Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Dimulai dari Mana?

Jawaban atas pertanyaan di atas ialah dari cara kita menyikapi tradisi yang kita warisi dari masa lalu. Kata “tradisi” di sini dipahami dalam makna yang luas. Dari bahasa Latin “traditum”, tradisi berarti setiap yang ditransmisikan dan diwarisi dari masa lalu ke masa kini.

Teks, keyakinan atau perbuatan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikut dan dianggap otoritatif bisa disebut tradisi. Atau, dalam pengertian kolektif, tradisi berarti modus vivendi masyarakat dalam arti cara mereka menyikapi kenyataan hidup.

Dalam pengertian di atas tradisi bersifat netral nilai, kendati dalam pandangan modern cenderung dipersepsikan secara negatif. Penilaian negatif ini terutama berasal dari pengaruh Pencerahan Eropa yang menganggap beban masa lalu sebagai rintangan menuju kemajuan, modernitas, dan era sains.

Karena itu, modernitas dan tradisi acapkali dibenturkan. Sebuah masyarakat disebut modern bila mereka tidak lagi tradisional. Maka, tradisi masa lalu dianggap sudah “mati” atau perlu segera dikubur.

Secara konseptual, semestinya warisan masa Pencerahan pun sekarang harus dianggap tradisi masa lalu. Karena itu, pemisahan “modern” dan “tradisional” secara ketat tidak masuk akal. Hal itu mengindikasikan bahwa baik masyarakat modern maupun tradisional memiliki “tradisi”, dan karenanya menjadi penting dibedakan bagaimana mereka menyikapi tradisinya masing-masing.

Pengantar yang agak konseptual ini diperlukan untuk mendiskusikan upaya-upaya yang telah dilakukan sejumlah pemikir Muslim dalam merekonfigurasi pemikiran Islam. Proyek rekonfigurasi ini telah diekspresikan dengan beragam istilah, seperti “pembaharuan”, “penyegaran kembali”, “reformasi”, atau istilah klasik tajdid dan islah.

Mengapa Rekonfigurasi, Mengapa Tradisi?

Ketika almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pertama melontarkan gagasan pembaharuan Islam, dia menyadari pilihan yang ada di hadapannya tidak banyak: mempertahankan kohesi umat yang stagnan atau mendobraknya. Cak Nur tahu betapa kuatnya cengkeraman tradisi sehingga diperlukan apa yang disebutnya “psychological striking force”. Hentakan itu dimulai dengan memperkenalkan ide-ide yang tidak umum di zamannya, seperti rasionalisasi, liberalisasi, sekularisasi, dan seterusnya.

Kita juga tahu bahwa Cak Nur tidak serta merta mengabaikan tradisi. Dia memilih mereformasi tradisi dari dalam tradisi itu sendiri. Barangkali kelebihan Cak Nur terletak pada kemampuannya menggabungkan teori-teori modern dengan epistemologi Islam klasik sehingga menghasilkan sudut pandang progresif yang tidak asing bagi umat Muslim.

Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi yang dibangun di atas doktrin klasik “tauhid” mengilustrasikan itu. Ide bahwa hanya Tuhan yang absolut dan sacred (suci) dan selain-Nya adalah temporal sehingga tidak boleh disakralkan merupakan suatu pandangan tauhid yang radikal.

Dari pandangan ini Cak Nur menekankan perlunya membedakan antara kebenaran Tuhan yang absolut dan relativitas pemikiran manusia. Dari doktrin tauhid, ia membuka kesadaran umat bahwa tradisi, bila dipahami secara kreatif, tidak membelenggu kebebasan berpikir.

Itu juga yang dilakukan oleh pemikir Iran Mohammad Syabestari (sejujurnya, membaca Syabestasi langsung mengingatkan saya pada Cak Nur, Allahumaghfirlahu). Juga merujuk pada doktrin tauhid, Syabestari berargumen bahwa penegasian ketuhanan atau kesakralan terhadap semua hal selain Tuhan justru mengukuhkan kedaulatan (subjectivity) manusia. Sebab, otoritas Tuhan sama sekali tidak berbenturan dengan otoritas manusia.

Syabestari mengembangkan gagasan “human subjectivity” tersebut ke bidang hermeneutika al-Qur’an yang memang menjadi spesialisasinya. “Subyektivitas manusia” itu, menurutnya, terefleksikan dalam ruang luas yang tersedia bagi pembaca untuk menafsirkan Kitab Suci.

Pendekatan hermeneutika Syabestari berpijak pada konsep modern yang dikenal dengan “reader-response” yang menekankan pembaca sebagai pelaku utama. Baginya, ayat-ayat al-Qur’an tidak berbicara sendiri, melainkan melalui para penafsir yang mengajukan pertanyaan tertentu dan kemudian memberikan makna. Dari mana makna tersebut diperoleh? “Bukan dari al-Qur’an sendiri, melainkan dari berbagai sumber pengetahuan,” kata Syabestari.

