Mantra Pesantren dalam Krisis

Dalam perkembangan pesantren di negeri kita, terdapat banyak sekali legenda yang harus diteliti secara mendalam, termasuk dengan penelitian lapangan. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah legenda tentang Syeikh Ahmad Muttamakin dari Mejagung. Pertama mengenai lokasi kegiatan beliau. Ada sumber lisan yang menyatakan bahwa Mejagung terletak di Tuban, sekarang Jawa Timur; sedangkan sumber lain mengatakan tempat itu ada di wilayah Pati (sekarang termasuk kecamatan Kajen, Kabupaten Pati). Kedua menurut Dr. Subardi dalam desertasinya tentang Serat Cebolek, menggambarkan perdebatan antara beliau dan Katib Anom (cucu Sunan Kudus), yang dimenangkan oleh tokoh Kudus itu (yang penulis duga jadi semacam Menteri Agamanya Amangkurat III dari Kraton Kartasura dekat Solo. Dalam serat itu, Kiai Ahmad Muttamakin mengakui “kesalahan doktriner” yang dibuatnya, tanpa menjelaskan hal itu. Ini terbawa oleh kenyataan, bahwa Katib Anom menyalahkan Kiai Ahmad Muttamakin yang menyimpang dari “hukum agama” sebagaimana tertera dalam literatur fiqh. Bentuk penyimpangan itu adalah ia membiarkan Gajah dan Ular dilukis lengkap pada dinding Musholla tempatnya beribadat/mengajar, sedangkan waktu itu fiqh menetapkan bahwa tidak ada gambar yang utuh dari binatang maupun manusia yang diperkenankan. Yang sebenarnya diperbolehkan hanyalah “gambar mahluk hidup” yang tidak lengkap alias hanya sebagian saja. Di samping itu, Kiai Mutamakin sering menikmati pagelaran wayang kulit dengan cerita Dewa Ruci/Bima Sakti.

Apa yang tidak dikemukakan oleh Dr. Subardi dalam serat Cebolek itu adalah latar belakang politis dari pemunculan beliau, yang mungkin menimbulkan “masalah” bagi para pemuka agama Islam dalam masyarakat Jawa pada waktu itu. Para ahli fiqh, -di masa itu dikenal juga dengan nama kaum syari’ah-, banyak yang dekat posisi mereka dengan Raja/Penguasa, minimal dimasyarakat “pesisiran” tempat Kiai Muttamakin tinggal. Sebaliknya para pemimpin tarekat (gerakan tasawuf yang diakui), umumya menentang penguasa. Namun keadaan ini menjadi berkebalikan pada tahun 70-an hingga akhir abad yang lalu (abad ke-20 masehi).

Jika Wali Sanga (wali sembilan yang menyebarkan Islam di kalangan orang Jawa dalam Abad ke XV dan XVI Masehi) menggunakan cara berkonfrontasi untuk menundukan para penguasa, dan hal itu diikuti oleh para ahli fiqh dalam abad ke XVI dan XVII Masehi, Kiai Muttamakin menampilkan sebuah “strategi baru” dalam perjuangan gerakan-gerakan Islam waktu itu dalam menghadapi para penguasa, minimal di kalangan orang Jawa. Strategi baru itu merupakan jalan ketiga, yaitu tidak membiarkan tunduk kepada para penguasa (seperti dilakukan para ahli fiqh), maupun menentang mereka (seperti dilakukan para pemimpin tarekat). Cara ketiga itu berintikan sikap menolak membicarakan pribadi-pribadi kaum penguasa waktu itu, melainkan hanya membatasi diri pada “kebiasaan” mengemukakan hal-hal ideal jika para penguasa berperilaku adil, memperjuangkan kebenaran dan berpikir melayani kepentingan orang banyak.

