Dalam tulisan ini saya akan mengajukan sebuah pembacaan alternatif yang berbeda dari pandangan umum tentang hubungan agama dan negara dalam Islam. Berbeda dari pandangan integralis yang melihat agama dan negara tak terpisahkan dalam sistem khilafah, saya akan tunjukkan bahwa sistem pemerintahan khilafah sebenarnya gagal menyatukan fungsi politik dan agama sekaligus.
Argumen yang akan dikembangkan dalam tulisan ini tidaklah baru. Pada 1975, sejarawan Ira Lapidus sudah menerbitkan sebuah tulisan berpengaruh berjudul The Separation of State and Religion in the Development of Early Islamic Society. Menurut Lapidus, sejak awal kemunculan sistem khilafah memicu ketegangan antara otoritas ulama dan khalifah. Pada periode khilafah Umawiyah, misalnya, penolakan kelompok Khawarij atau Syi’ah memperlihatkan bahwa khalifah mengalami krisis legitimasi keagamaan.
Hampir tiga puluh tahun berikutnya, Patricia Crone mempertegas tesis keterpisahan antara otoritas agama dan khilafah dalam karyanya God’s Rule: Government and Islam (2004). Ini pengembangan dari buku Crone sebelumnya yang ditulis bersama Martin Hinds berjudul God’s Caliph: Religious Authorities in the First Centuries of Islam (1986).
Dalam dua karya pentingnya itu, Crone berargumen bahwa ketidakjelasan batas atau pemisahan antara agama dan negara dalam Islam awal merupakan sebuah proyeksi ke belakang yang dilakukan oleh para teoritisi politik Islam, seperti al-Mawardi, yang mendefinisikan khilafah sebagai “khirasah al-din wa siyasah al-dunya” (pemeliharaan agama dan politik dunia).
Yang barangkali “baru” dalam analisis saya ialah cara membaca sumber-sumber tradisional untuk menyokong argumen keterpisahan otoritas agama dan politik dalam sistem khilafah. Saya akan mengajukan model pembacaan yang tidak ditawarkan oleh Lapidus ataupun Crone.
Asal-Usul Khilafah dan Otoritas Keagamaan
Dalam narasi tradisional, begitu dikabarkan Nabi Muhammad meninggal dunia, persoalan siapa yang dianggap tepat memimpin masyarakat Muslim muncul ke permukaan. Setelah melalui musyawarah panjang, akhirnya disepakati Abu Bakar sebagai pemimpin. Seperti diduga, kepemimpinan Abu Bakar mendapat penolakan dari kelompok-kelompok tertentu, tapi berhasil diatasi.
Karena Nabi tidak memberikan instruksi terkait suksesi kepemimpinan, maka mudah dipahami kenapa terjadi perselisihan bukan hanya soal siapa yang paling berhak mengganti posisi Nabi sebagai pemimpin, tapi juga pemilihan kepala pemerintahan pun dilakukan dengan cara berbeda-beda. Bagi banyak pengamat, fakta bahwa suksesi kepemimpinan awal tidak didasarkan pada satu prosedur tertentu mengindikasikan Islam terbuka bagi model suksesi yang dianut dalam sistem demokrasi modern.
Persoalannya bukan apakah sistem khilafah bisa demokratis atau tidak. Hemat saya, pemerintahan Abu Bakar, yang disusul oleh pemerintahan Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, belum didasarkan suatu sistem tata-kelola yang ajek, seperti dikenal di Bizantium atau Persia. Tampaknya, pengaruh kesukuan (Quraisy) masih cukup dominan.
Lebih dari itu, penyebutan pemerintahan empat pemimpin pertama (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) sebagai khilafah diproyeksikan oleh para penulis Muslim belakangan. Saya kira, orang pertama yang menyebut dirinya sebagai khalifah ialah Abdul Malik bin Marwan, khalifah kelima dari Bani Umayyah. Sementara sebutan bagi Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali pada masanya adalah “amirul mukminin” (pemimpin kaum beriman).
