Dalam era reformasi seperti sekarang ini timbul suatu pertanyaan; mungkinkah demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan pada periode setelah pemilu yang akan datang? Jawaban atas pertanyaan di atas adalah tidak. Pernyataan ini tentulah mengejutkan banyak pihak, karena dalam kenyataan telah terjadi perubahan besar dalam panggung politik yang lebih memberikan peluang bagi tegaknya demokrasi seperti berdirinya beberapa partai politik yang hampir semuanya bertujuan menegakkan demokrasi. Partai-partai tersebut juga didukung oleh cendekiawan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, serikat-serikat buruh, dan media massa. Siapa yang berani memberikan jawaban negatif atas pertanyaan di atas akan dimusuhi banyak orang. Hanya kejujuran yang murni sajalah yang dapat mendorong orang berbicara seperti itu secara terbuka dalam media massa.
Mengapa artikel ini dimulai dengan pertanyaan di atas? Karena penulis yakin bahwa konstelasi politik yang ada belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang sebenarnya karena masih banyaknya rekayasa dan intrik yang berlaku. Di samping itu, masih ada lembaga-lembaga pemerintahan yang mempertahankan status-quo. Demikian pula undang-undang pemilu dan sistem politik yang ada masih memungkinkan terjadinya hal itu. Dan yang lebih penting tradisi kita belum melahirkan budaya politik yang sehat.
***
Apakah ini berarti kita akan kembali pada masa Orba, yang berisi kenyataan pahit bahwa pemerintah pusat menguasai segala-galanya? Dan bukankah ini juga berarti pemerintahan akan diserahkan kepada satu orang saja? Kalau kita bersedia melakukan perubahan dan pembenahan yang serius dan efektif tentulah hal ini tidak akan terjadi. Perubahan mendasar yang perlu dilakukan di antaranya adalah pola hubungan antara pusat dan daerah yang lebih berimbang. Ini penting dilakukan kalau Indonesia ingin tetap menjadi satu negara yang utuh (negara kesatuan).
Misalnya dalam hal pembagian devisa antara pusat dan daerah yang dulu mayoritas diambil oleh pusat dan hanya sebagian kecil yang kembali ke daerah. Sekarang harus dibalik, sebagian besar katakanlah 70 persen untuk daerah asal yang menghasilkan devisa dan 30 persen untuk pemerintah pusat. Dengan penghasilan itu plus penghasilan pusat dari pendapatan non-ekspor (pajak, cukai dsb) cukup untuk biaya pemerintah pusat dan daerah-daerah miskin.
Demikian juga dalam hal pengangkatan kepala daerah, harus diubah sistem dan mekanismenya yakni tidak semata-mata ditentukan oleh kehendak pusat tetapi ditentukan secara mandiri oleh daerah masing-masing.
Pemerintah pusat hanya menjadi wasit dan menjaga konstitusi dalam praktek pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Pegawai negeri juga akan terbagi dua yaitu pegawai negeri daerah dan pegawai negeri pusat. Dalam ukuran kecil sekarang telah terjadi, meski dengan persepsi yang distortif. Di mana saat ini dipahami pegawai negeri pusat adalah mereka yang berada di pusat dan menjadi bagian dari kelompok elite kekuasaan yang memiliki otoritas lebih dibanding pegawai negeri daerah.
Pengertian pegawai negeri pusat dan daerah di sini tidak demikian. Perbedaan ini dimaksudkan untuk pembagian tugas dan tanggung jawab serta wilayah kerja masing-masing agar dapat bekerja secara efisien dan efektif, sementara otoritas dan posisi masing-masing tetap sama. Dengan sistem ini perwakilan departemen-departemen di daerah akan hilang kecuali beberapa saja, dan digantikan oleh kantor-kantor daerah (termasuk ekspor).
Pemerintah pusat memiliki otoritas penuh dalam dua hal yaitu politik luar negeri dan pertahanan. Dalam hal ini daerah-daerah harus ikut saja pada keputusan pusat. Masalah keamanan diserahkan pada kepolisian negara yang dalam menjalankan tugasnya tunduk pada gubernur, wali kota, dan bupati bukan pada pemerintah pusat. Hubungan pusat dan daerah yang bersifat koordinatif haruslah menjadi hubungan yang setara, bukannya subordinatif seperti sekarang.
***
Lalu bagaimana halnya dengan institusi-institusi yang ada? Yang jelas, ABRI harus melepaskan tanggung jawab keamanan yang ada. Dia cukup mempersiapkan diri secara profesional dalam mengurusi pertahanan negara. Dengan demikian wilayah kekuasaannya menjadi ciut, tetapi lebih berisi dan berbobot dan lebih mudah mempertanggungjawabkan tindakannya. Demikian pula kebebasan daerah memilih pemerintahannya. Dengan pola ini akan terjadi perampingan struktur pemerintahan secara cepat, kontrol dan pengawasan bisa lebih mudah dan efektif sehingga menekan terjadinya kolusi antara pemimpin pusat dan daerah.
Dalam pemilihan pemerintah daerah, pemerintah pusat hanya berfungsi menetapkan standar belaka yang harus diikuti oleh pemerintah-pemerintah daerah. Kecenderungan untuk korupsi pun akan menurun karena mengecilnya peran pemerintah pusat berarti meningkatnya pengawasan legislatif daerah. Ini pun masih disertai dengan pengawasan yang teliti dari pihak yudikatif. Dalam hal ini berarti yudikatif harus ditunjuk oleh pihak legislatif sebagai representasi dan manifestasi kedaulatan rakyat bukan oleh eksekutif yang sebenarnya hanya manifestasi kedaulatan birokrasi, seperti selama ini terjadi.
Dalam pada itu masa lima sampai sepuluh tahun lagi akan terlihat semakin tumbuhnya kekuatan masyarakat. Sekarang saja ABRI dan birokrasi pemerintah harus menerima kehadiran lebih dari satu serikat buruh (SBSI). Demikian pula kebebasan pers untuk mengritik pemerintah telah semakin terbuka, sebagaimana tertuang dalam bentuk kebebasan pers yang ditandai dengan tidak berartinya SIUPP. Pihak legislatif juga sudah mulai berani mengritik pihak eksekutif secara terbuka, meskipun hal ini masih dilakukan secara malu-malu, sebagaimana terlihat saat ini.
Hal ini perlu dimaklumi karena DPR dan MPR sekarang masih produk Orba. Pemilu yang akan datang juga sudah ada kemungkinan dapat diikuti oleh pihak-pihak lain di samping PPP, Golkar dan PDI. Namun spontanitas –sebagai cermin aspirasi rakyat yang murni- belum muncul karena masih dimungkinkan adanya sikap menahan satu pihak untuk tidak ikut pemilu dengan alasan penyederhanaan partai-partai peserta pemilu. Ini terjadi karena undang-undang politik yang ada memungkinkan untuk itu.
***
Beberapa hal di atas yang menjadi indikasi bahwa demokratisasi meski kecil dan lambat mulai timbul dan bergerak. Dikatakan demikian karena belum terjadi perpindahan titik berat dari kerja institusi-institusi yang ada. Di samping itu, untuk jarak lima sampai sepuluh tahun ini pihak yudikatif belum memiliki independensi penuh dan masih bergantung pada pihak eksekutif. Pemindahan tugas keamanan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah bukanlah sesuatu hal yang mudah dicapai.
Demikian halnya dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, walaupun ada bahaya separatisme. Sedangkan perlindungan hak-hak asasi warga sebagaimana tertuang dalam deklarasi PBB, juga masih panjang. Walhasil yang terjadi adalah proses meningkatnya demokrasi secara perlahan, dan berkurangnya kekuasaan pemerintah atas rakyat sedikit demi sedikit.
Dalam hal yang demikianlah pertanyaan pada awal tulisan ini patut dikemukakan karena membuat demokrasi bukanlah pekerjaan sehari dua hari. Dan menegakkan hukum juga bukan persoalan mudah. Ia tidak dapat dicapai hanya dengan membubuhkan tanda tangan saja, karena kepentingan yang saling berbeda akan berlaga di tengah percaturan politik yang ada. Pemilu yang berjalan adalah cara untuk memberikan legitimasi bagi upaya demokratisasi yang sulit dicapai itu.
Di sinilah terletak beberapa anggapan, bahwa tradisi atau budaya politik haruslah sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga yang ada, demikian sebaliknya. Karenanya dapatlah dimengerti mengapa jawaban pada pertanyaan di awal tulisan ini berbunyi negatif. Untuk menjadi positif perlu perjuangan melalui serangkaian pemilu. Karena dari sini bisa dimulai perombakan aturan mengenai mekanisme kerja pemerintah, hubungan pusat dan daerah serta perumusan kembali peran dan posisi institusi-institusi yang ada agar dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Sumber: santrigusdur.com