Strategi baru Kiai Muttamakin itu akhirnya menjadi “strategi model” bagi apa yang dinamakan perjuangan Islam di negeri ini sampai sekarang. Dalam kidung yang ditulis dalam huruf Arab tetapi berbahasa Jawa (literatur Pegon) tersebut –kidung ini dahulunya dibacakan (dan terhenti sejak beberapa tahun terakhir ini) dalam upacara peringatan kematian (Haul/Khoul) beliau di Desa Kajen, Margoyoso, Pati yang dihadiri oleh lebih dari 100 ribu orang-, disebutkan bahwa oleh penguasa/Ratu (yang berarti Raja) di Solo akhirnya beliau diambil menjadi menantu. Ini adalah perlambang dari tercapainya kemenangan beliau dihadapan Ratu/Raja tersebut. Penguasa waktu itu adalah Susuhunan Pakubuwana II yang berkuasa di Surakarta Hadiningrat, menggantikan Amangkurat dari Kertasura.

Dalam kidung tersebut diceritakan kembali doa-doa yang diucapkan oleh Syeikh Ahmad Muttamakin dalam perdebatannya melawan seorang abdi dalam maupun belakang oleh Susuhunan Pakubuwana II sendiri. Hal itu dapat dimengerti karena Syeikh Ahmad Muttamakin adalah pengasuh sebuah Pondok Pesantren, sehingga doa-doa yang diucapkannya tentulah dibaca tiap hari oleh murid-muridnya, baik santri di pesantren maupun pengikut tarekat di luarnya. Karenanya, dalam pengertian kita sekarang ini, apa yang dijadikan doa-doa oleh mereka dapat disebut sebagai “mantra” di lingkungan pesantren (para kiai, para santri dan para pengikut kiai di luar pesantren).

Beraneka warna dan berjenis-jenis istilah yang digunakan di lingkungan mereka, baik yang bersifat umum maupun khusus. Yang belakangan ini disebut juga ijazah, konjugasi dari kata Ajaztuka yang berarti kubolehkan engkau mengajarkan/menggunakan suatu hal yang kuberikan kepadamu. Seorang kiai harus dapat memberikan ijazah dalam bentuk doa, di samping ijazah mengajarkan kitab atau literatur yang semula diajarkan. Baik pemberian doa maupun ijin mengajarkan kitab tertentu itu, tentu saja dimulai dan ditutup dengan pembacaan doa oleh sang Kiai, yang diamini oleh para santri/pengikutnya. Karenanya, seorang santri seperti pembawa makalah ini, dengan bangga akan mengemukakan ia telah mendapatkan ijazah buku atau kitab dari seorang kiai, yang tentu saja akan disebutkan namanya dengan penuh hormat oleh santri tersebut. Umpamanya saja, pembawa makalah ini akan dengan bangga menyebutkan bahwa ia memperoleh ijazah dari Kiai Idris Kamali dari Tebuireng, Jombang untuk mengajarkan Al Itqan dari Imam Al-Sayuti yang ditulis abad ke-X Hijriyah/ ke- XVIII Masehi. Ada 25 buah literatur berbahasa Arab yang diperoleh ijin/Ijazahnya oleh penulis setelah bertahun-tahun mengaji di pesantren. Tentu saja selama belajar di pesantren para santri tidak akan sama memperoleh ijazah literaturnya, karena para kiai memiliki keahlian yang berbeda-beda pula. KH. A Wahab Chasbullah (Ra’is Am PBNU 1947-1971) yang ahli Ushul F’qh/teori hukum Islam tentu tidak sama dengan adik iparnya, KH. M. Bisri Syansuri (Ra’is Am PBNU 1971-1980) yang adalah ahli fi’qh sangat terkenal.