Amirul mukminin mengemban tugas seperti halnya Nabi, yakni terkait urusan agama dan politik sekaligus. Mereka adalah panutan sepeninggal Nabi. Jika pada zaman Nabi, pusat perhatian tertuju kepadanya, pada zaman Sahabat para amirul mukminin memegang kendali kekuasaan politik dan agama. Artinya, sentralitas kekuasaan berada di tangan pemimpin yang masih hidup. Poin ini perlu digaribawahi karena dalam perkembangannya terjadi pergeseran dari otoritas pemimpin yang hidup (khalifah) kepada pemimpin yang sudah meninggal (Nabi).
Ketika roda pemerintahan diambil alih oleh dinasti Umayyah, legitimasi keagamaan seorang amirul mukminin mulai mengalami erosi. Apalagi proses transisi kekuasaan dari Ali ke Mu’awiyah terjadi melalui perang saudara yang berdarah. Dengan kata lain, para pemimpin dari keturunan Mu’awiyah tidak memiliki privilise seperti dinikmati amirul mukminin sebelumnya.
Untuk mengatasi krisis legitimasi keagamaan tersebut, Abdul Malik memperkenalkan dirinya sebagai khalifah Allah, sebuah sebutan yang diambil dari al-Qur’an. Seperti umum diketahui, al-Qur’an menggunakan sebutan “khalifah” di atas bumi (khalifah fi al-ardh) tanpa konotasi politik. Tapi, Abdul Malik mengadopsi terminologi al-Qur’an itu pada dirinya sebagai pemimpin politik dengan tujuan menggabungkan fungsi sebagai kepala negara dan otoritas agama.
Menarik dicatat bagaimana dia menderivasi otoritas keagamaannya dari al-Qur’an, bukan dari Nabi Muhammad. Hal itu mengindikasikan bahwa sabda-sabda Nabi (pemimpin yang sudah meninggal) belum dianggap sebagai rujukan utama.
Di satu sisi, ikhtiar Abdul Malik berhasil, setidaknya, menjadikan khilafah (model pemerintahan yang dipimpin oleh “khalifah”) sebagai kosa-kata politik Islam hingga sekarang. Di sisi lain, dia gagal mewujudkan impiannya menyatukan agama dan negara dalam sistem khilafahnya. Ketika revolusi Abbasiyah dilancarkan untuk menumbangkan khilafah Umayyah, kampanye mereka berpusat pada tuduhan bahwa dinasti Umayyah tidak cukup Islami. Para aktor di balik revolusi Abbasiyah juga menekankan pentingnya kepemimpinan garis keturunan Nabi. Motto mereka adalah pemerintahan Abbasiyah akan dipimpin oleh seorang yang diridai dari keluarga Nabi (al-rida min ali Muhammad).
Sunnah Nabi dan Otoritas Khalifah
Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari munculnya khilafah Abbasiyah. Pertama, cara mereka melegitimasi pemerintahan dengan merujuk pada otoritas keturunan Nabi. Istilah “Abbasiyah” sendiri diambil dari nama sepupu Nabi, Ibnu Abbas, yang waktu Nabi meninggal masih berumur tiga belas tahun. Tapi, tokoh-tokoh Abbasiyah “mengemas” figur Ibnu Abbas sebagai panutan sentral semata-mata karena punya hubungan kekerabatan dengan Nabi. Bayangkan, walaupun masih bocah saat Nabi masih hidup, Ibnu Abbas dianggap sebagai “bapak tafsir”, seorang yang paling tahu tentang tafsir al-Qur’an!
Kedua, dinasti Abbasiyah melakukan segala cara untuk membuktikan bahwa mereka adalah pemimpin politik dan agama sekaligus. Sebagai pemimpin politik yang mendapat legitimasi agama, para khalifah Abbasiyah menuntut semua pihak, termasuk para ulama, untuk menaati kebijakaan negara terkait urusan duniawi ataupun agama. Mereka tidak segan menindas bahkan mempersekusi siapa pun yang tidak mengakui otoritas keagamaan yang disandang oleh khalifah Abbasiyah. Tapi, sejarah mencatat, upaya penyatuan agama dan negara yang dilakukan para khalifah Abbasiyah juga gagal.
