Pada awal terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, ia berkomitmen untuk menyelesaikan dan mengawal kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. Mengambil contoh pembunuhan aktivis HAM Munir, SBY menyebut bahwa kasus pelanggaran kemanusiaan di Indonesia sebagai test of our history. Kini 10 tahun setelah 10 tahun masa jabatannya, SBY dirundung berbagai permasalahan yang berkaitan dengan HAM. Diskriminasi terhadap minoritas Syiah di Sampang dan Ahmadiyah di Lombok serta Cikeusik adalah beberapa di antaranya.
15 Mei lalu Masjid Al Misbah yang digunakan oleh jemaat Ahmadiyah di Jatibening Bekasi kembali disegel oleh kelompok intoleran. Anehnya satuan polisi pamong praja yang harusnya menjadi penengah ikut menyegel. Masjid ini sebenarnya telah ditutup oleh pemerintah setempat pada 14 Februari 2013, tapi jemaat Ahmadiyah Jatibening tetap melanjutkan peribadatan di tempat ini. Hingga pada 8 Maret 2013 pemerintah menutup dan menyegel masjid itu. Jemaah Ahmadiyah yang ingin beribadah terpaksa harus menggunakan tangga untuk keluar karena dikurung.
Iman Rahmat Rahmadijaya perwakilan dari Jemaat Ahmadiyah bekasi mengatakan bahwa pemerintah setempat menggunakan peraturan gubenur, SKB tiga menteri dan fatwa MUI sebagai dasar untuk menyegel masjid itu. Ia memprotes bahwa peraturan tersebut hanya melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah, namun tidak melarang proses peribadatan. Sebelumnya pada Mei 2013 Walikota Bekasi Rahmat Effendi dan beberapa organisasi keagamaan mendorong presiden SBY untuk menandatangani petisi pelarangan keberadaan Ahmadiyah secara nasional.
Masjid Al Misbah didirikan pada 1998 telah memiliki 400 jemaah keberadaan mereka tidak pernah ada masalah sampai dengan 2011 mereka diprotes karena dianggap sesat oleh MUI dan SKB tiga menteri. Ahmad Maulana, perwakilan Ahmadiyah bekasi menyayangkan tindakan pemerintah setempat. Pasalnya sebelum terpilih menjadi gubenur, Rahmat Effendi pernah shalat di Masjid Ahmadiyah ini, namun setelah ia terpilih semuanya berubah.
Tren kekerasan terhadap keyakinan semakin meningkat selama lima tahun terakhir. Hal ini diperkuat oleh temuan dari Setara Institute dan Wahid Institute. Mereka menilai ada tren berbeda dalam kekerasan berdasarkan agama. Laporan Pemantauan Setara Institute tentang kondisi diskriminasi terhadap kaum minoritas keyakinan di Indonesia menunjukkan bahwa kondisi kebebasan beragama masih belum terjamin.
Terdapat banyak pelanggaran dari negara dan praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap kaum minoritas. Padahal secara normatif negara telah meneguhkan komitmennya melalui Pasal 28E Ayat (1 & 2), dan Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara RI 1945. Jaminan yang sama juga tertuang dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. Namun demikian, politik pembatasan terhadap hak ini masih terus terjadi, baik menggunakan Pasal 28J (2) UUD Negara RI 1945 maupun melalui peraturan perundang-undangan lainnya yang diskriminatif.
Laporan pemantauan terdahulu sejak tahun 2007 menunjukkan bahwa kondisi kaum minoritas beragama di Indonesia semakin memburuk. Absennya negara dalam hampir seluruh peristiwa pelanggaran, impunitas atas pelaku pelanggaran, pembiaran tindakan-tindakan pelanggaran, dan penelantaran para korban pelanggaran adalah alasannya. Pew Forum, lembaga riset yang berbasis di Washington DC, menaruh Indonesia dalam kategori “sangat tinggi” perihal social hostilities index (indeks mara bahaya sosial) yang melibatkan agama. Berdasarkan hasil riset 2010 Indonesia berada di peringkat ke-15 dari 197 negara.