Empat belas buah “disiplin pengetahuan agama” Islam yang dipelajari di pesantren secara tradisional sesuai dengan silabi yang disusun oleh Imam Al-Suyuti dalam Itman Al-Dirayah, merupakan lahan kajian yang memiliki ratusan “buku wajib” (Al-Kutub Al-Mu’tabarah), sehingga tidak mungkin seorang santri pernah membaca/mengaji semuanya. Namun, seorang kiai diharapkan mampu mengajarkan sebuah “buku wajib” untuk tiap disiplin, sehingga ia memiliki kebulatan disiplin-disiplin yang diketahuinya. Namun, kiai tersebut tidak akan mengajarkan semua disiplin yang pernah dipelajarinya. Ia akan memberikan ijazah hanya dalam disiplin-disiplin yang dikuasainya dan dengan demikian ia melakukan “pendalaman bidang” yang diajarkannya. Namun ia akan memberikan ijazah atau doa umum yang sama dengan para kiai yang lain dari pesantren-pesantren yang berbeda. Dalam “ijazah umum” itu, ia akan memberikan urutan-urutan para kiai yang mengajarkan “buku wajib” tersebut, yang tentu saja memuat nama guru, hingga kepada pengarangnya. Rangkaian nama-nama  itu di kalangan pesantren disebut sebagai “sanad” (mata rantai) ijazah atau “Buku Wajib” tersebut, yang tentunya berbeda dari (walaupun berfungsi sama dengan) sanad hadis dari zaman Nabi Muhammad SAW.

Pesantren mengenal istilah pesantren tahunan ataupun pesantren bulanan (lebih dikenal dengan sebutan “pesantren puasa”). Jenis pertama adalah Pesantren yang memberikan pelajaran sepanjang tahun, sedangkan jenis kedua hanya berlangsung selama bulan puasa, seperti halnya dengan Pondok Ramadhan yang disamakan dengan program musim panas (summer program). Kedua jenis pesantren itu, -yang pertama memiliki jangka pendidikan panjang dan yang satu berjangka sangat pendek-, sama-sama memiliki tata nilai serupa yaitu penghormatan kepada guru ketundukan kepada hukum agama dan sama-sama menegakkan tata peribadatan serupa. Dengan mengikuti nilai-nilai yang sama itu, dengan sendirinya tata nilai yang dikembangkan dari satu ke lain pesantren akan melahirkan tata kehidupan yang memiliki persamaan yang kokoh pula. Memang, dalam abad modern ini pesatren juga menghadapi tantangan-tantangan Barat dari proses modernisasi, yang dalam banyak hal berarti “pembaratan” dalam bentuknya yang vulgar.

Akibat suasana penuh tantangan dari respon yang lebih banyak berupa imitasi “proses pembaratan” itu sendiri, maka dominasi pencarian ijazah yang diutamakan dalam pendidikan agama formal di sekolah-sekolah agama kita sekarang, yang dikejar bukanlah standarisasi ilmu pengetahuan agama, melainkan penghargaan yang terlalu berlebih kepada ijazah/diploma dari sekolah-sekolah tersebut. Berbeda dari perolehan ijazah cara lama, -yang bertumpukan pengalaman tata nilai yang dipercaya dalam kehidupan sehari-hari-, pencarian ijazah “model baru” tersebut sama sekali tidak mengindahkan pengalaman tata nilai tersebut. Dengan demikian, “perbenturan budaya” antara sekolah-sekolah agama kita dan sistem kehidupan Barat terletak pada perbenturan dua institusi. Karena baik Islam maupun Barat juga memiliki sisi lain yaitu proses budaya.