Ketika menjabat sebagai khalifah, al-Makmun mencoba menguji sejauhmana ketaatan ulama terhadap dirinya. Pada tahun 827, dia mengumumkan asas tunggal “keterciptaan al-Qur’an”. Semua kalangan, baik individu maupun komunitas, harus mengakui bahwa al-Qur’an itu diciptakan (makhluq). Al-Makmun tahu, kebijakannya itu tidak populer. Diilhami oleh debat dalam tradisi Kristen apakah Logos (Jesus) itu diciptakan atau tidak, para teolog Muslim mendiskusikan status sifat-sifat Tuhan secara detail. Sebagaimana Logos bukan ciptaan, mereka secara umum menganggap al-Qur’an (firman Tuhan) juga bukan ciptaan.
Tapi, al-Makmun bermaksud mengetes kepatuhan para ulama untuk mengukur legitimasi keagamaan yang dimilikinya. Yang tidak disadari oleh al-Makmun ialah bahwa penyatuan agama dan negara itu sudah ditakdirkan akan selalu gagal. Walaupun dia menyikapi penolakan sebagian ulama secara keras, misalnya dengan penjara atau persekusi, penolakan demi penolakan tidak surut terutama dari kalangan ahl al-hadits (mereka yang memegang teguh hadits atau Sunnah Nabi). Kelompok terakhir ini menggalang dukungan massa untuk menggerogoti legitimasi agama dan politik al-Makmun.
Perlu dicatat, bersamaan dengan terjadinya erosi otoritas kekhalifahan pada akhir khilafah Umayyah, mulai muncul nostalgia dengan zaman Nabi Muhammad. Sebagian kalangan gencar mengumpulkan informasi tentang sabda-sabda Nabi. Secara perlahan tapi pasti, terjadi peningkatan terhadap Sunnah orang-orang yang sudah meninggal.
Saya sebut “perlahan” karena proses pengumpulan Sunnah tidak serta-merta terpusat pada Nabi. Sebelum para penulis seperti Bukhari dan Muslim memfokuskan pada sabda-sabda Nabi, Sunnah dipahami mencakup pendapat generasi terdahulu, baik Nabi, Sahabat ataupun Tabi’un. Lihat, kitab Muwaththa’ Malik bin Anas, misalnya, yang lebih banyak mencakup pernyataan generasi Sahabat dan Tabi’un ketimbang dari Nabi sendiri.
Nah, ketika kecewa dengan pandangan dan sikap para pemimpin di zamannya, mereka “menghidupkan” kembali (ingatan) pemimpin yang sudah meninggal. Konsekuensi yang tak terhindarkan dari proses ini ialah Sunnah Nabi diposisikan di atas semua sunnah, termasuk sunnahnya para khalifah. Bahkan, Imam Syafi’i melangkah lebih jauh dengan menganggap hadits Nabi, seperti halnya al-Qur’an, sebagai wahyu dari Allah.
Implikasi politik dari menguatnya perhatian pada Sunnah Nabi ialah semakin dalamnya krisis legitimasi keagamaan khilafah Abbasiyah. Rivalitas antara ulama dan para khalifah (umara’) menjadi tak terhindarkan, seperti tergambarkan dalam inkuisisi (mihnah) yang melibatkan seorang ahli hadits kawakan, Ahmad bin Hanbal.
Demikianlah hubungan agama dan negara dalam Islam tidak semulus seperti dibayangkan banyak orang. Pandangan integralis tentang kesatuan agama dan negara itu ahistoris. Khilafah merupakan institusi politik yang gagal menyatukan agama dan negara. Dan frasa “Islam adalah din wa daulah (agama dan negara)” yang diketahui luas sebenarnya tak lebih dari konstruksi modern yang tak dikenal di masa klasik ataupun pertengahan.
Tulisan ini sebelumnya sudah pernah ditayangkan di Geotimes pada 12 April 2017.