Selain Ahmadiyah, kaum minoritas lain yang sering mendapat diskriminasi dan kekerasan adalah kelompok Islam mazhab Syiah. Tajul Muluk, pemimpin komunitas Muslim Syiah dari Jawa Timur, dijatuhi hukuman dua tahun penjara untuk penodaan agama Pengadilan Negeri Sampang September 2013, hukumannya ditingkatkan hingga empat tahun saat melakukan banding karena tak puas pada keputusan hakim sebelumnya.
Amnesti Internasional, melalui situs Human Right Watch, secara khusus menyebutkan kelompok agama minoritas -termasuk Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen di Indonesia menghadapi diskriminasi, intimidasi, dan serangan secara terus menerus. Dalam banyak kasus, pihak berwenang gagal menyediakan perlindungan memadai bagi mereka atau membawa pelaku ke hadapan hukum.
Human Right Watch juga menurunkan laporan sepanjang 120 halaman, berjudul “Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia”. Laporan merekam kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan, yang melakukan intimidasi dan serang rumah-rumah ibadah serta anggota-anggota minoritas agama. Mereka makin hari makin agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen, maupun Muslim Syiah.
Brad Adams, direktur HRW Asia, menyebutkan bahwa kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan melindungi kaum minoritas dari intimidasi dan kekerasan, merupakan hal yang menggelikan. Karena Indonesia telah mengklaim sebagai negara demokratis yang melindungi hak asasi manusia. Kepemimpinan nasional sangat esensial. Presiden Yudhoyono dinilai perlu berkeras bahwa hukum harus ditegakkan, harus mengumumkan bahwa setiap pelaku kekerasan akan diadili, serta menjelaskan strategi untuk memerangi kekerasan atas nama agama.
Human Rights Watch melakukan riset di 10 provinsi di Jawa, Madura, Sumatra, dan Timor, serta mewawancarai lebih dari 115 orang dari berbagai kepercayaan. Mereka termasuk 71 korban kekerasan dan pelanggaran, maupun ulama, polisi, jaksa, milisi, pengacara, dan aktivis masyarakat sipil. Hasilnya sungguh mengejutkan, beberapa pejabat daerah sering menyikapi pembakaran atau kekerasan dengan justru menyalahkan korban minoritas.
Wahid dan Setara Institut menemukan bahwa kebanyakan pelaku kekerasan dan diskriminasi pada minoritas adalah aparatur negara. Sementara pada lanskap yang lebih luas HRW menemukan bahwa kebanyakan pelaku menerima hukuman ringan atau sama sekali tak dihukum. Dalam dua kasus, pejabat daerah menolak menjalankan keputusan Mahkamah Agung yang memberikan hak kepada dua jemaat minoritas untuk membangun rumah ibadah mereka. Sementara pejabat setingkat menteri seperti Menteri Agama Suryadharma Ali yang justru mengeluarkan pernyataan diskriminatif.
Dalam pidato pada Maret 2011, Menteri Agama Suryadhama Ali mengatakan bahwa ia memilih Ahmadiyah dibubarkan. Karena jelas Ahmadiyah menentang Islam. Pada September 2012, dia usul warga Syiah pindah ke Islam Sunni. Ali tak menerima sanksi apa pun atas komentar tersebut. Sementara itu organisasi militan berbasis agama seperti Forum Umat Islam dan Front Pembela Islam, sering dilaporkan terlibat dalam penyerangan dan penutupan rumah ibadah maupun rumah pribadi.
Kelompok intoleran ini diberikan pembenaran untuk melakukan kekerasan dengan memakai tafsir Islam Sunni, yang memberi label “kafir” kepada kalangan non-Muslim, serta “sesat” kepada kalangan Muslim yang tak sama dengan mereka. HRW, Setara, dan Wahid Institute menilai bahwa tindakan kekerasan itu sebagian didasarkan aturan diskriminatif, termasuk Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang penodaan agama, yang hanya melindungi enam agama, serta surat keputusan bersama yang berisi tentang penistaan agama.
Meningkatnya angka kekerasan terhadap minoritas agama dan diskriminasi dalam berkeyakinan merupakan cermin kegagalan pemerintah bersikap tegas dalam melindungi warganya. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama. Lebih jauh ini telah menodai kesepakatan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia pada 2005 yang menetapkan, bahwa setiap orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama anggota kelompok lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.
Sumber: islami.co