Yang dimaksud “Trinitas Qur’ani” ialah pemahaman orang Kristen tentang Trinitas yang dipengaruhi, atau disesuaikan dengan, bahasa dan istilah al-Qur’an. Dalam Kristen, doktrin Trinitas merujuk pada keyakinan bahwa Tuhan itu satu, namun memiliki tiga persona atau uqnum yang bersifat eternal, yakni Bapak, Anak, dan Ruh Kudus.
Trinitas Qur’ani tetap mengukuhkan watak tri-tunggal Tuhan (triune God), tapi mengidentifikasi anggota Trinitas sebagai Allah, Kalimat, dan Ruh. Dalam al-Qur’an, dua terma terakhir dikaitkan dengan Yesus.
Titel “Kalimat” dan “Ruh” disematkan kepada Yesus dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 171: “Almasih Isa putra Maryam tak lain adalah rasul Allah dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya.” Walaupun sebenarnya bersifat polemik terhadap Kristen, ternyata ayat itu paling banyak dikutip dan dikomentari oleh para penulis Kristen di Arab.
Dalam beberapa ayat lain, “kalimat” dan “ruh” juga digunakan, namun biasanya secara terpisah. QS. 3:45, misalnya, “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberimu kabar gembira dengan kalimat dari-Nya, yang bernama Almasih Isa putra Maryam.” Dalam QS. 21:91 dan 66:12, Allah menghembuskan ruh-Nya ke dalam Maryam.
Kesatuan Tuhan, Kalimat, dan Ruh
Barangkali orang Kristen pertama yang menekankan pentingnya memahami kesatuan antara Tuhan, Kalimat, dan Ruh-Nya ialah Yuhanna al-Dimasyqi. Sejumlah sumber menyebutkan, dia pernah menjabat kepala staf di pemerintahan Khilafah Umayyah di Damaskus. Tidak mengherankan jika Yuhanna mengenal terma-terma al-Qur’an dengan baik.
Ketika menjelaskan bahwa Trinitas itu bukan syirik, teolog yang sangat prolifik ini menggunakan bahasa al-Qur’an secara fasih. Dia menulis: “Kalian berkata bahwa Almasih itu kalimat dan ruh-Nya, lalu kenapa kalian menuduh kami musyrik?”
Yuhanna mendiskusikan secara panjang lebar bahwa kalimat dan ruh-Tuhan tak terpisahkan dari Tuhan. Jika kalimat ada dalam Tuhan, maka ia juga Tuhan itu sendiri. Sebaliknya, jika kalimat berada di luar Tuhan, maka Tuhan tidak memiliki kalimat, dan hal itu bertentangan dengan pernyataan al-Qur’an.
Kendati Yuhanna tidak secara eksplisit memformulasikan Trinitas sebagai Tuhan, Kalimat, dan Ruh, sebagaimana dilakukan beberapa penulis Kristen belakangan, konsepsi tri-tunggal yang melibatkan kalimat dan ruh merupakan inti argumennya. Dan argumen itu terbukti cukup berpengaruh bagi generasi berikutnya.
Dalam kitab Fi tatslits Allah al-wahid, manuskrip yang kini tersimpan di monasteri Katerin, Mesir, formulasi Trinitas Qur’ani mulai terlihat lebih jelas. Identitas penulis kitab ini masih tidak diketahui, tapi diyakini ditulis oleh seorang Kristen Malakiyah (Melkite), sebutan bagi Kristen Arab pengikut Gereja Bizantium, pada tahun 754.
Sejak dari bab pendahuluan, kitab Fi tatslits sudah memformulasikan tri-tunggal dengan menggunakan terma al-Qur’an: “Kami menyembah-Mu dalam kalimat-Mu yang menciptakan dan ruh-Mu yang memberi kehidupan. Kami tidak membedakan Tuhan dari kalimat dan ruh-Nya. Kami tidak menyembah tuhan lain selain Allah dan kalimat serta ruh-Nya.”
