Bura dan Bulan Gus Dur

20 September 2020 lalu, Film Pendek BURA menyabet tiga penghargaan sekaligus dalam Festival Film Seashorts 2020 di Malaysia. Ketiga penghargaan itu adalah Jury Award, Best Cinematography, dan Best Sound. Sebuah penghargaan yang dinanti-nantikan oleh para penggiat film festival internasional. Seashorts merupakan salah satu festival film bergengsi di Asia Tenggara. Tahun sebelumnya Bura juga masuk nominasi dalam Singapore International Film Festival (SGIFF) dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2019. Film ini mencoba membuka memori sejarah kita bagaimana rumor atau hoaks pernah menjadi angin yang sangat mematikan di masa transisi politik Orde Baru.

Rumor tersebut masuk dalam file kekerasan ’98, sebuah kasus kerusuhan massa yang terorganisir dan menewaskan sejumlah guru ngaji di kawasan Tapal Kuda Jawa Timur. Berdasarkan laporan investigasi PWNU Jawa Timur kurang lebih sekitar 250-an orang telah menjadi korban rumor ini. Bermula dari pembantaian dukun santet di Kota Banyuwangi yang kemudian berubah arah secara masif menyasar kiai. Teror itu menjalar ke Kota Jember, Lumajang, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo dan kota-kota Jawa Timur lainnya, bahkan sampai ke daerah-daerah Jawa Tengah yang basis sosialnya juga santri. Gelombang teror itu menimbulkan keresahan yang luar biasa di kalangan akar rumput. Apalagi dalam gorengannya dibumbu-bumbui isu komunis sedang bangkit dan membalas dendam 65/66: “Biyen Sapi sak iki Kebo, dulu PKI sekarang NU”. Propoganda ini membuat Ketua PBNU, Gus Dur, angkat bicara dan membentuk Tim Investigasi sendiri.

Operasi Naga Hijau

Film pendek ini memang tidak menceritakan secara kronologis peristiwa Ninja di atas, akan tetapi poster dan alur ceritanya sangat kuat menyimbolkan adanya keterkaitan antara rumor itu dengan ular naga hijau. Penulis naskah membungkusnya dengan penuh simbolik dalam sebuah cerita fiksi percintaan. Dimulai dari sekumpulan pemuda kampung yang sedang dibekali ilmu kanuragan oleh guru ngajinya guna menjaga kampung dari serangan ninja. Sebuah praktik uji kesaktikan yang sangat lazim kala itu, karena kabarnya ninja-ninja itu juga sakti mandraguna. Ada yang mengatakan kebal bacok, anti peluru, mampu melompati rumah, dan juga menghilang (10 Oktober 1998, ” Jember Mencekam”).

Sebelum berangkat ronda malam, salah satu dari pemuda itu, Rosyid, memisahkan diri dengan teman-temanya untuk menemui kekasihnya. Ia mengendap-endap mengenakan sarung menyerupai ninja mengikuti langkah kekasihnya menyusuri hutan, namun di luar dugaan itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Annisa kekasihnya. Mereka terpisah karena mendengar sayup-sayup kentongan panik massa. Di setiap pos penjagaan obor-obor mulai dinyalakan, bunyi kentongan pun semakin keras, terdengar pekik salah satu warga “Ada Ninja!” yang kemudian bergulir menjadi sahut-sahutan banyak warga. Sekolompok pemuda itu berlarian mengejar sosok ninja yang selama ini terlihat sumir tetapi hadir begitu kuat di telinganya. Singkat cerita, ninja itu terkepung dan dibakar massa di area kebon jagung. Kabarnya ninja itu adalah seorang gadis yang mendadak bisu begitu ditangkap, padahal ia adalah kekasih Rosyid yang terpisah darinya saat berusaha menyelamatkan diri dari kentongan bahaya ninja. 

Meminjam beberapa scene film tersebut, artikel ini akan mengulas bagaimana rumor ninja pernah menghantui sendi-sendi kehidupan sosial politik masyarakat santri. Bukan untuk mengungkit masa lalu akan tetapi untuk mengingatkan kita semua bahwa peristiwa hoaks semacam itu pernah terjadi secara masif, terorganisir, dan sistematis 21 tahun yang lalu. Saat itu Soeharto baru saja lengser dari kekuasaannya, suara-suara menuntut agar militer dikembalikan ke barak sangat kencang. Maklum, selama tiga dekade Orde Baru berkuasa posisi militer sangatlah represif-hegemonik. Mereka menduduki sejumlah jabatan-jabatan strategis di pemerintahan mulai dari presiden, DPR, menteri, gubernur, bupati, walikota bahkan juga sektor-sekor bisnis di seluruh penjuru negeri ini.

