonesia menjadi negara Islam dengan membentuk kekhalifahan), menjadi penting untuk menggali pemikiran Sukarno tentang (embrio) Pancasila.

Ada lima prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pasca-kemerdekaan: Kebangsaan Indonesia; internasionalisme atau perikemanusiaan; mufakat atau demokrasi; kesejahteraan sosial; dan ketuhanan. Kebangsaan Indonesia adalah titik berangkat Sukarno dalam mengembangkan prinsip-prinsip berikutnya.

Di dalam tulisannya yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, dia menyitir pendapat Ernest Renan bahwa yang disebut sebagai bangsa bukan merujuk pada jenis ras, bahasa, atau agama, tapi satu asas persatuan yang dibangun di atas dua hal: memiliki latar belakang nasib yang sama dan memiliki tujuan yang sama.

Sukarno sadar betul bahwa nasionalisme akan mudah terjebak ke dalam chauvinisme jika tidak dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena itu, prinsip kedua yang menyusuli secara langsung prinsip nasionalisme adalah prinsip internasionalisme. Istilah ‘internasionalisme’ di sini diartikan sebagai kekeluargaan bangsa-bangsa. Dalam pidatonya, Soekarno menjelaskan:

“Kita bukan sadja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saja jang kedua. Inilah filosofisch prinsipe jang nomor dua, yang saja usulkan pada Tuan-Tuan, jang boleh saja namakan internasionalisme.”

Sukarno mengutip Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa “Saya seorang nasionalis, tapi kebangsaan saya adalah kemanusiaan (my nationalism is humanity)”. Pandangan Gandhi ini telah jauh-jauh hari diterima oleh Sukarno.

Dalam salah satu tulisannya yang terbit di Koran Suluh Indonesia Muda, 1928, Sukarno mengutip Gandhi: “Buat saja maka tjinta saja pada tanah air itu, masuklah dalam tjinta segala manusia. Saja ini seorang patriot, oleh karena saja manusia dan bertjara manusia, saja tidak mengetjualikan siapa djuga.” Dengan semangat ini, Gandhi sanggup mempersatukan Islam, Hindu, Parsi, dan Sikh dalam perlawanan terhadap penjajahan Inggris di India.

Adalah menarik, mengapa Sukarno tidak menggunakan istilah ‘humanisme’, tapi ‘internasionalisme’. Dalam tulisan di atas jelas sekali apa maksud dari istilah ini. Istilah internasionalisme bisa berorientasi kepada humanisme universal, dalam arti bahwa nasionalisme Indonesia tidak boleh menghalanginya pada persaudaraan bangsa-bangsa. Namun istilah itu juga merujuk pada dua kelompok nasionalis Indonesia yang perjuangannya berorientasi melampaui nasionalisme, yaitu kelompok Islamis dan Marxis.

Sukarno bertanya apakah dalam konteks perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan kelompok nasionalis bisa bersatu dengan kelompok Islamis yang tidak mengenal batas bangsa dan Marxis yang perjuangannya berorientasi internasional? Dia menjawab Ya. Mengapa? Karena seluruh orang yang berada dalam tiga kelompok itu sebetulnya terikat dalam satu perasaan kesejarahan bersama dan memiliki mimpi yang sama, yaitu Indonesia merdeka.

Ia kembali kepada Renan bahwa hakekat bangsa sesungguhnya adalah perasaan senasib sehingga terikat dalam perasaan satu kelompok; dan kelompok ini memiliki cita-cita bersama, tidak peduli ras, bahasa, dan agamanya.

Tulisan tahun 1928 ini kemudian muncul sangat nyata pada prinsip ketiga yang ditawarkannya, yaitu demokrasi atau permusyawaratan-perwakilan. Sukarno menjelaskan seperti ini: “Kemudia apa dasar jang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusjawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaja. Tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, satu buat semua, semua buat satu.”