Menarik dicatat bagaimana doktrin tauhid yang menjadi perhatian utama kaum Wahhabi dipahami begitu kreatif oleh Cak Nur dan Syabestari untuk menegaskan kebebasan manusia. Di mata kaum Wahhabi, tauhid menjadi senjata ampuh untuk mengkafirkan kelompok-kelompok Muslim lain.

Dari konsep subjectivity tersebut, Syabestari berargumen bahwa teks al-Qur’an memang tidak berubah, tapi kontennya terus berkembang. Pandangan ini mengantarkannya untuk membedakan antara hal-hal yang eternal dan tetap (fixed) dan yang terus berubah dan dinamis dalam Islam. Dengan konsep modern subjectivity ruang fleksibilitas agama menjadi terbuka luas.

Kritik Tradisi, Kritik Diri

Rekonfigurasi kreatif atas tradisi yang digagas oleh Cak Nur dan Syabestari bukan satu-satunya model yang telah dikembangkan oleh para pemikir Muslim modern. Ada kalangan, terutama dari Arab, yang memilih cara lebih radikal. Mereka menyuarakan dan mengartikulasikan rasa frustasi terhadap budaya–dan juga rezim–Arab yang dianggapnya menjadi hambatan kemajuan dan menyerukan kritik-diri dan tradisi sekaligus.

Seperti ditulis oleh Abu Rabi’ dalam Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Intellectual Arab History (2004), tema “modernitas dan otentisitas” atau “krisis peradaban” menjadi sangat fovorit di kalangan pemikir Arab. Mengapa pasca-1967 sebagai starting point? Itulah tahun di mana dunia Arab dipermalukan dalam perang enam hari oleh negeri kecil yang baru muncul, Israel.

Kenyataan itu menghentak kesadaran para pemikir Arab: Apa yang salah dengan warisan tradisi Arab? Perdebatan intelektual Arab berkembang menjadi diskursus yang lebih luas, bukan sekadar soal faktor-faktor kekalahan perang 1967 itu. Sambil menggerutu atas impotensi rezim-rezim Arab, mereka mengembangkan diskursus intelektual yang cukup dinamis.

Bagi mereka, dunia Arab mengalami krisis intelektual yang akut dan perlu penyegaran total. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan, tiga dekade pasca 1967 itu bisa dikatakan sebagai periode paling kreatif dalam pemikiran Islam di dunia Arab.

Tentu saja ada beragam respons intelektual, dari yang progresif hingga tradisionalis. Namun, ada juga respons yang sangat radikal menyerukan agar tradisi dicampakkan dan dikuburkan. Saatnya memulai tradisi baru, karena apa yang mereka warisi dari masa lalu ternyata tak mampu berhadapan dengan tantangan modernitas.

Ke dalam kelompok terakhir ini kita dapat sebutkan, di antaranya, Fuad Zakariya, Adonis (Ali Ahmad Sa’id), Mahdi Amil, Abdullah al-Arwi, dan Tayyib Tizini. Tiga nama terakhir cukup kental dipengaruhi pemikiran Marxis. Namun demikian, dua nama pertama tidak kurang radikalnya.

Zakariya, misalnya, menyerukan perlunya mengadopsi sekularisme secara total. Sementara itu, Adonis menerbitkan bukunya berjudul Fatihah li-nihayat al-qarn: bayanat min ajl tsaqafa arabiyah jadidad (Pengantar buat akhir abad: Deklarasi tentang [lahirnya] peradaban Arab baru).

Tidak cukup ruang untuk mendiskusikan teborosan intelektual yang ditawarkan para pemikir Arab di atas. Singkatnya, seruan revolusi gagasan yang dimulai dengan kritik kognitif atas tradisi begitu bergemuruh. Seperti kata Adonis, “kita tak mungkin bisa membangun sebuah peradaban baru bila tidak melakukan kritik dan mengguncang struktur peradaban lama.”

Apa yang telah dirintis oleh para pemikir di atas, termasuk Cak Nur dan Syabestari, perlu dijadikan sebagai starting point untuk merekonfigurasi pemikiran Islam dengan paradigma dan etika baru. Mereka semua hidup di zaman krisis kebebasan tapi berhasil memproduksi gagasan-gagasan cemerlang.

Kenapa terobosan pemikiran di era kebebasan yang kita nikmati saat ini tidak lagi berdentum? Tolong jangan katakan kreativitas gagasan hanya muncul di zaman yang sulit!

Tulisan ini sebelumnya pernah ditayangkan di Geotimes