Social Media

Kisah Khitan Anak Perempuan Gorontalo: Antara Tradisi dan Problem Gender

Seorang bayi perempuan yang suci di-wudhu-i oleh ibu bayi, duduk di pangkuan sang ibu selanjutnya ditutupi kain putih sebelum dikhitan. Hulango masuk ke bawah kain putih yang menutupi tubuh bagian bawah bayi beberapa detik setelahnya, bayi menangis keras. Di luar kamar, ada laki-laki yang membacakan doa-doa. Seperti itulah proses khitan perempuan di Gorontalo.

Jika bertanya pada sepuluh perempuan Gorontalo apakah sudah dikhitan atau belum, delapan perempuan akan menjawab sudah, karena hanya perempuan beragama Islam yang diwajibkan untuk dikhitan. Jika ditanya apakah ingat pengalaman dikhitan itu? Jawabannya pasti tidak. Saya pun begitu, tidak mengingat pasti peristiwa itu. Artinya, khitan pada perempuan Gorontalo adalah ritual agama Islam yang kental dengan adatnya dan dilaksanakan pada anak perempuan sebelum berumur 3 tahun.

Para pemangku adat, pegawai syara’, tokoh masyarakat di Gorontalo memberikan pendapat yang sama mengenai ritual khitan pada anak perempuan. Bahwa khitan perempuan ini wajib dilaksanakan karena menandai anak beragama Islam, pembersihan bagian kelamin perempuan yang dirangkaikan dengan ritual mensucikan perempuan dengan mandi lemon. Bahwa khitan perempuan hanya mengeluarkan selaput pada klitoris dalam vagina. Harapan dari pelaksanaan ritual khitan perempuan ini adalah perempuan disucikan sehingga bisa beragama Islam dan mampu mengendalikan hasrat seksual.

Pelaksanaan khitan pada laki-laki dan perempuan dilakukan atas dasar ajaran agama, tidak hanya Islam tetapi juga beberapa agama lain. Dalam islam, khitan merupakan amalan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim As, dan diperintahkan kepada kaum Muslim untuk mengikutinya (Q.S an-Nahl : 23). Dasar hukum yang diambil untuk melanggengkan ritual ini ada pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya: “khitan adalah sunnah bagi lelaki dan sesuatu yang mulia bagi perempuan”  yang ternyata hadis ini dha’if (lemah) dan munqothi’ (terputus).

Lantas kemana harus kita sandarkan praktik wajib khitan perempuan yang sudah dilaksanakan secara turun temurun? Jawabannya adalah karena sudah menjadi warisan adat seperti pengakuan teman-teman aktivis perempuan saya yang mengaku anak-anak perempuannya pun menjalani ritual ini walaupun sebenarnya tidak ingin.

Beberapa teman yang saya ajak chattingan tentang ritual khitan perempuan ini adalah mereka yang mempunyai anak perempuan. Tata Atay misalnya, anak pertamanya yang perempuan itu juga dikhitan. Hulango (dukun bayi) melaksanakan khitan dengan membawa pisau sebesar pisau pada alat pemotong kuku.

Tapi proses khitan di dalam vagina anak ini pun tidak diketahui persis oleh ibunya sehingga pertanyaan yang mengganggu saya selama ini pun tidak terjawab, apakah berbeda vagina anak sebelum dikhitan dan setelah dikhitan? Di mana letak perbedaannya?

Tidak puas, saya menanyakan pertanyaan yang sama pada Tata Astika, anak perempuannya menjalani ritual dan mandi lemon. Yang menarik adalah Hulango tidak membawa pisau seperti pada anak tata Atay. “Tapi anakku menangis juga Kem” kata kak Astika. Mungkin karena ada orang baru yang menyusup ke dalam selangkangannya.

Apakah setelah khitan vagina berubah? Dalam buku Tafsir Islam atas Adat Gorontalo yang ditulis Dr. Sofyan Kau, yang dikeluarkan dari vagina adalah bagian yang dinamakan klitoris. Para Hulango menyebutnya semacam zat dan zat tersebut dinilai najis. Pada Usia 1 tahun anak perempuan zat tersebut mudah dikeluarkan, jika sudah 2 tahun semakin susah dikeluarkan karena semakin keras menempel.

Maka, fungsi khitan perempuan di Gorontalo adalah untuk membersihkan zat najis yang menempel pada klitoris. Zat tersebut berupa kulit/selaput yang sangat tipis. Dari penjelasan Dr. Sofyan Kau, tidak ada yang berubah dari vagina karena menurutnya, yang dikeluarkan adalah kulit tipis yang menutupi klitoris dan dipercaya sebagai najis. 