Kita tahu bahwa Pancasila yang diusulkan Sukarno sebagai basis persatuan kehidupan bangsa Indonesia terus mengalami perdebatan. Perdebatan ini memuncak dalam Sidang Konstituate 1957-1959 sebelum pada akhirnya dikeluarkan Dekrit Presiden untuk mengakhiri perdebatan itu.

Saat Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin, Sukarno merealisasikan mimpinya tentang persatuan Indonesia yang mampu mengikat tiga kelompok itu dalam Nasakom (Nasionais-Agama-Komunis). Nasakom adalah mimpi Sukarno muda tentang bersatunya kelompok nasionalis, Islamis, dan Marxis dalam tubuh Indonesia Merdeka. NU yang dalam skema Nasakom mewakili kaum agama, sejak itu dituduh oleh banyak pihak sebagai kelompok yang berpolitik secara pragmatis.

Menarik sekali jika kita mengamati perjalanan Pancasila ini. Ketika Indonesia memasuki era Orde Baru, salah satu PR politik yang mengganjal penguasa waktu itu adalah penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi berbangsa dan bernegara, terutama dari kelompok-kelompok Islam. Saat hampir semua ormas Islam menolak Pancasila sebagai asas tunggal, NU dibawah kepemimpinan K.H. Achmad Siddiq (Rais Am Syuriah PBNU) dan K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Ketua Umum PBNU) yang terpilih pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 menerima penuh Pancasila sebagai asas tunggal.

Dalam dokumen Khittah Nahdliyyah dinyatakan dengan tegas, “Setiap warga Nahdlatul Ulama harus menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.” Sekeras apa pun Gus Dur mengkritik otoritarisime Orde Baru saat itu, dia sama sekali tidak kehilangan arah terkait dengan sikapnya terhadap Pancasila.

Di tahun 90-an, Gus Dur dengan sangat tegas menyatakan:

“Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi umat Islam.”

Mengapa sebegitu kuatnya Gus Dur mempertahankan Pancasila? Jawabannya adalah karena Pancasila-lah yang memastikan kita akan tetap utuh sebagai bangsa. Pada 4 Februari 1994, Gus Dur menerbitkan artikelnya di Kompas yang berjudul “Individu, Negara, dan Ideologi.” Artikel ini sangat panjang untuk ukuran sebuah artikel koran. Di dalamnya dia menyoroti dengan sangat tajam praktik manipulasi Pancasila oleh rezim otoriter Orde Baru. Sekalipun demikian, di salah satu paragrafnya, dia menyatakan dengan tegas:

“Kedudukan ideologi yang berlingkup nasional seperti itu, termasuk di dalamya Pancasila sebagai ‘ideologi nasional’ bangsa kita menjadi sangat sentral dalam kehidupan bangsa dan negara. Ia merupakan ikatan formal yang diturunkan baik dari Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-Undang Dasar….”.

Suatu ketika di era pasca-Reformasi, di sebuah forum seminar di Jakarta, Bondan Gunawan (alm.), seorang Soekarnois sejati dan sahabat Gus Dur, pernah menyatakan, mengapa ia yang seorang nasionalis-Sukarnois menjadi pengikut setia Gus Dur? Menurutnya, hal itu karena Gus Dur adalah seorang nasionalis sejati yang sanggup memberi roh religius-universal terhadap nasionalisme.

Nasionalisme adalah semangat kebangsaan yang merangkum segala keragaman di dalamnya. Sekalipun demikian, nasionalisme tidak boleh terjebak dalam pengunggulan bangsa (chauvinisme) yang karena itu, ia harus tetap tertambat dalam persaudaraan kemanusiaan universal. Kita boleh membangun persaudaraan berdasarkan etnis atau agama, namun kita juga diikat dalam persaudaraan kebangsaan, dan kemanusiaan.

Sumber: arrahim.id

Dewan Pakar Jaringan GUSDURian. Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI.