Seorang ‘sender’, perempuan office girl yang bekerja di sebuah kantor berisi abdi negara mengalami pelecehan seksual. Kisahnya diceritakan ke Perempuan Berkisah. Ini adalah platform pemberdayaan dan ruang aman bagi perempuan dan memuat pengakuan itu pada 6 Januari 2021. Sender menceritakan itu, awalnya seorang oknum tentara melecehkannya. Kemudian, lelaki tersebut memanipulasi dirinya, hingga tak kuasa menolak hubungan seksual. Setelah beberapa bulan, oknum tentara itu meminta sender untuk melayani teman-temannya juga. Akan tetapi sender menolaknya.
Sayangnya, setelah perempuan memberanikan diri untuk speak up, mereka terancam kehilangan pekerjaan dan tak mendapatkan dukungan. Selain beban moril disudutkan dan disalahkan, kaum perempuan juga mengalami beban mental, seperti trauma dan depresi. Kondisi ini diperparah dengan regulasi di dunia kerja yang belum menjamin ruang aman bagi perempuan agar terlepas dari beragam kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi.
Perempuan bekerja pun sudah terbiasa memperoleh tatapan sinis orang-orang. “Ambisius banget sih jadi perempuan, ngga sadar diri ya”, sindiran semacam ini kerap dilontarkan sesama rekan kerja saat melihat perempuan memiliki karir gemilang. Sementara laki-laki yang bekerja keras akan mendapatkan apresiasi, “Wah keren banget ya, Pak Z memang punya jiwa kepemimpinan dan penuh dedikasi.” Seolah memang sudah ada garis demarkasi yang tegas antara yang layak dan tidak antara laki-laki dan perempuan di dunia kerja.
Bahkan tantangan juga dihadapi oleh sesama perempuan. Terkadang sesama perempuan menganggap lainnya sebagai saingan, bukanlah ‘partner kerja’. Kondisi ini sepertinya disebabkan karena sulitnya perempuan mendapatkan kepercayaan dan posisi tinggi, yang biasanya diperuntukkan bagi laki-laki. “Kamu ngerayu bos gimana, kok bisa diangkat jadi pimpinan proyek?” Pernyataan bernada meremehkan atau berbagai stereotip negatif telah menutup mata kita terhadap kualitas dan kinerja perempuan.
Selain itu, perempuan harus menghadapi situasi kerja yang tidak aman, rentan kekerasan atau disingkirkan. Perempuan pun terkadang memandang rendah dirinya sendiri, sehingga tidak memiliki bargaining position. Perempuan akhirnya ‘pasrah’ menerima segala ketentuan perusahaan atau institusi. Misalnya dalam pengambilan keputusan rapat, perempuan terkadang tak diberikan ruang untuk berpendapat, sedangkan laki-laki bisa leluasa beradu argumentasi.
Berbagai data telah menunjukkan kaum perempuan rentan mengalami kekerasan pada sektor publik, yang mana di dalamnya termasuk dunia kerja. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tahun 2020 mengungkapkan kekerasan terhadap perempuan di komunitas/publik berada pada urutan kedua dengan persentase 24% (3.602) di bawah ranah personal yang mencapai angka 75% (11.105 kasus).
Dalam sebuah Press Conference di Jakarta, 30 Oktober 2018, Aliansi Bersama Mengakhiri Diskriminasi, Kekerasan, dan Pelecehan di Dunia Kerja mengungkapkan kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam dunia kerja, baik di tempat kerja maupun dalam perjalanan kerja terjadi dalam berbagai bentuk, seperti; kekerasan fisik, kekerasan dan pelecehan seksual, kekerasan verbal, bullying, kekerasan psikologi dan intimidasi, ancaman, kekerasan ekonomi dan keuangan, dan memata-matai.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Perempuan Mahardhika di KBN Cakung (2017) menujukkan bahwa 56,5% pekerja garmen perempuan pernah mengalami pelecehan seksual dengan berbagai bentuk. Sedangkan 93,6% dari korban tidak melaporkan karena tidak ada mekanisme di perusahaan. Hasil penelitian yang sama juga menunjukkan 50% pekerja perempuan garmen merasa khawatir saat mengetahui kehamilannya karena lingkungan kerja yang tidak ramah pada perempuan hamil.
