Jaringan GUSDURian telah mengeluarkan pernyataaan sikapnya menanggapi kengeyelan pemerintah dan DPR terkait pilkada 2020. GUSDURian menyayangkan sikap pemerintah dan DPR yang memutuskan tetap menyelenggarakan pilkada 2020 di tengah situasi pandemi covid-19 yang makin parah di Indonesia.
Dalam pernyataan yang sama, GUSDURian juga meminta partai politik dan calon kepala daerah mempertimbangkan ulang perhelatan Pilkada 2020. Hal ini semata demi menunjukkan kepedulian mereka pada kesehatan masyarakat.
Sayangnya, pemerintah dan DPR tampak masih keukeuh dengan pilihan mereka melanjutkan Pilkada “dengan protokol ketat.” Salah satu argumen yang dikemukakan karena jika pilkada ditunda nantinya banyak daerah hanya dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt) kepala daerah, bukan kepala daerah definitif. Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan Plt memiliki kewenangan yang terbatas. Modal kepemimpinan daerah semacam ini dianggap tidak ideal untuk menghadapi situasi pandemi.
Padahal dengan atau tanpa adanya pilkada 2020, keberadaan Plt adalah keniscayaan dari sistem Pemilu/Pilkada serentak yang saat ini tengah dijalani oleh bangsa Indonesia.
Mari kita sedikit menarik ingatan ke belakang. Mulanya, Pemilu/Pilkada di negeri ini kerap dituding sebagai praktek demokrasi berbiaya tinggi yang sangat memboroskan APBN/APBD. Kritik tersebut lantas melahirkan gagasan Pemilu serentak, untuk menyederhanakan sistem Pemilu Indonesia. Dalam gagasan Pemilu serentak, kelak hanya ada satu Pemilu di Indonesia, baik di level nasional maupun lokal, yang dilakukan secara serentak tiap lima tahun sekali.
Demi mencapai tujuan tersebut, pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan legislatif (Pileg), dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dirancang berlangsung dalam satu tanggal yang sama. Separuh tujuan ini telah terlaksana pada Pemilu 2019. Di tahun lalu, Pilpres dan Pileg berhasil terselenggara dalam waktu bersamaan.
Namun mendesain Pilkada serentak adalah pekerjaan yang jauh lebih sulit. Sebab pelaksanaan Pilkada selama ini terlanjur sporadis. Setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota kadung memiliki jadwal Pilkadanya sendiri-sendiri. Tidak ada keseragaman waktu pelaksanaan. Sehingga bisa dibilang tiada hari tanpa Pilkada di Indonesia.
Untuk itu, dirancanglah empat penyelenggaraan Pilkada serentak sebagai masa transisi untuk meringkas ratusan Pilkada menuju satu Pemilu serentak. Tiga diantaranya, yakni Pilkada 2015, Pilkada 2017, dan Pilkada 2018 telah terlaksana dengan baik.
Pilkada 2020 merupakan masa transisi terakhir sebelum kita menatap Pemilu serentak sepenuhnya. Nantinya Indonesia akan menyelenggarakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada secara bersamaan mulai Pemilu 2024.
Transisi ini tentu membawa konsekuensi. Salah satu konsekuensinya, suatu daerah yang belum memiliki kepala daerah definitif akibat menunggu hasil pilkada serentak mesti rela dipimpin oleh Plt untuk sementara waktu. Penggantian kepala daerah dengan Plt telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2018. Banyak Provinsi dan Kabupaten/Kota telah melewati periode ini tanpa kendala yang berarti.
Konsekuensi ini lebih terasa dua tahun lagi. Kehadiran sosok Plt akan menjadi semakin jelas di daerah-daerah yang saat ini tengah dipimpin kepala daerah hasil Pilkada 2017. Para kepala daerah petahana ini akan menghabiskan masa jabatannya pada 2022. Setelah itu tidak ada agenda Pilkada di tahun tersebut. Praktis, sehabis itu Plt akan menjalankan komando pemerintahan di 101 Provinsi dan Kabupaten/Kota hingga terlaksananya Pemilu serentak.
Tiga tahun lagi, 171 kepala daerah produk Pilkada 2018 juga akan mengalami hal serupa. Kita bisa mengambil contoh dari tiga Provinsi berpopulasi terbesar di Indonesia: Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ketiga gubernur ini mesti meletakkan masa jabatannya pada 2023. Setelah itu, estafet kepemimpinan harus dioperkan kepada Plt.
Maka sudah jelas kalau pandemi bukanlah situasi istimewa yang akan mengancam kokosongan kepemimpinan di sebagian daerah di Indonesia. Tanpa adanya pandemi sekalipun, sistem Pemilu kita memang sudah merancang mekanisme supaya Plt dapat menjalankan roda pemerintahan daerah selama beberapa waktu. Hal ini bahkan telah dirancang jauh sebelum adanya pandemi.
Sehingga kengototan pemerintah melaksanakan pilkada 2020 adalah alasan yang lebay dan mengada-ada. Sekali lagi, keberadaan Plt adalah hal wajar dalam proses transisi menuju sistem Pemilu serentak. Terlebih sudah ada regulasi yang mengatur mengenai hal tersebut.
Dalam keadaan luar biasa seperti sekarang, pilihan terpenting yang bisa dilakukan adalah memperkuat posisi Plt. Pemerintah dan DPR dapat bekerjasama membikin regulasi baru agar Plt memiliki wewenang lebih besar. Dengan demikian mereka dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan di daerah masing-masing untuk melewati kondisi pandemi berkepanjangan. Ini merupakan pilihan yang jauh lebih bijaksana dibandingkan harus memaksakan Pilkada 2020.
Kali ini pemerintah dan DPR mestinya mampu mengerem nafsu dan ambisi kekuasaan mereka. Mereka perlu menyadari bangsa ini tengah menghadapi krisis kemanusiaan luar biasa. Di sisi lain, masyarakat banyak telah menyuarakan daulat rakyat untuk menunda pilkada. Gelombang aspirasi ini merupakan modal penting untuk mengeluarkan extraordinary policy. Terlebih untuk sebuah negara yang masih mengakui kekuasaan tertingginya ada di tangan rakyat.
Sekarang waktunya seluruh elemen bangsa bersatu padu untuk menghadapi bencana kemanusiaan ini. Seperti wejangan lama almarhum Gus Dur yang masih saja relevan dalam kondisi saat ini: Ada yang lebih penting dari sekadar urusan politik, yakni kemanusiaan.