Melihat Gus Dur di Mata Perempuan

Perempuan-perempuan Gus Dur

“Halo, Om Anis”

“Om Anis”

Maica, Amyra, dan Raisa menghampiri saya. Mereka mengajak bermain. Maica menggambar saya di white board. Adiknya, Amyra, melanjutkan gambar tersebut. Sementara Raisa, si bungsu, minta digendong. Begitulah cerita saya bermain dengan cucu Gus Dur, puteri Ibu Yenny Wahid.

Saya pernah mengajar di Jam Belajar Masyarakat; sebuah program pemberdayaan masyarakat melalaui pendidikan, Peace Village. Peace Village didirikan oleh Ibu Yenny.

Di Peace Village, saya berinterkasi dengan kawan-kawan hebat. Kebanyakan perempuan. Di Jam Belajar Masyarakat sendiri hanya saya yang laki-laki. Empat rekan saya pengelola Jam Belajar Masyarakat perempuan.

Sebelumnya, saya pernah mengikuti acara Ziarah Pemikiran Gus Dur “Menguatkan Narasi Pribumisasi Islam di Indonesia”. Salah satu pematerinya adalah Ibu Ala’i Nadjib, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Materi yang menarik disampaikan oleh beliau adalah tentang Gus Dur dan keadilan gender. Beliau juga menyampaikan tentang Buku “Gus Dur di Mata Perempuan”.

Bila saya tela’ah, Buku Gus Dur di Mata Perempuan menarik. Namun, saya belum mendapatkannya. Saya malah berkesempatan belajar di Peace Village. Bersama kawan-kawan hebat, yang kebanyakan perempuan. Barulah setelah itu saya mendapatkan Buku Gus Dur di Mata Perempuan. Apakah ada kaitannya antara kedua fenomena tersebut?

Melihat Gus Dur di Mata Perempuan

Gus Dur, ketika awal-awal menjadi ketua umum Tanfidziyah, pelaksana NU, didatangi tamu dari Pakistan. Tamu tersebut adalah ulama. Ia meminta tolong Gus Dur agar memerintahkan warga NU membaca surat al-fatihah untuk keselamatan rakyat Pakistan. Mengapa? Karena Pakistan tengah dipimpin oleh seorang perempuan, Perdana Menteri Benazir Bhutto. Ulama tersebut merujuk kepada sebuah hadis Nabi, bahwa akan celaka kaum yang dipimpin oleh perempuan.

Gus Dur alih-alih menolak atau menerima permintaan tamunya, beliau menjelaskan bahwa hadis tersebut disabdakan pada abad VIII Masehi di Jazirah Arab. Tentu dibutuhkan tafsir baru untuk menangkap maknanya. Menurut Gus Dur, kepemimpinan yang sekarang bukan seperti masa lalu. Kepemimpinan di masa lalu bersifat perorangan. Berbeda dengan kepemimpinan sekarang yang kolektif, dilembagakan, baik presiden maupun perdana menteri. Bersama-sama dengan kabinet yang mayoritas laki-laki, mereka memutuskan sesuatu sesuai dengan Undang-Undang. UU tersebut juga dibuat oleh parlemen yang mayoritas laki-laki. Sehingga untuk mengawal mereka diangkatlah para Hakim Agung, yang anggotanya juga laki-laki. Oleh karena itu, kepemimpinan di tangan perempuan tidak masalah.

“Anda benar. Namun kami tetap minta dibacakan fatihah”, kata ulama Pakistan. Kejadian tersebut ada di buku Gus Dur, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”. Kejadian yang jatuh di awal 90-an, sebelum booming isu Islam dan gender.

Kejadian Gus Dur dan ulama Pakistan juga ditulis di buku “Gus Dur di Mata Perempuan”. Buku yang saya tahu setelah mengikuti “Ziarah Pemikiran Gus Dur” setahun silam. Salah satu pemateri, Ibu Ala’i Nadjib, menceritakan tentang buku tersebut. Buku yang menurut saya menarik karena memberi pandangan baru tentang Gus Dur dan isu perempuan. Pandangan tersebut jarang ditemui. Karena, bila kita melihat, sudah sangat banyak tulisan atau buku tentang Gus Dur namun sangat sedikit yang mengangkat isu perempuan.

“Gus Dur dikelilingi lima perempuan(?), apakah yang ada di pikiran kita, beliau beristri lima? Tentu hal itu terhalang oleh agama yang dianutnya. Ataukah berpoligami?, bukankah beliau adalah penganut monogami yang sangat militan? Atau dekat dengan para perempuan itu dan baru sekarang terungkap? Jawaban yang kedua itulah yang hendak dihidangkan kepada para pembaca.” Begitulah Bu Ala’I mengawali tulisannya, “Gus Dur di Mata Keluarga Inti: Hak-Hak Reproduksi”.