Perempuan Sumber Fitnah, Mengapa Harus Berkiprah di Luar Rumah?
Berdasarkan pemaparan di atas mencerminkan perempuan di Indonesia kurang memiliki ruang aman, baik di dalam maupun luar rumah [ranah personal dan publik]. Sebagian kelompok menyalahkan perempuan dan melegitimasi narasi agama yang menyatakan bahwa “perempuan sebagai sumber fitnah”. Akhirnya, mereka semakin menyuarakan agar perempuan hanya berkutat pada urusan dapur, sumur, dan kasur di dalam rumah. Bagi mereka, ruang publik hanya diperuntukkan bagi laki-laki, bukan untuk perempuan.
Alih-alih menyelesaikan persoalan yang dihadapi perempuan bekerja, perempuan malah dilarang untuk beraktivitas di luar rumah. Tanpa menafikkan peran mulia seorang perempuan di rumah, bukan berarti perempuan tidak memiliki amanah lain pada sektor lainnya. Tantangan yang dihadapi perempuan pada sektor publik, sebagian besar karena inkonsistensi mendukung perempuan bekerja. Padahal berbicara soal fitnah, bukanlah laki-laki digambarkan oleh al-Qur’an bisa menjadi sumber fitnah? Secara gamblang diceritakan bahwa Zulaikha tergoda oleh Nabi Yusuf yang berparas tampan.
Beberapa keluarga dengan tegas melarang perempuan bekerja di luar rumah, meskipun dengan alasan untuk mengaktualisasikan potensinya. Di negeri ini, perempuan masih diposisikan sebagai istri dari laki-laki, sehingga bertanggung jawab penuh untuk mengasuh anak dan mengatur rumah tangga. Sementara laki-laki sebagai kepala keluarga, pencari nafkah yang bertugas di luar rumah. Eksistensi perempuan sebagai manusia yang seyogyanya memiliki peran di masyarakat pun terabaikan.
Meskipun pada era digital sekarang ini, perempuan bisa saja berkiprah di dalam rumah. Sehingga, bekerja dalam konteks kekinian tidaklah identik dengan kantor atau di luar rumah. Perempuan bisa mengajar daring, content creator, menulis, bisnis daring, dan pekerjaan lainnya. Namun, memang masih ada keluarga atau laki-laki yang tidak menginginkan perempuan melakukan aktivitas ekonomi karena menganggap dirinya bisa meng-cover kebutuhan keluarga. Padahal kemandirian perempuan tidak hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri, tapi juga pemberdayaan masyarakat yang membutuhkan kapabilitasnya.
Dalam buku Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an karya Prof. Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa ada beberapa gambaran perempuan dalam al-Qur’an antara lain: Pertama, mempunyai kemandirian politik sebagaimana Ratu Balqis (QS. al-Naml :23). Kedua, memiliki kemandirian ekonomi sebagaimana perempuan pada masa Nabi Musa (QS. al-Qashah :23). Ketiga, memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan atau menantang opini publik (QS. at-Tahrim :11-12).
Terkait dengan perempuan bekerja, Syekh Yusuf al-Qardhawi menyebutkan bahwa seorang istri boleh bekerja, bahkan bisa menjadi sunnah atau wajib apabila perempuan tersebut telah menjadi janda atau tidak ada yang menanggung dirinya. Pada masa Rasulullah, perempuan bekerja di berbagai sektor, seperti kesehatan, pertanian, kerajinan, pendidikan, dan lain-lain. Misalnya Sayyidah Fathimah dan Siti Aisyah suka mengajar tentang ilmu-ilmu Islam, serta terkait persoalan rumah tangga. Kemudian, Siti Khadijah, Zainab as-Tsaqafiyah, dan al-Hanzhaliyah yang berprofesi sebagai pebisnis, sebagaimana diungkapkan Prof. Quraish Shihab pada buku Membaca Sirah Nabi Muhammad.
