Dalam tulisannya di buku Tuhan Maha Asyik, Sujiwo Tejo dan M.N. Kamba menuturkan bahwa terbentuknya mindset ditentukan oleh pengalaman, pendidikan, dan terkadang melibatkan prasangka. Mindset jauh lebih berpengaruh dibandingkan mainstream. Mainstream terbentuk karena proses indoktrinasi yang berupaya memengaruhi mindset, bukan sebagai representasi kebenaran apa adanya. Apa yang tertera dalam buku tersebut melempar ingatan saya semasa remaja. Sebagai warga yang beragama Katolik, keluarga saya adalah salah satu dari dua keluarga pengikut Yesus di lingkup RW. Masa pertumbuhan diri saya sejak kanak-kanak yang berada di lingkungan masyarakat Islam mendaulat saya menjadi pribadi yang terbiasa dengan label minoritas. Saya menjumpai istilah ini tidak di lingkungan rumah saya melainkan dari uraian artikel yang bertebaran di surat kabar.
Terbiasanya saya dengan label minoritas tidak terlepas dari jenjang pendidikan dari SD hingga kuliah yang ditapaki. Tantangan selalu rutin hadir kala sesi pelajaran agama digelar. Belajar di ruang kecil yang disediakan pihak sekolah guna mengakomodir jalannya kegiatan pembelajaran dengan sedikit manusia yang mengisinya secara perlahan membentuk pribadi saya pada apa yang kelak disebut dengan istilah “sudah biasa”. Dekade tersebut saya lalui dengan maraknya pemberitaan tentang aneka bom bunuh diri yang digiatkan oleh para teroris. Media massa dan obrolan di angkringan banyak yang membahas ulah oknum masyarakat Islam yang keblinger. Sayangnya, terdapat pula pihak yang terkesan menyamaratakan stigma terhadap orang Islam gara-gara aksi terorisme tersebut. Mereka menangkap citra bahwa Islam adalah agama yang lekat dengan amarah, mudah tersulut emosi, dan cenderung menyelesaikan perkara dengan agresif.
Persepsi seperti ini mengingatkan saya pada tulisan Gus Dur dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela yang membahas kunjungan V.S. Naipaul ke Indonesia di tahun 1979. Aspek kemarahan orang Islam yang didapati Naipaul dalam kasus Adi Sasono dan insiden berdarah terkait orang-orang komunis pasca tragedi 1965 mendorongnya untuk bersintesis bahwa Islam identik dengan rupa amarah. Memukul rata cap suatu kelompok besar karena kealpaan yang dilakukan oleh segelintir oknum adalah kekonyolan yang nggapleki. Agaknya sejak awal Naipaul memang telah mengantongi persepsinya sendiri dan datang ke sini sekadar untuk memperoleh penegasan melalui studi lapangan. Klaim semacam ini mengganggu saya sebagai manusia yang dianugerahi nalar dan nurani. Andai saja Naipaul blusukan lebih lama di Indonesia, niscaya ia akan menjumpai paradigma yang lebih luas tentang Islam. Gus Dur menekankan bahwa sikap yang dilandasi cepatnya membuat kesimpulan tanpa kecermatan hanya akan menghadirkan malapetaka. Skeptis, berpegang pada prasangka yang berlebihan, serta ketidakobyektifan dalam memandang fenomena sosial tidak akan mampu menghasilkan cara pandang yang jernih.
Sepanjang umur saya bersentuhan dengan masyarakat Islam secara langsung, nilai-nilai toleransi dirasakan dengan amat dekat dan lekat. Pengalaman kala menemani ayah saya mengikuti kenduri di desa berbicara banyak tentang hal tersebut. Dari sisi historis, kenduri memang telah diterapkan oleh masyarakat sebelum Islam masuk ke Nusantara. Meskipun demikian, kenduri dengan nuansa Islami adalah kenduri yang saya jumpai di desa. Kegiatan kenduri yang dikomandoi oleh modin atau kiai yang memimpin doa secara Islam ini sukses merebut animo saya. Ketika sesi doa dimulai dan seluruh warga melantunkan doa-doa islami, saya berdoa sesuai keyakinan saya. Saya tidak ragu untuk membuat tanda salib dan berdoa sesuai tema syukur dari warga yang menggelar kenduri tersebut. Hal ini saya terapkan bertahun-tahun hingga sekarang. Apakah ada warga yang terganggu dengan sikap saya? Jawabannya adalah tidak. Tetangga-tetangga saya justru mengapreasiasi keluarga saya yang bersedia mengikuti kenduri meski hanya kami saja yang berdoa dengan cara yang berbeda. Teknik dan pelafalan doanya memang berbeda, namun saya yakin jika inti dari semua doa tetap sama yakni memohon berkat dan hal-hal positif dari Sang Pencipta.