Harus diingat baik pihak Barat maupun pihak Islam sama-sama memiliki proses budaya yang kuat, maka dengan demikian kedua peradaban seluruhnya itu saling belajar bagaimana mengembangkan budaya di hadapan tantangan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Salah satu tantangan modernisasi adalah hilangnya ketiga nilai di atas yang digantikan oleh “modernitas” model barat yang terlalu berdasar kepada logika rasional, yang lebih banyak bersifat materialistik, capaian inilah yang menjadi kritik penulis. Makalah ini juga ditujukan untuk mengkritisi konsep “perbenturan peradaban” (clash of civilizations) yang dikemukakan oleh Samuel Huntington. Penulis makalah ini menilai, Huntington hanya mampu menggambarkan deretan pohon yang memiliki perbedaan keunikan tanpa mampu melihat keseluruhan hutan. Ia hanya mampu melihat sekitar peradaban yang saling berbenturan itu, tanpa mampu mengamati proses saling belajar antara mereka. Proses saling belajar itu terlihat dari adanya sekitar ratus ribu orang pemuda muslim yang belajar di Barat setiap tahunnya. Mereka tidak hanya datang untuk mempelajari teknologi dan ilmu pengetahuan yang dijalani orang-orang barat, tetapi mereka juga memperoleh “penularan” dari peradaban Barat dan hal-hal lain yang diperlukan untuk “mengerti” peradaban Barat secara lengkap yaitu penghargaan kepada kerja keras, bersikap jujur dalam kehidupan, menghargai kedaulatan hukum dan kebebasan perpendapat, pengorganisasian hidup dan keterbukaan kepada paham-paham lain di luar pandangan sendiri. Walaupun sebenarnya nilai-nilai yang disebutkan di atas juga terdapat dalam peradaban masing-masing, namun hanya masih dalam bentuk potensi yang belum dikembangkan.

Salah satu “korban” dari perbenturan modernisme lawan tradisionalisme itu adalah mantra-mantra yang terdapat di lingkungan pesantren. Sekarang ini mantra demi matra yang sering digunakan di pesantren, kehilangan relevansinya dihadapan erosi keyakinan akibat pendidikan formal yang terlalu diarahkan kepada capaian-capaian materialistik. Mantra-mantra yang digunakan di pesantren, dalam bentuk doa seperti Hidzb, Wirid, dan sebagainya sudah tidak dianggap sakti oleh banyak sekali warga pesantren sendiri, sehingga dengan demikian terjadi pembelahan warga pesantren antara dua kubu yang saling berhadapan. Yaitu mereka yang percaya kepada mantra-mantra tersebut dan dianggap tidak rasional dengan mereka yang seolah-olah bersikap rasional secara penuh, namun tidak terjadi proses pengembangan rasionalitasnya berlandaskan pertimbangan moral. Hal terakhir mengakibatkan munculnya konservativisme politik seperti saat ini.

Dilupakan dua hal penting oleh kaum muslimin dalam “perbenturan budaya” -antara yang modern dan yang kuno itu-, bahwa mau tidak mau perbenturan itu akan mempengaruhi juga kedudukan mantra di lingkungan pesantren. Oleh karena itu perlu dikaji beberapa hal yaitu: pertama, karena terdapat kekhususan antara berbagai masyarakat, maka  dalam mengembangkan ajaran Islam ini diharuskan adanya studi kawasan kaum muslimin (Islamic Area Study’s) yang oleh laporan penulis kepada Universitas PBB di Tokyo (dengan Rektor Dr. Sudjatmoko) pada tahun 1980-an, terbagi sebagai berikut: Masyarakat Afrika Hitam, Masyarakat Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, masyarakat Turki – Persia – Afghan, masyarakat Asia Selatan (Bangladesh, Pakistan, Nepal, India dan Sri Lanka), masyarakat Asia Tenggara dan masyarakat minoritas muslim di negeri-negeri industri maju (terutama Eropa Barat dan Amerika Serikat). Kedua, perbedaan cara hidup antara Asia Tenggara dan Timur Tengah mempunyai perbedaan dalam struktur masyarakat. Di Asia Tenggara, tradisi gerakan Non-Pemerintah (LSM) sudah lama ada dan berdiri secara indenpenden. Sedangkan di Timur Tengah tradisi seperti itu tidak ada –contoh dari hal ini adalah ketua gerakan palang merah, ditunjuk dan diangkat oleh presiden/penguasa-. Dengan demikian gerakan-gerakan yang berbeda dengan pemerintah harus bergerak di bawah tanah dan isu utama yang digunakan tidaklah mengajukan kritik terhadap kebijaksanaan pemerintah, melainkan terhadap “modernisasi model barat”. Pada akhirnya, hal ini sampai pada perbenturan institusional yang menjadi latar belakang terorisme secara internasional.

