Almaghfurlah KH. Ali Ma’shum pernah menegur saya, seusai Munas Ulama NU di Kaliurang Yogyakarta. “Kamu kok tidak ikut main politik seperti adikmu, Mustofa, kenapa?” Saya hanya menjawab, “mBoten kangge (Nggak kepake).” Munas Ulama NU di Kaliurang -konon- adalah tindak lanjut dari upaya para petinggi NU melakukan penggantian nahkoda jam’iyah, dari KH. Idham Cholid ke Gus Dur. Di Kaliurang itulah KH. Ali Ma’shum didaulat untuk menduduki jabatan Rais Aam (transisi) sekaligus Pengendali Pejabat ketua PBNU, H. Abdurrahman Wahid yang sejak dulu (muda) terkenal kontroversional. Pasukan Gus Dur saat ini benar-benar solid. Bayangkan, mereka antara lain: Fahmi D. Saifuddin, Asnawi Latief, Said Budairi, Slamet Efendi Yusuf, Mustofa Bisri, A. Muhith Muzadi, dan lain-lain. Mereka itu kemudian dikenal dengan kelompok delapan. Mereka itulah yang mengkonsep Khithoh 1926.
Kekompakan delapan tokoh kuat NU tersebut, makin lama makin meleleh. Said Budairi, Slamet Efendi, Asnawi Latief lalu Fahmi Saifuddin, sedikit demi sedikit menciptakan jarak. Kemudian seolah-olah antara mereka dengan Gus Dur ada sekat. Mereka menganggap Gus Dur telah “nggladrah”. Perbedaan antara kedua belah pihak bukan oleh bertolak belakangnya persepsi atau berseberangan visi. Bukan pula oleh berbedanya misi. Tetapi lebih karena perbedaan latar belakang. Latar belakang kehidupan yang berbeda. Kesimpulan saya ini karena melihat kenyataan KH. Muhith Muzadi dan A. Mustofa Bisri masih tetap lekat dengan Gus Dur.
Dari itu saya punya kesimpulan bahwa Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid itu adalah kiai seutuhnya. Kiai, mesti mempunyai kelebihan sebagai pemuka masyarakat, memiliki sisi positif yang disepakati dan banyak disanjung anggota masyarakatnya, juga banyak menyimpan kelemahan, sisi negatifnya dan sikap yang seharusnya dikoreksi. Yang belakangan ini bisa dibuktikan pada diri Gus Dur dan kiai-kiai lain. Kiai itu nyaris tidak demokratis di kalangan sendiri, di kalangan dekatnya dan terhadap “anak buah” terutama terhadap santri-santri. Maka dari itu oleh kalangan sendiri, kalangan dekatnya dan terhadap santri-santri, kiai itu terkesan otoriter. Kalau kiai punya mau, punya pendirian, pendapat atau gagasan, orang dekatnya atau santri-santri jangan coba-coba mengoreksi, apalagi menentang. Bisa-bisa mereka akan dipinggirkan -untuk tidak menyebut: dibenci- dan jangan berharap memperoleh sapaan yang familiar. Namun mereka yang “diam saja” meski tidak setuju dan tidak menentang, akan mendapat pembelaan mati-matian. Kalau perlu kiai rela berkorban demi kalangan dekatnya itu. Terhadap mereka kiai menggembol toleransi yang amat tinggi.
Almaghfurlah ayah saya sangat dekat dengan almaghfurlah KH. Ali Ma’shum. Dalam banyak hal, keduanya searah dengan se”mazhab”. Pola kepemimpinan dan pergaulan mereka juga sama dan seirama. Keduanya saling membela prinsip yang mereka pilih, sebagaimana kiai-kiai lain, yaitu pantang mundur dalam membela kebenaran dan tidak takut terhadap akibat perjuangan. Pokoknya mereka memilih kesederhanaan dan tidak memimpikan macam-macam. Terhadap kekayaan, mereka menganggapnya sebagai titipan yang sewaktu-waktu boleh jadi diambil kembali oleh yang empunya. Penampilan mereka seadanya, tidak peduli apakah orang lain suka atau tidak. “La yakhafu laumata laimin wa la yafrahu madha madihin; tidak takut bila dicerca dan tidak gembira bila dipuji”. Karena itu, mereka tidak akan merasa sedih dibenci penguasa (bahkan oleh sesama).
