Dalam pandangan Islam, tujuan hidup perorangan adalah mencari kebahagian dunia dan akhirat yang dicapai melalui kerangka peribadatan kepada Allah Swt. Terkenal dalam hal ini firman Allah melalui kitab suci al-Qurân: “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada Ku (wa mâ khalaqtu al-jinna wa al-insâ illâ liya’budûni)” (QS. adz-Dzâriyât [51]:56). Dengan adanya konteks ini, manusia selalu merasakan kebutuhan akan Tuhan, dan dengan demikian ia tidak berbuat sesuka hati. Karena itulah, akan ada kendali atas perilakunya selama hidup, dalam hal ini adalah pencarian pahala/kebaikan untuk akhirat, dan pencegahan sesuatu yang secara moral dinilai buruk atau baik di dunia. Karena itulah do’a seorang muslim yang paling tepat adalah “Wahai Tuhan, berikan kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat (rabbanâ âtinâ fî ad-dunya hasanatan wa fî al-âkhirati hasanatan)” (QS. al-Baqarah [2]:201).
Yang digambarkan di atas adalah kerangka mikro bagi kehidupan seorang Muslim di dunia dan akhirat. Hal ini adalah sesuatu yang pokok dalam kehidupan seorang manusia, yang disimpulkan dari keyakinan akan adanya Allah dan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusanNya. Tanpa kedua hal pokok itu sebagai keyakinan, secara teknis dia bukanlah seorang muslim.
Karena manusia adalah bagian dari sebuah masyarakat, maka secara makro ia adalah makhluk sosial yang tidak berdiri sendiri. Terkenal dalam hal ini ungkapan: “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan. (La Islama Illa bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah).” Dengan demikian, kedudukan dan tugas seorang pemimpin sangat berat dalam pandangan Islam. Dia harus menciptakan kelompok yang kuat, patuh dan setia pada kerangka peribadatan yang dikemukakan Islam. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki strategi yang jelas agar tercapai tujuan masyarakat yang adil dan makmur. Tujuan ini diungkapkan dengan indahnya dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sedang dalam bahasa Arab, seorang pemimpin harus mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat yang bertumpukan keadilan dan kemakmuran atau “al-maslahah al-âmmah”.
Hal kedua yang harus ditegakkannya adalah orientasi yang benar dalam memerintah, termasuk orientasi ekonomi yang jelas. Jika segala macam kebijakan pemerintah, tindakan yang diambil dan peraturan-peraturan di bidang ekonomi yang selama ini –sejak kemerdekaan kita, hampir seluruhnya mengacu kepada kemudahan prosedur dan pemberian fasilitas kepada usaha besar dan raksasa, yang berarti orientasi ini tidak memihak kepada kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM), maka sekarang sudah tiba saatnya untuk melakukan perubahan-perubahan dalam orientasi ekonomi kita. Orientasi membangun UKM, dijalankan dengan penyediaan kredit yang berbunga sangat rendah sebagai modal pembentukan UKM tersebut.
Perubahan orientasi ekonomi itu berarti juga perubahan tekanan dalam ekonomi kita. Jika sebelumnya penekanan pada bidang ekspor, yang hasilnya dalam bentuk pajak sangat sedikit kembali ke kas pemerintah, karena begitu banyak keringanan untuk kalangan eksportir. Maka, selanjutnya justru harus diutamakan perluasan pasaran di dalam negeri secara besar-besaran.
Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, peningkatan pendapatan masyarakat guna menciptakan kemampuan daya beli yang besar. Kedua, pengerahan industri guna menghidupkan kembali penyediaan barang untuk pasaran dalam negeri. Ketiga, independensi ekonomi dari yang sebelumnya tergantung kepada tata niaga internasional.
Ini berarti, kita harus tetap memelihara kompetisi yang jujur, mengadakan efisiensi dan menciptakan jaringan fungsional bagi UKM kita, baik untuk menggalakkan produksi dalam negeri, maupun untuk penciptaan pemasaran dalam negeri yang kita perlukan. Keterkaitannya adalah tetap memelihara tata niaga internasional nasional yang bersih dan bersaing, di samping memperluas basis pajak kita (dari sekitar 2 juta orang saat ini ke 20 juta orang wajib pajak dalam beberapa tahun mendatang). Ditambah dengan, pemberantasan kebocoran-kebocoran dan pungutan liar yang masih ada sekarang ini. Barulah dengan demikian, dapat kita naikkan pendapatan.
Tata ekonomi seperti itu akan lebih memungkinkan tercapainya kesejahteraan dengan cepat, yang dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan sebagai terciptanya masyarakat adil dan makmur. Dalam fiqh disebutkan “kebijakan dan tindakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin harus sejalan dengan kemaslahatan mereka (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah)”. Itu berlaku juga untuk bidang ekonomi. Ekonomi yang berorientasi kepada kemampuan berdiri di atas kaki sendiri, menjadikan ekonomi kita akan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Apakah ekonomi yang sedemikian itu akan dinamai ekonomi Islam atau hanya disebut ekonomi nasional saja, tidaklah relevan untuk didiskusikan di sini. Yang terpenting, bangunan ekonomi yang dikembangkan, baik tatanan maupun orientasinya, sesuai dengan ajaran Islam. Penulis yakin, ekonomi yang sedemikian itu juga sesuai dengan ajaran-ajaran berbagai agama lain. Karenanya, penamaan ekonomi seperti itu dengan nama ekonomi Islam, sebenarnya juga tidak diperlukan sekali, karena yang terpenting adalah pemberlakuannya, dan bukan penamaannya.
Dalam kerangka inilah, kepentingan mikro ekonomi Islam secara pribadi, yaitu untuk mencapai kebahagiaan dunia-akhirat, lalu sama posisinya dengan dibangunnya ekonomi makro yang mementingkan keadilan dan kemakmuran seluruh bangsa. Sebenarnya kita dapat melakukan hal itu, apabila tersedia political will untuk menerapkannya. Memang, ekonomi terlalu penting bagi sebuah bangsa jika hanya untuk diputuskan oleh sejumlah ahli ekonomi belaka, tanpa melibatkan seluruh bangsa. Karena menyangkut kesejahteraan seluruh bangsa, maka diperlukan keputusan bersama dalan hal ini. Untuk mengambil keputusan seperti itu, haruslah didengar lebih dahulu perdebatannya.
Sumber: santrigusdur.com