Fi tatslits bukan sekadar menegaskan keesaan Allah dengan kalimat dan ruh-Nya, melainkan juga mengekspresikan Trinitas sedemikian rupa. Kita temukan ekspresi seperti ini di banyak halaman: نعرف الله بكلمته وروحه وكلمة الله وروحه به نسبحه ونحمده (Kami mengetahui Tuhan dalam kalimat dan ruh-Nya. Dan dalam kalimat Allah dan ruh-Nya kami mengagungkan dan memuji-Nya).
Yang cukup menarik ialah cara Fi tatslits menjustifikasi Trinitas bernuansa al-Qur’an tersebut. Yakni, bahwa formulasi tri-tunggal demikian diakui dalam kitab-kitab sebelumnya. Coba simak pernyataan ini:
فماذا أبين من هذه وأنور حين نجد في التوراة والأنبياء والزبور والإنجيل وأنتم تجدونه في القرآن أن الله وكلمته وروحه إله واحد ورب واحد
“Lalu, apa lagi yang lebih jelas dan lebih terang dari ini, ketika kami menemukan dalam Taurat, Nabi-nabi, Zabur, dan Injil, dan kalian juga temukan dalam al-Qur’an, bahwa Tuhan dan kalimat dan ruh-Nya merupakan satu Tuhan, satu Gusti.”
Bukan Heterodoks
Jangan dikira Trinitas Qur’ani merupakan konsepsi yang heterodoks dan dianggap sesat di kalangan Kristen. Para penulis yang menggunakan idiom Qur’an ini sesungguhnya sedang mengekspresikan keimanan ortodoks dalam Kristen. Mereka juga mewakili berbagai sekte/kelompok Kristen di Arab.
Beberapa teolog Kristen Arab menemukan dalam al-Qur’an semacam nukleus yang memungkinkan untuk dikembangkan sebagai sebuah teologi Trinitas ortodoks. Tentu saja, untuk mempresentasikan Trinitas sebagai Allah, Kalimat, dan Ruh membutuhkan sofistikasi tafsir. Misalnya, membuktikan secara logis bahwa kalimat dan ruh itu satu dan menyatu dengan Tuhan.
Hal itu tidak sulit dilakukan karena pemahaman ortodoks Muslim pun tidak memisahkan kalimat (atau firman) dan ruh dari Allah. Fiman dan Allah itu sama-sama eternal. Demikian juga ruh-Nya. Memang persoalan ini sempat menyulut debat sengit dalam Islam (dan sebenarnya juga terjadi dalam Kristen beberapa abad sebelumnya). Namun, pemahaman yang menjadi ortodoksi meneguhkan eternalitas firman.
Bagi orang Kristen, pemahaman ortodoks seperti itu mudah diterima. Memang itulah ajaran inti ayat pertama dalam Injil Yohanes: “Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.”
Dalam dialog yang difasilitasi Khalifah al-Makmun, Tawadlrus Abu Qurrah (d. 825) berargumen secara meyakinkan bahwa kalimat/firman ialah Allah sendiri (bahasa njlimetnya: bukan lain dari Allah). Menjawab pertanyaan dari peserta dialog yang menyamakan Isa dengan Adam, Abu Qurrah balik bertanya: “Apakah firman Allah itu pencipta atau diciptakan?” Penanya tidak mungkin menjawab “diciptakan.” Dikisahkan, Khalifah al-Makmun ikut senang menyaksikan keterampilan hermeneutik Abu Qurrah.
Untuk mengukuhkan ortodoksinya, Abu Qurrah menjelaskan begini: “Allah yang dipanggil ‘Bapak’, Kalimat yang dipanggil ‘Anak’ dan Ruh Kudus [ketiganya] adalah satu.”
Tampak jelas, al-Qur’an bukan hanya mempengaruhi ekspresi dan tamsil dalam karya-karya teolog Kristen Arab, tapi juga menyediakan kerangka dasar untuk membangun sebuah teologi Kristen Arab yang khas. Demikianlah, saling mempengaruhi dalam pemahaman agama bukan sesuatu yang luar biasa.
Tulisan ini sebelumnya pernah tayang di Geotimes