Sampai saat ini, pastilah belum – atau tak pernah – ada orang yang bisa menandingi Gus Dur dalam banyaknya mengumpulkan julukan. Itu. Mereka yang melihat betapa Gus Dur begitu fanatik dan gigihnya menyesuaikan sikapnya dengan firman Allah “Walaqad karramnaa banii Adama…” (Q.17:70), mungkin akan menjulukinya humanis. Mereka yang melihatnya begitu ‘taat’ dan gigih mengikuti jejak orang tua dan kakeknya dalam mencintai tanah air, mungkin akan me-laqabi-nya nasionalis. Mereka yang melihat kiprahnya di bidang kesenian dan budaya (ingat Gus Dur pernah menjadi ketua DKJ dan juri FFI), menjulukinya budayawan atau seniman.
Mereka yang menyaksikannya sering mengisi acara dalam seminar-seminar dan menuliskan pemikiran-pemikirannya, menjulukinya cendekiawan dan pemikir. Demikian seterusnya. Pendek kata karena pergaulan dan perhatiannya sedemikian luas, sebagai public figure, Gus Dur pun mendapat julukan macam-macam. Orang yang suka, menjulukinya dengan julukan-julukan yang baik-baik; sedangkan mereka yang tidak suka pun dengan bebas menjulukinya dengan julukan-julukan yang buruk-buruk.
Bahkan seringkali satu sikap yang sama dari Gus Dur dipandang berbeda oleh dua pihak yang berlawanan. Yang suka memandangnya sebagai hal yang positif dan yang tidak suka tentu saja memandangnya negatif. Maka jangan heran bila suatu ketika Gus Dur dicap plin-plan oleh satu pihak dan dalam ketika yang sama, pihak lain mengatakan bahwa Gus Dur sedang melakukan taktik sesuai strateginya. Melihat ke-nyleneh-an Gus Dur, satu pihak menganggapnya gila, satu pihak yang lain menganggapnya wali.
Begitu saja kok repot. Jadi, entah mana yang lebih dahulu: sikap Gus Dur yang menimbulkan pro-kontra, kemudian terjadi ada yang suka dan yang tidak suka; atau sebaliknya: ada yang suka dan tidak suka kepada Gus Dur, lalu melihat apapun sikap Gus Dur dengan kacamata masing-masing? Bagaimanapun, Gus Dur sendiri ikut bertanggung jawab dalam hal ini. Atau bahkan Gus Dur-lah ‘akar masalah’-nya.
Yang saya tahu, Gus Dur itu – meski orang Jawa – tidak termasuk jenis orang yang senang menyimpan apa yang dia ingin katakan atau lakukan, bahkan apa yang dia pikirkan. Keyakinannya bahwa perbedaan itu merupakan hal yang fitri dan termasuk bagian dari sunnatullah begitu kuat, sehingga tidak pernah ada padanya rasa khawatir sedikit pun bahwa apa yang akan ia katakan atau lakukan tidak disetujui orang lain. Dia juga sering kali tidak setuju sikap orang, mengapa pusing-pusing dengan ketidaksetujuan orang terhadap sikapnya. Di antara kata-katanya yang masih saya ingat setiap habis berterus terang (diucapkan ketika kami- saya dan Gus Dur- masih suka jalan-jalan bersama di Kairo tempo dulu), “Saya katakan atau tidak, itulah pendapat saya”. Dan dia lebih suka mengatakannya. Pikirannya mungkin, kalau tidak saya kemukakan, bagaimana orang tahu sikap atau pendapat saya?
Orang lain mungkin ada berfikir, sesuatu yang diyakini benar atau baik, belum tentu benar dan baik dikatakan. Gus Dur saya kira tidak begitu. Bila dia meyakini apa yang akan dikatakan benar, dia akan mengatakannya. Bila dia yakin sesuatu baik dilakukan, dia akan melakukannya. Kalau dia sangat yakin dia akan ngotot. Orang nantinya tidak setuju ya biar. Dia sendiri kan juga sering tidak setuju pendapat atau sikap orang lain. Kalau orang lain yang tidak setuju juga ngotot? Ya adu argumen. Begitu saja kok repot…!