Farha Daulima, dalam bukunya mengenai tata cara Adat Kelahiran dan Keremajaan pada Masyarakat Adat Suku Gorontalo menilai khitan perempuan merupakan keharusan syariat dan keharusan adat. Keharusan syariat seperti yang ditegaskan dalam hadis sementara keharusan adat karena secara adat, khitan bagi perempuan bertujuan sebagai pembersih diri bagi anak perempuan. Maka perempuan yang sudah dikhitan dinilai telah suci sebelum baligh sekaligus pertanda bahwa bayi yang sudah dikhitan telah diislamkan.

Pada kenyataannya, khitan pada perempuan dan laki-laki sungguh berbeda karena organ kelamin perempuan dan laki-laki berbeda. Tidak semua kebijakan yang diperintahkan untuk laki-laki itu juga sama baiknya dengan perempuan.

Karena masing-masing memiliki anatomi dan fungsi yang berbeda. Khitan pada laki-laki yaitu memotong kulit yang menutupi ujung penis sehingga menjadi terbuka. Pemotongan pada kulit yang menutupi penis ini menjadikan penis secara medis lebih sehat karena mencegah penyakit kelamin dan akan menambah kenikmatan dan menambah durasi hubungan seksual sehingga laki-laki dapat menikmati dan memenuhi kebutuhan seksual dengan maksimal.

Sementara khitan perempuan adalah mengeluarkan bagian dari vagina itu sendiri yaitu selaput klitoris yang ujungnya merupakan organ seks perempuan yang cukup sensitif terhadap gesekan sehingga dapat membawa pada kenikmatan seksual perempuan, artinya khitan perempuan adalah memutilasi vagina perempuan. Memutilasi berarti ada perubahan yang terjadi pada vagina perempuan.

Seorang perempuan dewasa, Yulia namanya, bercerita tentang perasaan tidak percaya diri untuk menikah karena bagian klitoris dari vaginanya telah hilang sehingga tidak lagi mendatangkan kenikmatan dalam berhubungan seksual. Yulia kemudian menjelaskan bagian yang berbeda itu terletak di bagian atas vagina, seharusnya ada sesuatu yang menonjol di bagian ini, katanya. Ketika disentuh bagian itu akan terasa sakit dan tidak nyaman. Seharusnya disitulah titik kenikmatan seksual perempuan.

Dari penuturan Yulia, Saya melihat praktik dan tujuan pelaksanaan khitan pada perempuan ini adalah sama-sama berbahayanya. Praktik khitan perempuan ini tidak masuk dalam pembelajaran medis dalam tingkatan mana pun. Berbeda dengan khitan pada laki-laki para tenaga medis dapat melaksanakannya. Hal ini membuat saya yakin bahwa praktik khitan perempuan tidak aman secara medis.

Tujuan pelaksanaan khitan perempuan untuk mensucikan anak perempuan seakan-akan anak perempuan terlahir tidak suci, menjadikan anak tersebut beragama Islam padahal bayi sekecil itu mana paham mengenai agama?,  dan bertujuan untuk meredam kepuasan hasrat seksual perempuan bahkan cenderung dikebiri sehingga didominasi oleh laki-laki ini sungguh mengecewakan.

Pada Masyarakat Gorontalo, penekanannya ada pada mendisiplinkan perempuan agar tidak nenealo dan mondhuhu (sikap genit yang ditunjukkan oleh perempuan) karena tidak sesuai dengan kultural etika kehidupan masyarakat Gorontalo.  Sikap nenealo dan mondhuhu ini menurut saya tidak ada hubungannya dengan vagina tapi justru proses yang dijalani setiap orang yang menentukan sikapnya di kemudian hari.

Jika perempuan diharapkan mendapatkan kemuliaan, kehormatan sebagai manusia maka doronglah perempuan untuk sekolah setinggi-tingginya agar bersama dengan laki-laki dapat tumbuh kemuliaan padanya dan dia mampu memberikan manfaat yang seluas-luasnya dalam kehidupan. Jika yang diharapkan dari perempuan adalah kehormatan, maka berhentilah melecehkan perempuan, pastikan mereka aman berada di luar rumah agar kehormatan mereka terjaga.

Sejauh ini saya sampai pada kesimpulan bahwa ritual khitan perempuan ini sangat dipengaruhi oleh adat dan budaya setempat, mengingat dalam Al-qur’an tidak diatur dan dalam hadis tidak ditemukan hadis yang shahih. Sehingga melihat hukum khitan ini seharusnya dilihat dari kacamata kemaslahatan yang tetap berlandaskan kearifan lokal.

Jika laki-laki dikhitan untuk alasan medis dan mendapatkan kepuasan seksual yang paripurna, maka khitan terhadap perempuan pun sudah seharusnya dihentikan jika dapat mengurangi kepuasan seksual perempuan. Budaya dan adat yang mencerminkan Kearifan lokal harus tetap terjaga untuk diwariskan kepada anak cucu kita dengan tetap melaksanakan ritual mandi lemon, doa-doa yang mengharapkan keselamatan anak dunia dan akhirat tanpa ada praktek molubingo.

Koordinator Komunitas GUSDURian Gorontalo.