Kontribusi Gus Dur (GD)

Terkait dengan itu, saya kira satu-satunya tokoh sipil yang paling ksatria mereformasi kedudukan TNI/Polri adalah Gus Dur. Dalam masa kepresidenannya yang begitu singkat (1999-2001) ia mampu mengembalikan peran profesional militer kepada tempatnya; Dwifungsi ABRI dihapus, Polri dipisahkan dari TNI, dan militer aktif tidak boleh lagi diijinkan menduduki jabatan sipil. Padahal kita tahu bahwa kekuasaan militer di bawah Soeharto sangatlah menggurita di negeri ini.

Namun, kalau kita tilik jejak perjuangan Gus Dur reputasi beliau sudah terbangun jauh sebelum ia menduduki kursi presiden. Kritik-kritiknya kerap ia lontarkan dalam ceramah, tulisan, dan tak jarang juga dengan humor-humor spontan. Seperti yang ia sampaikan saat mengisi forum diskusi yang diadakan oleh GMNI. Ia hadir bersama Megawati Soekarnoputri, Siswono Yudohusodo, dan Sukamdani di Hotel Sahid Jakarta. Kebetulan tangan kanannya waktu itu sedang cidera dan harus diperban disangkutkan ke leher pundaknya. Tibalah gilirannya bicara, ia maju dan memulai pidatonya dengan santai “…Saya minta maaf karena harus hadir dalam keadaan cidera begini, ini akibat digigit Naga Hijau. Kalau mbak Mega sudah sembuh setelah digigit Naga Merah”. Sontak para hadirin tertawa ger-geran (Hamid Basyaib, 2010).

Humor lainnya ia sampaikan saat gelombang teror naik pasang mencoba menggulung emosi warga NU kembali. Dalam pelbagai kesempatan Gus Dur menyatakan bahwa rumor ninja itu sebenarnya sengaja dibuat oleh E.S. guna melancarkan Operasi Naga Hijau merusak citra NU. Akibatnya banyak yang bertanya-tanya siapa sebenarnya E.S itu dan apa yang dimaksud dengan Operasi Naga Hijau ala Gus Dur itu? Pers menduga jangan-jangan E.S. itu adalah (Jenderal) Edi Sudrajat, atau mungkin Eggi Sudjana mengingat keduanya identik dengan representasi Naga Hijau yang lagi ngehits. Namun demikian, dalam sebuah kesempatan akhirnya Gus Dur memberikan jawaban yang benar-benar tak terduga. Beliau berkata E.S. itu ya Eyang Soeharto.

Langkah zig-zag Gus Dur benar-benar susah diikuti lawan politiknya. Di tengah humor politiknya Gus Dur menaruh perhatian terhadap kasus itu, ia meminta PWNU Jawa Timur agar membuat tim investigasi sendiri. Temuannya pun menunjukkan bahwa ada keterlibatan pihak keamanan dalam mendukung kerusuhan pembunuhan para guru ngaji itu. Selanjutnya, Gus Dur meminta agar warga NU berhati-hati jangan mudah terprovokasi dengan isu-isu komunis yang beredar kala itu. Selain militer yang aktif mengkampanyekan isu komunis ke ruang publik adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Harian Republika, mereka memasang spanduk di jalan-jalan besar ‘Bahaya Komunis Bangkit!’

Proficiat

Desember ini adalah bulan Gus Dur, saya yakin film pendek itu tidak akan pernah hadir kalau tidak ada joke-joke beliau terkait dengan siapa dalang di balik peristiwa. Perjuangannya dalam melawan segala bentuk kekerasan telah menginspirasi tim film makers Bura. Produser film, Siska Raharja, mengaku dirinya tergerak membuat film itu karena merasa peristiwa itu relate dengan kabar hoaks yang juga sempat membanjiri Pemilu 2019 lalu. Terakhir, selamat buat seluruh tim Bura khususnya sahabat Ayunki, Pramudya, Eden, dan Siska Raharja yang telah berhasil membangktikan koleksi memori kita semua. Semoga tahun-tahun ke depan karyanya semakin gemilang. Selamat jelang tahun baru.

Alumnus MAK Pesantren Tebuireng, Jombang. Menyelesaikan pendidikan tinggi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Leiden University. Sedang menyelesaikan S3 program Ilmu Politik di UGM