“Indonesia sudah membuat kemajuan yang luar biasa untuk mengonsolidasi demokrasi.”
“Indonesia dapat menjadi model seluruh dunia.”
Suara lantang Profesor Syafaatun Almirzanah memecah keheningan ruang pertemuan di University of Islamic Sect, Teheran. Narasi Hefner dalam buku Islam Sipil ini seolah mampu memberikan angin segar kepada para peserta yang hadir di acara dialog kebangsaan bertajuk “Masa Depan Demokrasi Indonesia dan Tantangan Zaman”.
Wajah-wajah penuh semangat ini merupakan mahasiswa Indonesia yang datang dari berbagai kota di Iran dan seluruh elemen masyarakat Indonesia. Acara yang diprakarsai oleh Indonesia Discussion Forum ini didukung penuh oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Teheran. Bahkan, Dubes RI untuk Iran dan Turkmenistan, Octavino Alimudin ikut memberikan keynote speaker di awal acara.
Selain Syafaatun Almirzanah, hadir juga sebagai narasumber Priadji Soelaiman, diplomat politik KBRI untuk Teheran. Purkon Hidayat, kordinator Gusdurian Tehran. Muhammad Ma’ruf, kandidat doktor Musthofa International University. Kiki Mikael, kandidat doktor Shahid Baheshty University. Muhammad Habry Zein dari HPI (Himpunan Pelajar Indonesia) dan Ismail Amin, perwakilan IPI (Ikatan Pelajar Indonesia).
Sebuah pertanyaaan menarik, bagaimana Indonesia dapat menjadi model demokrasi jika secara fakta masih banyak dijumpai kasus kekerasan?
Purkon Hidayat, pembicara dari perwakilan Gusdurian Teheran membuka sejumlah data intoleransi yang terjadi di Tanah Air belakangan ini. Laporan Social Progress Imperative menunjukkan posisi Indonesia di warna merah berada di urutan 118 dengan skor 2.54. Begitu juga hasil survei LSI mencatat peningkatan intoleransi umat beragama sejak 2016. Bahkan, indeks demokrasi di Indonesia memperlihatkan tren menurun dari 2014 hingga 2017 dari angka 6.95 menjadi 6.39.
Lima belas tahun setelah terbitnya buku Islam Sipil, ternyata Hefner merevisi sebagian pandangannya. Dengan tetap menyimpan optimisme demokrasi di Indonesia, Hefner memberikan catatan adanya pengaruh gerakan transnasional terhadap radikalisme dan intoleransi yang terjadi di Tanah Air. Intoleransi, agaknya masih menjadi tantangan terbesar demokrasi saat ini. Pertanyaan selanjutnya, apa yang melandasi lahirnya sikap intoleran?
Dalam pemaparan lebih lanjut, Syafaatun memandang berkembangnya sikap intoleransi ini didasari oleh buta huruf agama (religious illiteracy). Buta huruf agama ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat Islam.
Bahkan seorang peneliti di Boston University, Stephen Prothero, menyebutkan orang Amerika sendiri hanya tahu sedikit saja tentang ajaran pokok dari agama-agama lain. Syafaatun menambahkan, buta huruf agama bisa jadi muncul di tengah masyarakat beragama yang kelihatannya sangat religius, tetapi sebenarnya mereka tidak memahami. Sebab mereka tidak mau tahu ada interpretasi lain yang mungkin berbeda.
Kalau diistilahkan sebagai sebuah penyakit, buta huruf agama ini termasuk penyakit menular yang penyebarannya begitu cepat. Terlebih, di era teknologi informasi di mana dalam hitungan detik, sebuah informasi bisa berpindah kepada ratusan bahkan ribuan pengguna media sosial. Bisa dibayangkan jika informasi yang disebarkan itu tidak benar atau hoaks.
Sebagai pengamat media sekaligus jurnalis, Purkon Hidayat menghimbau peran serta media untuk meminimalisasi penyebaran ujaran kebencian, memperkuat jaringan komunitas pengusung demokrasi, dan meningkatkan dialog antariman.
Di tingkat masyarakat, edukasi dan penyadaran yang terus menurus juga perlu ditingkatkan baik melalui kurikulum maupun berbagai edukasi lainnya.
Sementara Syafaatun sebagai seorang akademisi, menawaran sebuah pendekatan species identity, bahwa kita sebenarnya memiliki lebih banyak persamaan ketimbang perbedaan. Kalau kita yakin sebenarnya kita satu spesies, akan membawa pada bagaimana penyelesaian persoalan yang mungkin aneh atau ketidaksamaan. Bisa jadi pada awalnya kita merasa asing satu sama lain, tapi kemudian kita akan mulai mencari ruang-ruang irisan sehingga tidak ada lagi yang merasa lebih mendominasi.
Syafaatun menutup presentasinya dengan cerita Nabi Musa As dan air susu. Dalam kitab suci diceritkan bahwa Nabi Musa As adalah seorang bayi yang menolak semua air susu, kecuali air susu ibunya. Ibnu ‘Arabi, menghubungkan cerita ini dengan ayat alquran 5:48: “Bagi masing-masing dari kalian, kami telah tunjuk shir’ah dan minhaj”. Susu menunjukkan kepada way yang memberikan daya tahan bagi hukum-hukum yang diwajibkan kepada hamba.
Realitas bahwa hanya susu ibunya yang dapat membesarkan Nabi Musa as, bukan berarti susu ibu-ibu lain tidak bergizi. Artinya bahwa jalan seseorang memuaskan kebutuhan orang beragama, bukan berarti jalan yang lain secara intrinsik tidak mampu memberikan kebutuhan keagamaan masyarakat beragama tersebut.
Barangkali, cerita tersebut bisa menjadi pemantik dan sumber inspirasi kepada kita semua untuk menyuburkan kembali benih-benih toleransi dalam diri kita. Karena pada hakikatnya, lahirnya sebuah masyarakat demokrasi dimulai dari setiap individu yang ada di dalamya.
Sumber: alif.id