Sejarah perkembangan Islam di mana pun juga, senantiasa memperlihatkan jalinan antara dua hal, yaitu sistem individu (perorangan) dan sisi kemasyarakatan (sosial). Kedua hal itu harus dimengerti benar, kalau kita menginginkan pengetahuan mendalam akan agama tersebut. Kalau hal ini telah dilaksanakan, maka akan kita lihat beberapa kemungkinan untuk pengembangan lebih jauh. Tentu saja ada yang menyanggah pendirian tersebut, dengan dalih Islam telah sempurna, dan tidak memerlukan pengembangan. Pendapat tersebut perlu diuji kebenarannya, agar kita memperoleh gambaran lengkap tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan. Dengan kata lain, sebenarnya kita saat ini memerlukan skala prioritas yang lebih jelas, dalam menatap masa depan.
Memang kitab suci al-Qurân tidak pernah secara jelas membagi kedua masalah itu (individu dan sosial) dalam kandungannya. Seluruhnya bersandar pada kemampuan kita memahami kitab suci tersebut, mana yang merupakan perintah (khittah) untuk perorangan, dan mana yang untuk masyarakat. Seluruhnya bergantung atas penafsiran kita. Umpamanya saja firman Allah Swt yang menyatakan: “Dan Kujadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal (wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâila lita’ârafû)” (QS al-Hujurât [49]:13). Jelas di situ, yang dimaksudkan umat manusia secara keseluruhan, dan yang dikehendaki adalah kenyataan yang tidak tertulis: persaudaraan antara sesama manusia.
Dalam kitab suci al-Qurân terdapat sebuah ayat yang sangat penting yang berbunyi: “Kawinilah apa yang baik bagi kalian, daripada wanita-wanita, dua, tiga atau empat orang wanita (tetapi) jika kalian takut tidak dapat (bersikap) adil, maka hanya seorang (istri) saja (fankihû mâ thâba lakum min an-nisa matsnâ wa tsulâtsâ wa rubâ’a wa in khiftum an lâ ta’dilû fa wâhidah)” (QS al-Nisa [4]:3).[1] Jelas ini merupakan perkenan, bukan perintah. Karena itu, ia bersifat perorangan karena tidak dapat dilakukan generalisasi, itu pun harus dirangkaikan dengan kenyataan, siapakah yang menentukan poligami itu adil? Kalau pihak lelaki, berapa orang perempuan pun akan tetap dirasa “adil”. Sedangkan bagi perempuan, masalah keadilan itu bersangkut paut dengan rasa keadilan secara “normal”, tentu lebih banyak kaum perempuan yang merasakan poligami itu tidak adil.
Dengan kemampuan memilih dan membedakan mana yang bersifat individual, dari hal yang bersifat kemasyarakatan (kolektif) jelas peranan menggunakan akal dan pikiran kita menjadi sangat besar. Dalam khasanah pemikiran ini, salah satu adagium “harta warisan“ yang dipakai NU sebagai patokan adalah: “memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan menggunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru (al-muhâfadzatu’ala al-qadîmi al sâlih wa al akhdzu bi al jadîd al-ashlah).”[2]
Terkadang, sebuah kewajiban agama memiliki dua sisi itu, yaitu sisi individual dan sisi kolektif sekaligus, yang menjadikan kita sering lupa bahwa perintah agama dapat saja memiliki kedua dimensi tersebut. Umpamanya saja, kewajiban berpuasa, yang semula diperintahkan sebagai sesuatu yang bersifat individual, perintah Allah Swt: “Diperintahkan kepada kalian untuk berpuasa, seperti juga diwajibkan atas kaum-kaum sebelum kalian (kutiba ’alaikum al-shiyâm kamâ kutiba ’ala ladzîna min qablikum)” (QS al-Baqarah [2]:183). Perintah yang sepintas lalu bersifat individual ini pada akhirnya berlaku bagi seluruh kaum muslimin, sebagai kewajiban semua orang Islam. Dengan demikian, kita harus mampu mencari yang kolektif dari sumber sumber tertulis (dalil naqli).
Dalam perintah Nabi yang tertulis saja, yang membawakan sebuah kecenderungan baru, terkadang kita sulit untuk membedakan atau menetapkan, mana yang berwatak kolektif dan mana yang individual. Sebagai contoh, dapat dikemukakan adanya adagium: “Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur (uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi).” Memang hal itu adalah kerja terpuji, tetapi tidak jelas dalam ungkapan ini, apakah kewajiban yang timbul itu berlaku untuk perorangan seorang muslim ataukah bagi sekelompok kolektif kaum muslimin? Jika diartikan sebagai kewajiban kolektif, bagaimanakah halnya dengan mereka yang tidak bersekolah? Benarkah mereka termasuk orang-orang bersalah?
Kejelasannya tidak dapat dicapai dengan ungkapan harfiah (literalis), karena tidak akan tercapai kesepakatan kaum muslimin tentang “kewajiban” bersekolah. Tapi apakah tanpa kesepakatan itu, lalu orang tidak berhak mendapat pendidikan? Dalam keadaan tiadanya kesepakatan tentang suatu hal, maka seseorang dapat mengikuti pendapat wajib bersekolah, sama halnya seperti orang yang mengikuti pendapat tidak wajib bersekolah. Apakah sesuatu itu merupakan kewajiban universal ataukah kewajiban fakultatif? Dapat dikemukakan sebagai contoh mengenai hal ini, yaitu adanya ungkapan populer “mencintai tanah air adalah sebagian (pertanda) dari keimanan (hubbu al-wathan min al-îmân).”[3] Tidak jelas apa wujud “kewajiban” mencintai tanah air yang menjadi tanda keimanan seseorang itu? Apakah ini berarti kewajiban memasuki milisi untuk mempertahankan tanah air, atau bukan? Untuk itu, diperlukan penjelasan dengan menggunakan akal, sehingga sumber tertulis (dalil naqli) maupun keterangan rasional (dalil aqli) dapat digunakan bersamaan.
Terkadang, sebuah ucapan yang secara harfiah tidak menunjukan suatu arti khusus, dapat saja secara rasional diberi arti sendiri oleh kaum muslimin. Contohnya, adalah ucapan Nabi Muhammad Saw: “Tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke (tanah) Tiongkok (uthlub al-ilma walau bi al-shîn).”[4] Ungkapan tersebut hanya menunjuk kepada perintah menuntut pengetahuan hingga ke tanah Cina, namun para ahli hadis memberikan arti lain lagi. Menurut mereka, yang dimaksudkan oleh ungkapan Nabi Muhammad Saw tersebut jelas-jelas menunjukan, kewajiban mempelajari ilmu pengetahuan non-agama juga. Bukankah di tanah Tiongkok waktu itu belum ada masyarakat muslim sama sekali? Bukankah ini secara teoritik, pemberian kedudukan yang sama di mata agama, antara pengetahuan agama (Islamic studies) dan pengetahuan non-agama? Perumusan sikap oleh para ahli agama Islam tersebut, yaitu kewajiban menuntut disiplin ilmu non-agama, memberikan kedudukan yang sama di antara keduanya.
Dilihat dari berbagai pengertian, seperti diterangkan di atas, jelaslah bahwa ribuan sumber tertulis (dalil naqli), baik berupa ayat-ayat kitab suci al-Quran maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, akan memiliki peluangpeluang yang sama bagi pendapat-pendapat yang saling berbeda, antara universalitas sebuah pandangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat justru sangat dihargai oleh Islam, karena yang tidak diperbolehkan bukannya perbedaan pandangan, melainkan pertentangan dan perpecahan. Kitab suci kita menyatakan: “Berpeganglah kalian kepada tali Allah secara menyeluruh, dan janganlah terpecah belah/saling bertentangan (wa’ tashimû bi habli Allâh jamî’an walâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103).
Ini menunjukkan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat itu penting, tetapi pertentangan dan keterpecahbelahan adalah sebuah malapetaka. Dengan demikian, nampak bahwa perbedaan, yang menjadi inti sikap dan pandangan perorangan harus dibedakan dari pertentangan dan keterpecahbelahan dari sebuah totalitas masyarakat. Mudah untuk mengikuti ayat kitab suci tersebut, bukan?
Catatan kaki:
[1] Ayat ini sering dimunculkan “terpotong” sehingga dipahami secara parsial dengan tanpa melibatkan pesan ketuhanan sebelum ayat ini. Jika dipahami secara lengkap dengan melibatkan setting yang ada di sekitarnya (ma haula an-nushus/ around the texts), ayat ini sebenarnya merupakan penghormatan yang tinggi terhadap martabat perempuan. Sebelum ayat ini diturunkan, lelaki Arab memiliki budaya mengawini wanita dalam jumlah yang tak terbatas. Kemudian diubah oleh ayat Allah itu dengan grafik menurun yaitu dari seratus, lima puluh, lima belas, sepuluh hingga menjadi empat istri. Belum lagi jika digelar diskursus tentang “in” (jika) dalam ayat ini yang sangat berbeda dengan frame “idza” di mana “in” akan menunjuk sesuatu yang sulit bahkan mustahil terjadi.
[2] Jargon ini tidak diketahui secara pasti siapa “al-muassis al-awwal”-nya, karena dalam tradisi keilmuan klasik tidak pernah muncul jargon indah ini. Sebenarnya adagium ini akan lebih indah lagi jika ada penambahan “al-ijadbil jadid al-ashlah/ menciptakan sesuatu yang baru dan tidak hanya sebagai “konsumen” barang baru. Sebenarnya kebanyakan komunitas muslim masih terhenti pada “al-muhafadlatu ala al-qadim al-salih/ menjaga warisan-warisan yang lama” dengan bernaung dibawah label “as-salaf as-salih” tanpa berani melangkah progresif dalam memahami peta nazariyatul makrifah/epistemology.
[3] Pernyataan ini sering dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah pesan kenabian (hadis), padahal berdasarkan penelitian hadis tidak pernah ada sumber hadis-hadis yang muktabar baik al-kutub al-tis’ah (Kitab hadis sembilan: Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmizi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Muwatta’ dan Sunan Ad-Darimy) ataupun di luar kitab-kitab tersebut yang melansir pesan kenabian ini. Menganggap statement ini sebagai sebuah hadis merupakan sebuah kesalahan metodologis yang tidak bisa dibenarkan oleh rambu-rambu ulumul hadis.
[4] Hadis dlaif ini diriwayatkan oleh Al-Uqaili dalam Al-Dlu’afa, Baihaqi dalam Sya’bu al-Iman dan Ibnu ‘Ady dalam Al-Kami. Lihat Jalaludin Suyuti, Al-Jami’ Al-Saghir, I:44.
Sumber: santrigusdur.com