Keluarga saya memang dekat dengan kenduri. Ketika kakek saya meninggal, prosesi doa digelar dalam dua cara yang berbeda dan di waktu yang tidak bersamaan. Di sore hari kami menggelar misa yang dipimpin pastor dan di malamnya giliran kenduri yang kami selenggarakan. Keluarga saya dekat dengan modin dan kiai di desa. Setiap keluarga saya diberikan rezeki oleh Tuhan, kenduri adalah cara kami memanjatkan ucapan syukur. Di luar perkendurian, wujud ramahnya Islam saya jumpai ketika hari Idul Adha. Momentum saat umat Muslim bersantap daging kurban ini rupanya juga menjamah keluarga saya. Daging kambing atau sapi per tahunnya selalu diantarkan ke rumah saya. Saya cukup kaget karena warga yang dijatah daging umumnya adalah umat Muslim. Keheranan saya terjawab setelah saya mengetahui bahwa Pak RT memasukkan keluarga saya dalam daftar penerima daging kurban. Sampai di sini sulit rasanya jika saya tidak menyebut keramahan Islam sungguh menggetarkan hati.
Hari Idul Fitri pun seolah enggan ketinggalan daya pikatnya. Usai shalat Ied dilaksanakan, seluruh warga lalu berkumpul di halaman rumah Pak Haji yang memang luas. Warga membentuk lingkaran besar memenuhi tepi halaman rumah bahkan memanjang hingga ke jalan. Di desa saya, hal ini disebut dengan istilah ujung atau bermaafan secara bergiliran dengan berbaris rapi. Dengan sistem ini, setiap warga pasti akan bersalaman dan bermaafan dengan warga lainnya. Sembari antrian warga berjalan, sholawat dilantunkan tanpa henti. Dari tahun ke tahun, keluarga saya terlibat dalam kegiatan ini. Dari dekat saya dapat melihat betapa budaya maaf sangat lekat dengan Islam. Memaafkan adalah kewajiban umat manusia karena dalam diri kita kerap menjadi tempat dari salah dan khilaf. Sekali lagi saya mengalami pengalaman batin yang menegaskan wajah ramah Islam dalam kehidupan keseharian.
Sentuhan yang saya rasakan dengan Islam ini menepis jauh-jauh paranoid sebutan sebagai kafir yang mungkin dialami oleh masyarakat non-Muslim lain. Apa yang pernah saya baca di berita koran tidak terjadi di lingkungan hidup saya. Sikap ini saya jumpai dalam pemikiran Gus Dur. Beliau pernah berujar bahwa mengkafirkan orang jelas merupakan tindakan yang salah. Sebagai sesama warga yang memiliki keterikatan satu bangsa, jalinan persaudaraan hendaknya tidak dibumbui dengan pelabelan yang berpotensi merenggangkan hubungan baik yang telah terjalin. Tidak mengherankan melihat Gus Dur menjadi sosok bapak bagi seluruh warga di Indonesia yang terdiri dari berbagai agama. Filosofinya yang menyejukkan, cara pandang yang arif, serta sikap mengayomi dari beliau menjadikan Gus Dur sebagai figur teladan sepanjang hayat.
Saya teringat tulisan Kalis Mardiasih yang mengatakan bahwa Islam dicintai melalui keteladanan hidup yang ditampilkan. Melalui sikap positif, Islam tidak terlihat sebagai pesan yang berat diemban hingga membuat kita tertatih. Islam justru memberikan kita semangat, etos kerja yang baik, serta menjadi panduan terindah saat kemanusiaan kita diguncang. Orang di luar sana bisa saja menyebut Islam sebagai agama yang umatnya doyan mengumbar kemarahan. Sebuah pilihan cara pandang yang saya yakini tidak didapati melalui pengalaman hidup secara holistik. Islam yang saya kenal adalah agama yang rahmatan lil’alamin. Oleh karena itu jika terdapat manusia yang menyudutkan Islam dengan berbagai citra negatif, percayalah bahwa orang tersebut hanyalah jenis manusia yang level dolannya kurang jauh. Satu pemahaman yang wajib kita sertai dengan doa terhadap orang-orang yang belum terbuka pikirannya perihal keramahan Islam agar senantiasa dilimpahi kesehatan hingga nantinya mereka menemukan pencerahan hidup melalui Tuhan dengan cara-Nya yang serba ajaib.
_______
Tulisan ini merupakan 1 dari 10 esai terpilih Lomba Menulis Esai #HarlahGusDur bertema “Kita Butuh Islam Ramah, Bukan Islam Marah”, hasil kerja sama gusdurian.net, islami.co, dan nu.or.id.