Contoh yang masih segar dalam ingatan adalah pendapatnya mengenai pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang larangan Komunisme, Leninisme, dan Marxisme. Itu pendapatnya; dia katakan atau tidak. Gus Dur mungkin tidak mempertimbangkan reaksi orang terhadap pendapatnya itu, terutama reaksi orang yang sejak awal tidak menyukainya. Dia kelihatanya juga cuek kalaupun pendapatnya itu bisa dijadikan senjata bagi mereka yang tidak menyukainya untuk menyerang atau menyudutkannya. ‘Saya toh cuma menyampaikan pendapat.’ Begitu mungkin pikirnya. Tentu tak terpikirkan oleh Gus dur bahwa orang kita masih banyak yang tomtomen, trauma dengan kebiasaan zaman Presiden Soeharto yang kalau punya pendapat akan menjadi kenyataan, karena MPR dan DPR waktu itu dan selama Orde Baru hanya ikut apa kata presiden. ‘Keberanian berbeda’ itu saya pikir, antara lain dan terutama karena Gus Dur sudah terbiasa berbeda dalam lingkungannya, termasuk dalam keluarganya. Almarhumah Ibu Wahid Hasyim (saya mengenal sebelum saya kenal Gus Dur) adalah seorang ibu dan sekaligus kepala keluarga yang- seperti juga Almarhum Kiai Wahid Hasyim sendiri, rahimahumallah – sangat demokrat, dan menghormati perbedaan. Lihatlah putra-putra beliau dalam pemilu kemarin, Gus Dur mendukung PKB, Mbak A’isyah Golkar, Mas Solahuddin di PKU, dan Gus Hasyim di PDI-P.
Kakek-Kakek, paman-paman, dan kiai-kiainya yang saya kenal, juga orang-orang yang minimal tidak pernah menganggap perbedaan sebagai hal yang haram. Kiai Bisri Sansuri dan Kiai Wahab Hasbullah, ‘dwi tunggal’ yang hampir tidak pernah berpisah dalam memimpin NU -Allah Yarhamhum-misalnya, hampir selalu berbeda pendapat dalam berbagai persoalan, Mungkin karena yang satu pendekatannya lebih kepada fiqh dan yang lain ushul fiqh. Dan terbukti perbedaan antara mereka yang sering kali begitu tajam, tidak pernah menimbulkan persoalan di kalangan NU; bahkan banyak yang menganggapnya rahmah.
Satu dan lain hal, karena orang NU banyak; jadi dalam masalah yang menyangkut kepentingan orang banyak, ada yang merasa mantap didukung Kiai Bisri, ada yang merasa ayem diayomi Kiai Wahab. Pak Yusuf Hasyim, paman Gus Dur, mungkin andapun sudah tahu sendiri; bagaimana setiap kali berbeda bahkan saling kecam dengan keponakannya yang dicintainya itu.
Di antara kiai-kiai Gus Dur yang sempat saya kenal secara pribadi, antara lain Kiai A. Fattah dan Kiai Ali Maksum – Allah yarhamhum. Mereka juga demikian. Mereka ini mungkin sedikit kiai yang mau – bahkan agaknya senang – berdikusi dengan anak-anak muda, termasuk santrinya sendiri.
Dipuja sekaligus dibenci konsekuensi -yang barangkali sangat disadari oleh Gus Dur sendiri- dari sikapnya yang tidak suka ‘memendam sikap’ dan cueknya terhadap reaksi pro-kontra orang itu, Gus Dur pun menjadi tokoh kontroversial sejati yang dipuja sekaligus dalam waktu yang sama dibenci. Konsekuensi ini menurut saya justru lebih merugikan kedua belah pihak yang memuja dan membencinya, ketimbang Gus Dur sendiri.
Orang yang memuja atau membenci – dua sikap tatharruf yang tak mungkin jejeg – bisa dipastikan tidak akan mampu bersikap adil dan obyektif. Anda dapat membuktikannya sendiri dalam kumpulan pendapat di buku ini. Pendapat-pendapat dalam buku ini adalah pendapat-pendapat tokoh intelektual dan pakar. Ketidakadilan dan ketidak-obyektifan mereka yang memuja atau membenci itu, tidak hanya terhadap hal yang menyangkut pribadi Gus Dur sendiri, tapi bisa merembet ke hal-hal lain yang ada kaitannya dengan pembicaraan mereka tentang Gus Dur.
Dalam hal ini, menurut saya, pendapat mereka tak akan banyak manfaatnya, kecuali mungkin untuk memuaskan diri mereka sendiri.
Sebagai contoh, saya mendapati dalam sementara tulisan di buku ini, kekeliruan yang tidak seharusnya terjadi seandainya si penulisnya tidak terlanjur dihinggapi sikap tatharruf, seperti misalnya penyebutan “Kembali ke Khittah 26″ untuk ” Khittah Nahdlatul Ulama” dan anggapan bahwa Khitthah Nahdlatul Ulama itu merupakan pikiran Gus Dur yang merupakan sikap politik dan didorong oleh kepentingan politik. (Orang-orang yang ikut merumuskan Khitthah dari awal bersama Gus Dur, masih banyak yang hidup. Mereka mungkin akan tertawa atau sedih melihat bagaimana orang bicara begitu pasti tentang Khitthah yang sama sekali tidak dia mengerti; hanya semata-mata karena koran terlanjur menyebutnya ahli, pakar atau peneliti).