Seandainya perempuan saja yang menjadi sumber fitnah, mengapa Rasulullah tidak melarang perempuan pada masa itu melakukan aktivitas atau berkiprah di ranah publik? Tuhan pun pasti memberikan amanah terhadap perempuan, setidaknya sebagai manusia, sama halnya dengan laki-laki. Bila mereka hanya merujuk pada redaksi hadits yang kerap dijadikan legitimasi untuk meminggirkan perempuan di ranah publik, seperti tindakan ini tidaklah bijak. Faktanya, laki-laki dan perempuan pun bisa menjadi sumber fitnah apabila tidak menghargai dirinya sendiri di hadapan manusia lainnya.
Mengurai Benang Kusut
Pada dasarnya ketidakadilan yang dipersoalkan kaum perempuan bukan hanya disebabkan minimnya kehadiran perempuan di ranah publik, tapi juga kurangnya ruang aman bagi perempuan bekerja. Menteri Ketenagakerjaan Dr. Ida Fauziyah, pada Webinar Peringatan Hari Ibu 2020 yang diselenggarakan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia dan Maju Perempuan Indonesia, menyatakan pemerintah berkomitmen melindungi pekerja perempuan dan memberikan rasa aman dalam pemenuhan hak-haknya.
Lebih lanjut, Menaker mengungkapkan tantangan bagi pekerja perempuan yang harus mendapatkan perhatian. Pertama, kurangnya keterwakilan suara pekerja perempuan dalam mengambil keputusan. Kedua, kurangnya peluang karir dan dukungan pekerja perempuan untuk berkembang. Ketiga, kurangnya perlindungan dan jaminan bagi keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan, seperti diskriminasi upah, kekerasan, pelecehan kurangnya alat pelindung diri, dan tidak dipenuhinya hak jaminan sosial bagi pekerja perempuan.
Namun, untuk mewujudkan hal tersebut pastinya tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga kerja sama dan sinergi segenap pihak, seperti pekerja, Serikat Pekerja, pengusaha, dan masyarakat. Menurut hemat penulis, setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan bekerja. Meskipun kesadaran masyarakat sulit terbangun, tetapi kita harus berupaya menciptakan atmosfernya dan menyiapkan bangunannya.
Pertama, regulasi di tempat kerja, terutama bagi perempuan hamil, haid, dan menyusui. Misalnya terkait kebijakan lembur, cuti hamil, dan waktu memeras ASI. Selain itu, menindak tegas pelaku kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi terhadap perempuan. Setiap pengusaha dan perusahaan harus menyatakan kesediaan dan komitmen terbuka untuk memberikan perlindungan kepada perempuan bekerja, serta melibatkan kerja sama dengan Serikat Pekerja. Peran SP/B harus dioptimalisasikan oleh perusahaan sebagai wadah untuk menyampaikan pendapat, melakukan advokasi, dan melindungi pekerja perempuan.
Kedua, sarana dan prasarana yang ramah bagi perempuan di tempat kerja, seperti keberadaan ruang laktasi, tempat istirahat bagi perempuan hamil, klinik kesehatan untuk memeriksakan kesehatan reproduksi dan kondisi kehamilan. Termasuk di dalamnya pendampingan korban perempuan, baik secara fisik maupun mental. Dibutuhkan kerja sama dengan konselor, terutama pasca-kekerasan untuk memulihkan trauma.
Ketiga, kampanye di media sosial yang dilakukan oleh influencer dan lembaga terkait. Terkait hal ini, kita sudah banyak melihat geliat mengkampanyekan pentingnya hak-hak perempuan disuarakan begitu masif di medsos. Selain itu, para pemikir, intelektual, dan stakeholder bisa memproduksi narasi intelektual untuk memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berkiprah di ranah publik, serta menciptakan ruang aman bagi perempuan di lingkungan kerja.
Keempat, pemerintah pun perlu membangun kerja sama lintas kementerian atau lembaga terkait untuk mewujudkan ruang aman bagi perempuan dalam ranah publik. Wujud kerja sama ini diharapkan bisa menjadi panduan bagi perusahaan dalam pemenuhan dan perlindungan hak pekerja perempuan. Serta pemerintah DPR-RI perlu mengawal terlaksananya undang-undang dan peraturan yang berkenaan dengan perlindungan dan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak perempuan bekerja.
Sumber: islami.co