Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakkan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli“ (Al-Islam Ya’iu wala Yu’la Alahi). Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berarti pemujaan Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain. Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain, karena memandang Islam secara berlebihan dan memandang peradaban lain lebih rendah.
Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemunduran peradaban lain. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara “mempertahankan Islam”. Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Islam.
Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Islam/fikih bahwa orang Islam diperkenankan menggunakan kekerasan hanya jika diusir dari kediaman mereka (Idza ukhriju min diyarihim). Selain alasan tersebut itu tidak diperkenankan menggunakan kekerasan terhadap siapa pun, walau atas dasar keunggulan pandangan Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas mereka salah memahami Islam, yang dipahami bahwa kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan atas kaum lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci Al-Qur’an dengan ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri” (Kullu hizbin bima ladaihim farihun). Kalau sikap itu dicerca oleh Al-Qur’an sendiri, berarti juga dicerca oleh Rasul Nya.
*****
Jelaslah sikap Islam dalam hal ini, tidak menganggap rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam mengajukan untuk mencari keunggulan dari orang lain sebagai bagian dari pengembangannya. Untuk mencapai keunggulan itu Nabi bersabda, ”Carilah Ilmu hingga ke tanah Tiongkok“ (Utlubu al-ilma walau fi al-shin), bukankah hingga saat ini pun ilmu-ilmu kajian keagamaan Islam telah berkembang luas di kawasan tersebut? Dengan demikian, Nabi mengharuskan kita mencarinya ke mana-mana. Ini berarti kita tidak boleh apriori terhadap siapa pun, karena ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang terdapat di mana-mana. Bahkan teknologi maju adalah hasil ikutan (spend off) dari teknologi ruang angkasa yang dirintis dan dibuat di bumi ini. Dengan demikian, teknologi antariksa juga menghasilkan hal-hal yang berguna bagi kehidupan kita sehari-hari. Pengertian “longgar” seperti inilah yang dikehendaki kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Lalu adakah “kelebihan teknis” orang-orang lain atas kaum muslimin dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam? Tidak, karena awal perbuatan kaum muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki sebuah nilai lebih dalam pandangan Islam. Hal itu dinyatakan sendiri oleh Al-Quran: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhirat. Dan ia adalah orang yang merugi “ (Wa man yabtaghi qhaira Al-Islam dinan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirati min al-khasirin). Dari kitab suci ini dapat diartikan Allah tidak akan menerima amal perbuatan seseorang non-muslim, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapa pun.
Sebenarnya pengertian kata “diterima di akhirat” berkaitan dengan keyakinan agama dan dengan demikian memiliki kualitas tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan “secara teknis” membawa manfaat bagi manusia lain. Jadi manfaat “secara teknis” dari setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang “secara teknis” memiliki kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. Peng-Islam-an perbuatan kita justru tidak tergantung dari nilai “perbuatan teknis” semata, karena antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi yang berbeda satu dari yang lain.
*****
Dengan demikian, jelas peradaban Islam memiliki keunggulan budaya dari sudut pengelihatan Islam sendiri, karena ada kaitannya dengan keyakinan keagamaan. Kita diharuskan mengembangkan dua sikap hidup yang berlainan. Di satu pihak, kaum muslimin harus mengusahakan agar supaya Islam –sebagai agama langit yang terakhir- tidak tertinggal, minimal secara teoritik. Tetapi di pihak lain kaum muslimin diingatkan untuk melihat juga dimensi keyakinan agama dalam menilai hasil budaya sendiri. Dengan demikian keunggulan atau ketertinggalan budaya Islam tidak terkait dengan penguasaan “kekuatan politis”, melainkan dari kemampuan budaya sebuah masyarakat muslim untuk memelihara kekuatan pendorong ke arah kemajuan, teknologi, dan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, kita tidak perlu berkecil hati melihat “kelebihan” orang lain, karena hal itu hanya akibat belaka dari kemampuan budaya untuk mendorong munculnya hal-hal yang bersifat “teknis” seperti dikemukakan di atas. Ini juga berarti penolakan Islam atas tindak kekerasan untuk mengejar ketertinggalan “teknis” tadi. Walaupun kita menggunakan kekerasan berlipat-lipat kalau memang secara budaya kita tidak memiliki pendorong ke arah kemajuan, kaum muslimin akan tetap tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sinilah letak penting dari apa yang oleh Samuel Hutington disebut sebagai “pembenturan budaya” (clash of civilizations)” perbenturan ini secara positif harus dilihat sebagai perlombaan antar budaya, jadi bukanlah sesuatu yang harus dihindari.
*****
Beberapa tahun lalu penulis diminta oleh Yomiuri Shinbun, harian berbahasa Jepang terbitan Tokyo dan terbesar di dunia dengan oplah sebelas juta lembar tiap hari, untuk berdiskusi dengan Profesor Huntington, bersama-sama dengan Chan Heng Chee (dulu Direktur Lembaga Kajian Asia-Tenggara di Singapura dan sekarang Dubes negeri itu untuk Amerika Serikat) dan Profesor Aoki dari Universitas Osaka. Dalam diskusi di Tokyo itu, penulis menyatakan kenyataan yang terjadi justru bertentangan dengan teori perbenturan budaya yang dikemukakan Huntington. Justru sebaliknya ratusan ribu warga muslimin dari seluruh dunia belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri-negeri Barat tiap tahunnya, yang berarti di kedua bidang itu kaum muslim saat ini tengah mengadopsi (mengambil) dari budaya Barat.
Nah, keyakinan agama Islam mengarahkan mereka agar menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mereka kembangkan dari negeri-negeri Barat untuk kepentingan kemanusiaan, bukannya untuk kepentingan diri sendiri. Pada waktunya nanti, sikap ini akan melahirkan kelebihan budaya Islam yang mungkin tidak dimiliki orang lain “kebudayaan yang tetap berorientasi melestarikan peri-kemanusiaan, dan tetap melanjutkan misi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Kalau perlu harus kita tambahkan pelestarian akhlak yang sekarang merupakan kesulitan terbesar yang dihadapi umat manusia di masa depan, seperti terbukti dengan penyebaran AIDS di seluruh dunia (termasuk di negeri-negeri muslim). Mudah dikatakan tapi sulit dilaksanakan.
(Artikel ini dimuat pertama kali di Duta Masyarakat; Jakarta, 18 Juni 2003)
Sumber: santrigusdur.com