Orang ramai menyaksikan Gus Dur -dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PBNU- sama sekali tidak menggubris kebencian rezim Soeharto (Orba) terhadap NU dan dan kepemimpinnya. Seperti kiai-kiai lain, sepanjang yang dilakukan sudah meniti aturan dan norma yang berlaku, dia tidak ngrewes ketidaksukaan orang. Saya tahu, sejak Munas Ulama NU di Lampung, Almukarram KH. Ali Yafie dan KH. Maemun Zubair keduanya seperti apriori terhadap Gus Dur. Bahkan yang belakangan saya sebut membentuk pasukan yang bertugas mengecam perilaku Gus Dur melalui orasi maupun tulisan (dengan berbahasa Arab dan diedarkan di kalangan terbatas). Sedang yang pertama saya sebut, memilih melakukan kegiatan di luar NU, tanpa mengusik perilaku dan kegiatan lawannya yang -notabene- sesama Nahdlatul Ulama itu.
Almaghfurlah Kiai Mahrus, Kiai Ma’shum, Kiai Iskandar, Kiai Bisri dan sebagainya, hampir tidak pernah melewatkan ziarah kubur para wali, terutama Wali Songo, manakala sedang lewat. Mereka serta as-Salaf ash-Sholih mempercayai bahwa amwat (orang mati) itu sangat aring (suka sekali) bila dikunjungi. Di hari Kamis, Jumat, dan Sabtu, arwah amwat hadir di “turbah” masing-masing. Para kiai menghayati benar dawuh Kanjeng Nabi “ma al-mayyitu illa ka al-ghariqi al-mughawwits; orang mati itu bukan lain bagaikan orang tenggelam yang meminta pertolongan. Qira’ah, tahlil, dan doa pengunjungnya (atau ahlinya yang di rumah masing-masing) sangat dinantikan. Bahkan kadang-kadang, mereka memperlakukan amwat seperti “julasa” (teman bercengkerama) mereka. Mereka berdialog dan berbincang, meski tidak didengar secara lahiriah jawaban amwat itu.
Gus Dur sering bercerita kepada saya tentang amwat. Dia pernah mengatakan di lereng Gunung Tangkuban Perahu ada makam waliyullah. Makam Sunan Bonang itu sebenarnya di Desa Medalem Kecamatan Senori, tidak di Tuban atau Madura seperti kata orang selama ini. Komandang auliya di Jakarta itu adalah wali yang disemayamkan di Luar Batang, Tanjung Priok. Sedang panglimanya adalah Sunan Ampel Surabaya. Dan masih banyak lagi cerita Gus Dur tentang amwat. Menurut amwat, kejadian negeri kita akan begini akan begitu. Begitu pernah dikatakan kepada saya. Bahkan, dia mengatakan banyak sekali barang-barang sakti (seperti keris, akik, besi kuning, Al-Qur’an Stambul dan lain-lain) yang dia dapatkan dari amwat. Saya punya penilaian bahwa Gus Durlah satu-satunya yang mampu membumikan kelangitan amwat. Biasanya para kiai sepuh yang “berhasil menerima wangsit” (dari amwat atau istikharah), tidak menceritakannya secara utuh dan lugas. Mereka menyampaikannya secara isyarat dan “mlipir-mlipir“. Lain dengan Gus Dur yang tidak jarang menceritakan apa adanya.
Para kiai kalau sudah “jagongan” dengan sesamanya, sangat sering tidak mempertimbangkan waktu. Manakala mereka merasa “gayeng“, bisa sampai semalam suntuk. Mereka bisa saling “kocoh“, seperti ketika mereka masih menghuni pesantren. Mereka mengabaikan kantuk dan keheningan malam. Datangnya pun kadang tidak memperhitungkan jam. Sering karena kebetulan lewat atau memang sengaja bertandang, tengah malam seorang kiai datang mertamu. Tentu saja dengan “ndodok” pintu. Jam satu (dini hari) atau jam berapa saja mereka kepingin mengunjungi sohibnya “ma fi musykillah“. Kiai yang dikunjungi pun sama sekali tidak merasa terganggu. Malaham -hampir pasti- dia mengutus keluarga atau santrinya “ngliwet” dengan lauk sambal terung dan tempe bakar, pokoknya menjamu seadanya. Gus Dur, manakala dari barat menuju ke timur dan lewat Rembang, hampir dapat dipastikan, mampir Leteh. Ke rumah saya atau rumah Mustofa. Jam berapa pun dia lewat. Jagongan dan guyon sampai capai dan subuh pun menjelang. Apa pun yang disuguhkan dia lahap. Kacang, ketela, buah, dan apa saja tidak ada yang ditabukan. Memang dia kiai.