Kedua kenyataan diatas tentu saja menimbulkan pengaruh sangat besar kepada kedudukan mantra bagi kaum muslimin, termasuk yang berada di pesantren. Akhirnya do’a, Hidzb dan wirid hanya digunakan oleh mereka yang masih mempercayai ketiganya, sedangkan mereka yang menganggap diri “modern” tidak lagi memiliki kepercayaan seperti itu. Memang berat bagi kaum muslimin tradisionalis untuk meyakinkan keseluruhan kaum muslimin untuk tetap percaya penuh kepada kekuatan doa, hidzb dan wirid. Karena walau mereka berdoa pun, seperti di masjid-masjid kawasan kota, belum tentu mempercayai doa mereka sendiri, karena hal itu dilakukan karena memenuhi ketentuan sopan-santun maupun karena keinginan orang banyak. Karena itulah selama gerakan-gerakan Islam tidak dapat menyelesaikan hal itu dengan baik, maka dikotomi antara yang modern dan yang tradisional akan tetap ada. Sementara itu, dikotomi antar kaum muslimin pun tidak hanya dibatasi pada gerakan yang diikuti saja,  melainkan juga memasuki bidang-bidang lain. Demikian juga dalam bidang pendidikan, lembaga-lembaga modern berhadapan dengan pandangan hidup kuno yang berintikan kekuatan mantra tersebut. Tidak terkecuali dalam dunia pesantren.

Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita bahwa masalah mantra dalam bentuk do’a, hidzb wirid yang juga merupakan bagian umum dari proses ijazah oleh sang Kiai pada murid/ santrinya juga dilanda oleh “krisis keyakinan”.  Ini diakibatkan oleh berbagai tantangan internasional dari proses modernisasi. Sewaktu belajar di Pesantren Tegalrejo (Magelang) dari 1957-1959, penulis tiap bulan menyelesaikan membaca Al-Quran (Khatam Qur’an) di pemakaman Tejo Mulyo. Hal itu dimaksudkan sebagai penunjang bacaan doa, hidzib dan wirid yang harus dijalaninya waktu itu,-hingga kini pun masih ada yang “diamalkan” oleh penulis. Hingga saat membuat makalah ini, penulis berkeyakinan bahwa kepercayaan individual akan kekuatan mantra itu, harus diimbangi dengan rasionalitas kolektif kaum Muslimin di mana pun mereka berada, sebagai bagian dari proses penemuan identitas diri kembali. Pengamalan wirid dan hizib merupakan sesuatu yang sah dari sudut mana pun, sama sahnya dengan “pencarian akar” yang dilakukan oleh orang-orang seperti Alex Haley melalui novelnya, The Roots. Apabila kita mengakui “hak kultural” berarti kita mengakui keutuhan manusia secara keseluruhan. Dan adalah hak seseorang untuk menilai bahwa hal itu adalah sesuatu yang ada gunanya atau tidak. Rasionalitas saja memang tidak cukup, karena ia cenderung melebih-lebihkan porsi rasio dalam kehidupan. Rasionalitas sebagai ukuran kegunaan sesuatu secara kolektif memang harus dipakai, tetapi penggunaannya secara individual sering harus dipertanyakan kembali. Nah, jika kita dapat “menerima” perbedaan antara kenyataan kolektif yang rasional dengan kebutuhan individual yang belum tentu rasional, maka hal ini masih menunjukkan pentingnya arti mantra dalam kehidupan manusia, apalagi untuk lingkungan pesantren.

Sumber: santrigusdur.com

Presiden Republik Indonesia ke-4.