Bila tokoh intelektual dan pakar saja bisa kehilangan sikap adil dan obyektivitas, ketika membicarakan Gus Dur, bagaimana dengan yang lain?
Waba’du; boleh jadi – wallahu a’lam – Gus Dur memang merupakan ‘pelajaran’ atau ‘pengajaran’ paling keras dari Allah kepada bangsa yang tak kunjung bisa berbeda dan bersikap adil ini.
Mulai zaman kerajaan hingga ‘raja’ Soeharto, bangsa ini boleh dikata tidak pernah diajari untuk berbeda. Bahkan yang selalu dididikan oleh para penguasanya – terutama penguasa orde baru – adalah penyeragaman (Ingat kuningisasi kemarin yang sengaja digalakkan seperti halnya korupsi, koneksi, nepotisme, pelecehan hukum dsb.) Hingga tanpa terasa, di Republik ini perbedaan yang paling fitri pun masih dipandang sebagai hal yang angker, Perbedaan sekecil apapun disini bisa menjadi masalah. Orang yang berbeda diidentikkan dengan musuh, Dan pada gilirannya orang pun sulit bersikap adil dan obyektif. Oleh karena itu jangan heran bila demokrasi disini masih terus hanya -atau baru- menjadi impian dan slogan. Bagaimana demokrasi bisa hidup di negeri dimana bangsanya tidak mampu berbeda dan bersikap adil?
Penjelasan tentang ke-fitri-an perbedaan dan anjuran bersikap serta berpikir adil dari agama sendiri seolah-olah tidak mempan menginsyafkan kaum beragama di negeri ini; kemungkinan besar ya akibat pendidikan penyeragaman dan ketidakadilan yang begitu lama dan intens itu.
Barangkali – dan mudah-mudahan – karena sayang Allah kepada bangsa ini, Ia pun terus ‘mengingatkan’ dengan setiap kali memperlihatkan fenomena-fenomena kontroversial yang – betapapun ingin kita menyeragamkan- tak pernah dapat menyatukan pandangan kita. Ambil contoh, berulangkalinya terjadi perbedaan hari raya, baik iedul fitri maupun adha. Betapapun hebatnya argumen masing-masing pihak, tetap saja tak mampu membuat pihak lain sependapat. Masing-masing hanya akan bersikap sesuai keyakinan sendiri. (Idul Adha kemarin malah lebih istimewa. Keputusan atau Ikhbar PBNU berbeda dengan keputusan pemerintah yang nota bene presidennya mantan ketua umum dan menteri agamanya mantan rais syuriyah PBNU. Bagaimana anda menjelaskan fenomena ini?).
Boleh jadi karena berkali-kali kita tidak bisa mencerdasi ‘pelajaran-pelajaran’ Allah yang diberikan secara itu, Ia pun memberikan pelajaran puncak : memberikan kepada kita seorang imam yang paling kontroversial yang pernah dimiliki Republik Ini. Tokoh kontroversial yang sedikit pun tidak mempunyai rasa takut terhadap perbedaan. Gus Dur!
Dipilih Allah
Bukan Poros Tengah yang memberi kita presiden Gus Dur, bukan Amien Rais, bukan NU, apalagi PKB – partai yang dideklarasikan Gus Dur sendiri. Tanyakan kepada hati kecil orang-orang Poros Tengah dan fraksi-fraksi maupun faksi-faksi yang ada di MPR, termasuk Amien rais sendiri: apakah Gus Dur memang menjadi pilihan mereka untuk menjadi Presiden? Asal mereka jujur kepada diri sendiri, saya berani bertaruh mereka semua pasti akan menjawab tidak.
Dari sekaian juta orang yang segar bugar, sekian ribu politisi, sekian ribu ahli politik, sekian ribu tokoh masyarakat, dan sekian ribu pakar tata-negara; bukankah aneh, Gus Dur yang terpilih menjadi presiden? Perlu diingat pula, Gus Dur yang secara resmi bukan tokoh partai politik maupun tokoh pemerintahan yang sedang berkuasa dan bukan pula milioner, dipilih secara demokratis – bahkan paling demokratis dalam sejarah Republik ini – oleh MPR hasil pemilu yang demokratis dalam era keterbukaan dimana setiap orang bisa -tidak seperti kemarin-kemarin – menyampaikan aspirasinya sebebas-bebasnya. Gus Dur dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya tidak lagi ada yang sakit gigi seperti tempo hari.
Jadi, minimal menurut keyakinan saya sendiri, Gus Dur -tokoh kontroversial sejati yang ‘suka’ berbeda ini- memang dipilih Allah untuk memberikan pelajaran kepada kita, bangsa yang selama ini terus-menerus hanya dididik bersikap seragam dan tidak menghargai keadilan.
Wallahu a’lam.
Sumber: santrigusdur.com