Pada suatu ketika saya ikut menunggu tamu ayah saya. Memang saya diperintah untuk itu. Ada dialog yang sampai sekarang masih terngiang. Begini. Tamu ayah saya itu, juga seorang kiai kondang, bertanya, nDak (panggilan akrab sesama shahib, dari tamu itu kepada ayah saya), kamu itu kalau ngarang kok mesti rampung. Sampai tidak terhitung karangan kamu. Bagaimana itu rahasianya.” Ayah saya menjawab enteng, “Kamu salah. Ngarang kok lillahi Ta’ala, thok. Kapan selesainya. Kalau saya tidak begitu. Kalau saya sedang menulis, yang terbayang: berapa duit yang bakal saya terima dari penerbit. Begitu. Jadi saya nulis karena uang. Nanti lillahi Ta’ala-nya nyusul.”
Sebagian kiai ada yang segala diperbuat, semata-mata karena Allah dan ada yang sebagiannya menduniakan akhirat dan mengakhiratkan dunia. Yang belakangan ini terkesan lebih banyak melakukan kegiatan sosial-kemasyarakatan ketimbang ‘ibadah mahdlah. Padahal -menurut mereka- belum tentu pahala yang akan diraup kalah dengan yang shalat, wiridan dan amal akhirat murni itu dengan mempersedikit kegiatan sosial-kemasyarakatan. Kiai Bisri dan -tentu saja- banyak kiai lain melakukan banyak kegiatan dan memilih melakukan amal yang muta’addi, bukan yang qoshir. Ya jam’iyah, ya politik, ya makelaran, ya dagang kecil-kecilan dan sebagainya. Jarang dia melakukan puasa sunah. Membaca Al-Qur’an, wiridan, dan mustahabbat lain banyak dilakukan dalam perjalanan menuju pengajian umum.
Di mobil. Saya mengamati Gus Dur, lakunya mengambil mazhab kedua. Yaitu menduniakan akhirat dan mengakhiratkan dunia. Dia bahkan memilih yang pahalanya besar. Seperti silaturahmi, menyenangkan saudara -meski tidak jarang membikin sewot yang lain- dengan guyonannya yang segar dan melakukan amal yang muta’addi (amal jariyah). Nasyru al-‘ilmi lewat ceramah, mengajar dan menulis artikel, barangkali, masuk kategori amal muta’addi itu. Kalau Anda kepingin melihat Gus Dur salat atau puasa sunat, wiridan, membaca Al-Qur’an dan tanaffulat yang lain, Anda akan sama dengan saya: tidak pernah mrangguli. Tetapi kegiatan yang lain orang terpaksa harus mengacungkan jempol.
Macam-macam kiat kiai untuk menangkal stres dan terus mempertahankan kewibawaan, memperkuat rasa percaya diri serta menumbuhkan perasaan lebih daripada orang lain. Tetapi tidak lantas meremehkan sesama. Beberapa di antaranya mempunyai kesukaan mengundang dan mengumpulkan mustadh’afin (fakir miskin). Dipersenanglah mereka dengan segala cara. Diajaknya mereka makan bersama, pergi pergi satu mobil yang hanya kongkow-kongkow saja, didengar cerita mereka, dan sebagainya. Saya melihat Gus Dur melakukan itu. Para fungsionaris PBNU, bahkan syaqiq-nya sendiri, pernah ada yang “wadul”: mengapa orang-orang yang mengelilingi Gus Dur kok seperti itu. Ada paranormal yang tidak merawat diri, ada penjual roti yang bangkrut, ada pengangguran yang gimbal, dan lain-lain. Ya itulah kiai. Itu pertanda yang bersangkutan menyadari kekurangan diri. Agar tidak rendah diri, perlu mempersanding diri dengan yang menurut kaca mata umum ada di bawahnya. Begitulah.
(Tulisan ini diambil sepenuhnya dari buku Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid)