Kebebasan yang Menjunjung Tinggi Toleransi

Bebas tapi sadar batas….

Demikian yang beberapa tahun saya kampanyekan ke forum-forum milenial. Pada dasarnya, setiap manusia ditakdirkan untuk bersikap bebas dan tidak berbatas. Manusia memiliki kebebasan eksistensial yang tidak bisa diaktualisasikan ke dalam bentuk konkrit tanpa adanya aksi dari orang tersebut. Ketika sudah dipraktekan maka kebebasan eksistensi menjadi tindakan moral. 

Berdasarkan data World Index of Moral Freedom (WIMF) tahun 2020, lima berturut negara dengan kebebasan moral tertinggi adalah Belanda, Portugal, Kanada, Belgia, dan Uruguay. Sedangkan Indonesia berada diurutan ke-136 dari 160 negara yang disurvei. Variabel yang dijadikan indikator meliputi agama, seksualitas, bioetika, narkoba, dan jenis kelamin.

Menariknya, hanya tiga negara mayoritas muslim yang mampu melewati ambang batas 50 poin, yakni; Bosnia dan Herzegovina, Albania, dan Tajikistan. Dua di antaranya berada di Eropa, satunya berada di Asia Tengah. Sebagian besar negara Islam termasuk dalam level yang lebih rendah. Ini mengungkapkan besarnya masalah kebebasan moral di negara-negara muslim dunia.

Situasi yang jauh lebih buruk terus berlanjut di Semenanjung Arab. Lima dari tujuh negaranya bahkan berada di bawah ambang batas 20 poin dan dengan demikian mendapatkan label “kebebasan moral yang sangat rendah”. Ini adalah Kuwait, Oman, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yaman.

Kontroversi Macron

Di tengah tantangan besar melawan virus corona, presiden Prancis, Emmanuel Macron membuat pernyataan kontroversial terkait krisis umat Islam. Bukan tanpa alasan, Macron dianggap geram dengan kasus pembunuhan guru Samuel Paty (47). Baginya, Prancis merupakan negara yang mengedepankan kebebasan berekspresi, termasuk bagaimana respon murid terhadap karikatur Nabi Muhammad.

Seakan memantik kembali konflik masa lalu, Macron justru dihujat di berbagai negara karena dinilai mendukung penistaan Nabi Muhammad. Presiden termuda dalam sejarah negara Prancis itu dianggap gegabah dalam menilai agama Islam secara menyeluruh. Tindakan terorisme dianggap sebagai perwakilan umat Islam yang pada kenyataannya juga ditentang sebagian besar dari umat Islam itu sendiri. Terorisme adalah masalah bersama, bukan diidentitaskan pada satu agama tertentu. Meskipun asumsi masyarakat begitu lekat bahwa pelaku terorisme mayoritas beragama Islam.

Berdasarkan data World Populaton Review, sebaran muslim di dunia mencapai 1,9 miliar orang, terbanyak kedua setelah agama Kristen. Bahkan diprediksi akan meningkat populasinya dari tahun ke tahun. Tak mengherankan jika pernyataan Macron mendapatkan kecaman dari berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Selain protes ke berbagai duta besar Prancis, ajakan boikot produk juga gencar dilakukan di media massa. 

Melalui rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo, NU sebagai ormas terbesar di Indonesia mengeluarkan 4 poin pernyataan terkait gejolak di negara Prancis saat ini :

  1. NU mengecam keras dan sangat menyayangkan pernyataan dan sikap Presiden Emmanuel Macron yang menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia. Tidak bisa tindakan perorangan digeneralisir sebagai ajaran sebuah agama tertentu.
  2. Cara-cara kekerasan, apapun bentuknya, tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Islam. Termasuk juga ajaran agama lainnya. Oleh karena itu, kami mengecam keras pemenggalan terhadap seorang guru di Perancis. Sebagai umat beragama, kita harus taat dan menghormati hukum yang berlaku.
  3. Meminta kepada segenap umat Islam dan warga NU untuk tidak terprovokasi. Semua harus menahan diri sembari terus mengupayakan solusi terbaik.
  4. Islam memiliki ajaran yang melarang untuk menggambar Nabi Muhammad SAW dalam bentuk apapun. Sebagai pemeluk agama, kita harus dapat saling menghormati dan menghargai keyakinan masing-masing. Kebebasan berpendapat harus dijalankan di atas koridor yang tidak melukai keyakinan pihak lain.

Batas Toleransi

Sebagai Presiden, tentu segala ucapan dan tindakannya akan menimbulkan diskursif publik. Prancis merupakan negara yang menjunjung kebebasan berekspresi dengan liberte (kebebasan), egalite,(keadilan), dan fraternite (persaudaraan) sebagai moto resminya. Namun dalam aktualisasinya, sensitifitas terhadap keyakinan juga harus jelas batas kebebasannya. Toleransi bukan tentang seberapa jauh sikap menghargai terhadap ekspresi kebebasan, melainkan seberapa memahami batasan konteks kebebasan itu sendiri.

Apalagi setiap negara mempunyai ideologi masing-masing menilai tentang batasan toleransi. Sedangkan agama sifatnya adalah universal, tidak terikat atau terbatasi teritorial tertentu. Islam masih begitu konservatif memegang nilai-nilai religiusitas yang selayaknya dihargai sesama agama di dunia. Tindakan pembunuhan (terorisme) adalah pencederaan agama, tapi melekatkan identitas terorisme sebagai alasan krisis moral agama adalah kegagapan pemimpin dalam merespon situasi dan kondisi.

Jika kebebasan dibiarkan tanpa batasan, maka konflik akan selamanya terjadi. Tidak semua hal bisa diekspresikan dalam bentuk kebebasan. Ada hukum, moral, dan kesepakatan komunal yang membatasi kebebasan setiap manusia. Moral mungkin bisa mengatasai perbedaan, tapi identitas agama tidak terbatas pada sekat dimensi ruang. Jika agama disadari menimbulkan sikap skeptisme terhadap sensitivitas isu keagamaan, maka seyogyanya setiap influencer menahan kebebasan berekspresi demi kemaslahatan umat dunia.

Setiap negara tentu mempunyai otoritas hukum yang berlaku, tapi dunia juga mempunyai power tersendiri untuk mengekspresikan segala hal yang menyangkut keyakinannya. Setidaknya kasus Macron menjadikan pembelajaran bahwa agama masih terlalu sensitif untuk dibahas di ruang-ruang publik, apalagi di era teknologi informasi yang dengan cepat tersebar ke berbagai elemen masyarakat.

Tulisan ini sebelumnya tayang di Malang Post

Penggerak Komunitas GUSDURian Klaten. Penggagas Komunitas Seniman NU.