“Lima perempuan itu sudah sangat dikenal publik, namun tak banyak diketahui bagaimana mereka hidup seatap dengan beliau di Jombang dan Jakarta. Kala itu mereka masih berempat dan menjadi berlima ketika pindah ke Jakarta. Siapakah para perempuan yang beruntung mendampingi kyai yang unik, tokoh pembela yang termarjinalkan, kaum minoritas dan pejuang pluralism ini? Mereka tentulah istri beliau, Ibu Sinta Nuriyah, dan anak-anak perempuan beliau, Alissa Qatrunnada Munawaroh, Yenny Zannuba Arifah Chafsoh, Anita Hayatunnufus dan Inayah Wulandari,” lanjut Bu Ala’i.

Gus Dur, berada dalam dua fokus perjuangan, pertama: persamaan atau keadilan di muka hukum untuk sesama; kedua, perlindungan kepada yang termarjinalkan. Perlindungan terhadap perempuan adalah bagian dari isu yang tak terpisahkan dari dua kelompok itu.

Jika ditelisik, pemikiran Gus Dur tentang kesetaraan telah tumbuh dari ayah dan ibu, KH. Wahid Hasyim dan Ibu Hj. Solihah juga kakek dan neneknya dari pihak ibu, KH. Bisyri Sansuri dan Nyai Hj. Nur Chodijah. Kiai Bisri adalah perintis pesantren perempuan pertama di Jawa Timur. Sedangkan Kiai Wahid Hasyim merupakan pelopor sekolah hakim perempuan pertama. Beliau membolehkan perempuan menjadi hakim agama.

Kesetaraan di mata Gus Dur dimulai dari bagaimana beliau memposisikan pasangannya, Ibu Sinta. Mereka membangun kesetaraan dan kemitraan di dalam keluarga sejak dini. Dalam konsep pengasuhan, Gus Dur dan Ibu Sinta merawat dan mengasuh anak-anak secara bersama-sama. Padahal, pola pengasuhan yang masih banyak dipraktekkan saat itu adalah mothering, di mana ibu menjadi tumpuan pengasuhan anak-anak dan bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan rumah yang merupakan wilayah domestik. Sebaliknya bapak adalah pekerja publik dan paid, sementara pekerjaan rumah yang dilakukan oleh seorang ibu dan tak kalah beratnya, unpaid. Pola pengasuhan yang dilakukan oleh Gus Dur dan Ibu Sinta sekarang kita kenal dengan parenting.

Dari membangun kesetaraan di wilayah paling awal, yaitu keluarga, perjuangan Gus Dur membangun kesetaraan perempuan terus meluas. Sampai saat beliau menjadi Ketua Umum NU. Di bawah kepengurusan Gus Dur, NU menghasilkan keputusan-keputusan penting. Salah satunya adalah peran perempuan di publik. Munas Alim Ulama di Lombok, tahun 1997, terdapat pembahasan tentang kedudukan perempuan dalam Islam. Munas tersebut akhirnya memutuskan bahwa perempuan NU boleh menjadi pemimpin publik. Hal tersebut merupakan sebuah kemajuan, mengingat NU masih banyak dipimpin oleh kyai yang konservatif. Keputusan tersebut direkam dalam dokumen “Makanah al-Mar’ah fi al-Islam” (kedudukan perempuan dalam Islam).

Harapan Perempuan Gus Dur

Setelah menelaah Buku Gus Dur di Mata Perempuan, memang ada hubungan dengan fenomena yang penulis alami. Ibu Yenny, tentu saja Ibu Sinta Nuriyah, Ibu Alissa, Ibu Anita, dan Mbak Inayah; puteri beliau Maica, Amyra, dan Raisa; Ibu Ala’i; dan kawan-kawan saya yang kebanyakan perempuan di Peace Village; tentu tak bisa dipisahkan dari perjuangan Gus Dur tentang kesetaraan gender. Perjuangan tersebut masih terus diwariskan sampai sekarang.

Catatan: Tulisan ini merupakan 1 dari 10 esai terpilih Lomba Menulis Esai #HarlahGusDur bertema “Kita Butuh Islam Ramah, Bukan Islam Marah”, hasil kerja sama gusdurian.net, islami.co, dan nu.or.id.

Siswa Sekolah Literasi Ekofeminis Ruang Baca Puan Musim Hujan 2021.