Pasca Orde Baru, tepatnya ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden keempat RI merupakan momen kebangkitan demokrasi di Indonesia. Rezim Orba yang telah mendarah daging selama 32 tahun dengan otoritarianismenya membuat banyak kalangan mendambakan sistem demokrasi yang lebih baik.
Sebagai tonggak awal, tepatnya tahun 1999 beliau membubarkan Departemen Penerangan, yang menurutnya justru lebih banyak menggelapkan. Masyarakat berhak memilah suatu tontonan yang menurut mereka layak untuk ditonton dan mana yang tidak. Menurut Gus Dur, “Kalau sampah, nanti mereka buang sendiri. Belajar buang sampah.”
Masyarakat memiliki kebebasan untuk mengakses informasi sesuai apa yang mereka butuhkan, bukan hanya versi dari satu sudut pandang semata. Di sinilah Gus Dur mengajarkan bahwa masyarakat memiliki peran yang lebih dalam membenahi bangsa ini. Menjadi keyakinan kuat bagi Gus Dur bahwa cara hidup bernegara yang paling tepat bagi masyarakat Indonesia yang majemuk (plural) adalah demokrasi.
Selain membubarkan Departemen Penerangan sebagai bentuk membuka kembali kran-kran demokrasi, Gus Dur dalam masa jabatannya sebagai presiden di era reformasi mengangkat seseorang untuk menduduki jabatan publik dari latar belakang manapun, lalu membuat dekrit pembubaran parlemen, pencabutan Tap MPRS Nomor XXV tahun 1966 tentang pelarangan paham komunisme, marxisme/leninisme dsb.
Keputusan bernada kontroversial ini merupakan langkah awal dan komitmen Gus Dur terhadap demokrasi. Komitmen lain Gus Dur yakni dengan menerbitkan UU No. 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh yang mana kelas pekerja memiliki hak untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat.
Langkah lain dari Gus Dur dengan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, pun mengizinkan berkibarnya bendera Bintang Kejora di tanah Papua selama posisinya lebih rendah dari Bendera Merah Putih, serta berbagai tindakan advokasi yang dilakukan beliau baik sebelum menjadi presiden, ketika menjadi presiden, dan bahkan setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden. Karena beliau memahami bahwa negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi serta memenuhi HAM dan berpihak kepada kaum mustadh’afin (lemah dan dilemahkan).
Beberapa tahun terakhir kita saksikan berita-berita di medsos, media elektronik dan media massa tentang banyaknya kasus orang yang dipenjara akibat produk dari UU ITE, UU yang kerap dituduh sebagai tameng bagi si kaya untuk sesukanya membela diri dari tuduhan atau senjata dalam menghadapi si miskin.
Potensi pasal karet yang kian terbukti dari berbagai kasus, salah satunya pada kasus Ibu Prita melawan RS OMNI Internasional (2009), atau Ibu Baiq Nuril dengan Kepsek SMAN 7 Mataram, NTB (2012, selesai 2018) dan masih banyak lainnya. Polanya hampir sama, mereka didakwa menyalahi pasal-pasal dalam UU ITE.
Padahal mereka hanya curhat di medsos atau kasus tersebut terekspos di medsos, namun berujung tindak pidana bagi mereka. Tak ayal, berbagai elemen mendesak untuk direvisinya UU ITE yang acap kali dituduh sebagai UU pro penguasa untuk membungkam pihak lawan.
Bentuk lain dalam kaitannya di dunia maya yakni penggunaan jasa buzzer oleh pejabat-pejabat publik/tokoh politik. Menjadi tameng tersendiri sekaligus alat serang bagi yang mengkritisi setiap kebijakan pemerintahan yang dirasa kurang tepat. Sebutan buzzer mulai mendapatkan pergeseran makna tepatnya pada tahun 2012 saat pilkada Jakarta.
Hingga kini, kiprah buzzer tak bisa dipungkiri sangat mempengaruhi dalam kancah dunia medos kita hari ini. Pendapat bahwa buzzer politik adalah perusak demokrasi memang dapat dibenarkan, dengan menggunakan jasa mereka kian menyebalkan untuk adu argumentasi secara sehat dan waras.
Perkembangan zaman menuntut manusia modern untuk berkembang, dalam dunia media sosial pun diperlukan suatu UU sehingga dapat melindungi masyarakat dari cyber crime. Lahirnya UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diharapkan sesuai dengan tujuan dibentuknya UU ini.
Namun, dalam kenyataannya UU ini menjadi senjata tersendiri bagi masyarakat sehingga tidak dapat bebas berpendapat. Bebas di sini bukan berarti kebablasan, tetapi masih dalam koridor wajar. Semestinya pendapat dapat dikemukakan secara bebas sesuai tercantum dalam pasal 28 UUD 1945.
Adanya UU ITE ini jelas mempengaruhi kehidupan demokrasi kita hari ini. Banyaknya kasus pembatasan dalam mengemukakan pendapat di internet yang kian membuat orang berpikir kembali dalam memberikan pendapat. Tercatat dalam angka 74,92 Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2019 sebagai capaian demokrai Indonesia dalam kategori sedang. Terdapat 6 indikator yang masih di bawah 60% (buruk), diantaranya indikator ancaman/ penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan pendapat, indikator persentase dipilihnya perempuan sebagai anggota DPRD Provinsi dan indikator demonstrasi/ mogok yang bersifat kekerasan. Artinya masih banyak PR dalam demokrasi Indonesia hari ini dan masa mendatang.
Mendambakan demokrasi yang ideal rasanya bukanlah utopis, memang perlu waktu dan peran serta semua pihak. Sederhana saja bahwa ketika pendapat tidak semena-mena dibungkam dengan mengatasnamakan UU, mengungkapkan pendapat di internet tidaklah menjadi momok bagi masyarakat dan semuanya masih dalam koridor hukum yang berlaku.
UU yang selama ini menjadi batu sandungan untuk direvisi ulang sehingga UU yang berpotensi mengandung pasal karet menjadi kian seret dan tidak semena-mena dalam memperlakukan masyarakat. Meneladani Gus Dur tentang demokrasi, memanglah tidak mudah akan tetapi dapat dilakukan. Gelar sebagai Bapak Demokrasi Indonesia memanglah pantas disandang Gus Dur.
Beliau tidak menghiraukan popularitas atau keuntungan pribadi, yang beliau perjuangkan adalah demi kebaikan bangsa Indonesia. Tak harus menjadi Gus Dur secara identik, cukup sesuai dengan kemampuan masing-masing, bukan cuma tugas GUSDURian, tapi kita semua dari mana pun kita berasal dan dari kalangan apa pun semuanya memiliki peran demi demokrasi Indonesia yang lebih baik. Tabik…….