Mengapa Politisi Butuh Buzzer?

Saya menduga, mungkin 5 hingga 10 persen orang yang membaca tulisan ini adalah buzzer politik, yang tugasnya adalah menggemakan dukungan pada politisi tertentu, sekaligus menebarkan serangan secara sistematis pada lawan-lawan politisi tersebut. Ini tugas profesional, tentu saja. Para buzzer itu dibayar untuk menebarkan suara kemeresek di jagat politik. Fenomena ini sebenarnya wajar dalam dunia politik dan bisnis. Hanya saja, Indonesia menunjukkan gejala munculnya buzzer secara sangat signifikan. Ini terlihat dari gaduhnya dunia medsos sejak pemilihan presiden 2014 dan disusul oleh pemilihan gubernur DKI 2017.

Pertanyaannya: mengapa politisi butuh buzzer? Jawaban gampangnya adalah: sebab ini eranya medsos. Keputusan politik banyak orang mungkin dipengaruhi apa yang mereka serap di jagad digital. Politisi paham betul akan hal ini, sehingga mereka mengalokasikan dana cukup signifikan untuk membayar buzzer agar citra mereka naik cepat di mata netizen.

Tugas buzzer sederhana saja, yakni menyaru sebagai netizen biasa yang secara sukarela mengabarkan kelebihan dan kehebatan seorang politisi, sekaligus keburukan para politisi saingannya. Dalam kehidupan nyata (dalam arti bukan di dunia maya), para pedagang keliling sebenarnya sudah lama memanfaatkan jasa seseorang untuk menyaru sebagai warga biasa, dan mempengaruhi orang-orang agar membeli produk yang dijual. Orang Jawa mengenalnya sebagai dolop. Paling sering kita dapati dolop itu meng-endorse dagangan tukang obat keliling yang biasanya menggelar jualan sambil cuap-cuap dengan pengeras suara. Tugas dolop adalah mendorong orang lain untuk membeli obat yang dijual.

Dalam melakukan tugas itu, mereka membaur dengan orang-orang yang tengah merubung si tukang obat. Mereka berpura-pura membeli dagangan si tukang obat, lalu memuji-muji kualitasnya agar para perubung tertarik untuk membelinya. Dolop bermain di ranah psikologi pembeli dengan cara cerdik. Sangat mirip dengan buzzer bukan?

Pertanyaan lebih lanjut: mengapa buzzer diperlukan oleh politisi untuk mempengaruhi para pemilih, dan mengapa dolop diperlukan oleh tukang obat untuk membuat orang tertarik pada obatnya?

Salah satu jawaban utama adalah karena banyak politisi sebenarnya tidak berada dalam struktur kebutuhan para pemilih. Ini sama seperti tukang obat keliling itu, yang tak berada dalam struktur kebutuhan orang-orang di sekitarnya. Anda sakit kepala? Ada toko kelontong yang jual bodrex. Untuk apa nunggu tukang obat keliling?

Begitulah, banyak politisi yang tak terlalu dibutuhkan oleh masyarakat untuk menyelesaikan persoalan mereka – apalagi politisi parpol. Sejumlah survey yang dilakukan secara berkala oleh lembaga seperti Asian Barometer menunjukkan bahwa parpol adalah lembaga yang paling tidak dibutuhkan oleh masyarakat untuk mencari solusi bagi persoalan mereka.

Rendahnya kebutuhan masyarakat pada parpol barangkali sangat terkait dengan absennya ideologi yang kuat di kalangan parpol itu sendiri. Ideologi yang saya maksud di sini adalah sistem gagasan yang menjadi rujukan yang konsisten bagi parpol untuk menentukan langkahnya. Dalam tulisan terdahulu tentang murtad dan muallaf politik sempat saya singgung bahwa mungkin hanya PDI-P dan PKS yang cukup menunjukkan kejelasan ideologi. Itupun tak selalu jelas apa beda yang kongkrit kalau politisi PDI-P atau politisi PKS yang berkuasa.

Untuk yang sederhana saja: harga telur akan naik atau turun kalau PDI-P atau PKS yang berkuasa? Mereka tak akan mampu memberikan jawaban definitif. Biasanya mereka akan memberi jawaban yang normatif dan mbulet. Bayangkan kalau yang ditanya adalah politisi dari parpol tanpa ideologi yang jelas, seperti… yang itu-itu lah.

Karena tak ada pijakan ideologis yang kuat, parpol dan politisinya tak selalu mampu merumuskan kampanye yang programatik. Kampanye mereka cenderung mengawang-awang dan menjanjikan hal besar, yang tak akan bisa dicapai dalam masa jabatan lima tahun kalau mereka terpilih jadi bupati, walikota, gubernur, atau presiden.

Politisi semacam ini lah yang ujung-ujungnya kalau bukan melakukan vote buying dan vote trading, ya bermain-main dengan isu SARA dan membangun popularitas palsu melalui para buzzer. Mereka pada intinya sibuk menciptakan struktur kebutuhan terhadap politisi tertentu di kalangan pemilih.

Anda, para buzzer, sangat berjasa dari sudut pandang para politisi itu. Tapi jujur saja, Anda bisa menjadi bakteri dalam demokrasi. Maaf ya…

Sumber: islami.co

Dosen dan doktor ilmu politik Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.