Setelah aksi 212 dan reuni-reuninya, istilah “silent majority” yang merujuk pada mayoritas Islam yang toleran tapi diam, tak lagi tepat untuk dibangga-banggakan. Ya, kalau mau diam terus, jangan salah kalau lama-lama kalian digilas juga. Rumusnya, “Yang diam akan digilas keadaan”.
Tapi masalahnya, nggak hanya masalah fasisme saja umat Islam mayoritas diam (karena pada aspek tertentu masih mengidap simptom fasisme, meski dengan kadar minimal). Di sektor-sektor seperti perburuhan, sumber daya alam, lingkungan, infrastruktur, pariwisata, juga cenderung diam, atau menghindari untuk berbicara.
Saya pikir bukannya tidak berkenan bicara, tapi mungkin karena lebih disebabkan oleh perspektif ekopolnya yang belum ada, atau belum terinjeksi dengan baik, meski secara imperatif moral sudah ada dan embedded di dalam ajaran agama. Misal, bantulah orang-orang yang digusur, dirampas tanahnya atau yang tidak diupah pekerjaannya atau diintimidasi di ruang-ruang kerja. Tapi pandangan moral tak memadai untuk menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi.
Apalagi sampai bisa membongkar akar persoalannya dengan melakukan penyelidikan terhadap kondisi konkrit yang sedang terjadi. Bagaimanapun, setidaknya pandangan moral tadi bisa menjadi modal awal untuk masuk ke problem ekonomi politik.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa tak ada sama sekali yang bicara. Tentu sangat banyak! Namun masih begitu kecil bila dibandingkan dengan yang diam. Soal bangkitnya Islam konservatif dengan dimensi tunggalnya: “politik Islam”, yang beranggapan bahwa supremasi Islam hanya mungkin dipancangkan tiangnya di atas fondasi politik. Tidak di luar itu.
Islam mayoritas yang diam sudah lumayan berbicara untuk merespons mereka. Bahkan dalam batas tertentu Kiai Hasyim dulu mendirikan NU juga dalam rangka merespon watak destruktif purifikasi Islam ala wahabisme. Artinya, dalam arti ini, sudah sejak lama berbicara dan telah berbicara. Namun apa yang dilakukan para ulama dahulu dengan kondisi sekarang berbeda. Kita sekarang menghadapi persoalan yang makin kompleks dan tak memadai hanya dengan bermodal imperatif moral atau panduan berbuat baik dalam agama.
Kebangkitan fasisme Islam, dan secara umum populisme kanan, ekspansi modal, rezim pasca kolonial yang militeristik, pemerintah korup, rezim pembangunan yang didikte koorporasi multinasional, pelanggaran HAM, semua itu tak bisa dilihat secara terpisah-pisah yang seolah-olah tak ada kaitannya antara yang satu dengan lainnya.
Respon terhadap populisme Islam, atau fasisme agama makin tampak aneh karena justru dijawab dengan ultranasionalisme. Sama dengan “tumbu ketemu tutup” dalam bahasa Jawa. Pada bae! Yang satu menarasikan anti-asing dan aseng, yang satu lagi menarasikan anti-internasionalisme, anti perjuangan pembebasan, dan diam-diam makin menebalkan peran militer di ranah politik. Atau malahan keduanya masih mengidap komunisfobia, dan homofobia.
Tak heran dalam menyikapi persoalan Papua ada banyak suara, agar kedua kelompok ini, fasisme negara dan fasisme agama bisa rukun dulu untuk memanggul tugas historis mengganyang Papua dan menyelamatkan NKRI. Cara pandang tadi hanya mungkin terjadi karena tidak memakai ekopol, perspektif historis, dan materialis. Jadinya, memberi rahmat bagi seluruh alam asal tidak pada bangsa Papua.
Sekali lagi, saya tidak mengatakan bahwa semua diam dan tidak bicara. Sudah bicara tapi belum memuaskan, masih begitu-begitu saja, belum banyak menjelaskan persoalan dan tentu saja tidak jitu. Persis seperti debat soal pemelintiran kebenaran! Ya dari jaman nabi Adam sudah ada itu pemelintiran kebenaran. Yang nggak dipertanyakan adalah mengapa pemelintiran kebenaran itu laku di sini dan saat ini, serta berjalan efektif? Atau mengapa kebangkitan tendensi global populisme kanan itu bangkit hari ini? Dan mengapa “pejuang kebenaran” sebut saja begitu biar terdengar sedikit heroik, diam pada persoalan perampasan tanah. Apa kaitannya ini misalnya dengan proyek OBOR-nya Jin Ping. Kenapa kalau pun bicara tapi nggak ada kapital kritiknya. Kita sekarang perlu berbicara, tapi tidak sekedar berbicara.
Namun di antara yang sedikit berbicara itu, kita masih punya harapan pada generasi yang lebih muda. Yang masih enerjik, kuat belajar, dan tirakat.
Saya optimis sekali komposisi anak muda Islam yang fasih bicara Islam, besar di lingkungan relijius, berpikiran terbuka, dan berdedikasi untuk agenda-agenda pembebasan yang berusaha sebisa mungkin menerjemahkan dan merefleksikan teologinya untuk pengalaman hidup di dunia ketiga, dunia yang pekat dengan sejarah penghisapan, kelak akan semakin banyak. Mulai sekarang speak up!
Sumber: islami.co