Penegerian Universitas Malikussaleh, Aceh, tidak lepas dari peran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjadi Presiden Republik Indonesia. Ketika itu, sejumlah ulama dan tokoh masyarakat Aceh meminta penegerian Universitas Malikussaleh sebagai bagian dari proses penyelesaian konflik Aceh.
Hal itu disampaikan Rektor Universitas Malikussaleh, Dr. Herman Fithra ASEAN Eng, ketika bertemu dengan putri Gus Dur di Jakarta, Jumat (26/2/2021). Dalam kesempatan itu, Herman mengisahkan secara singkat perjuangan penegerian Universitas Malikussaleh (Unimal) selama Gus Dur menjadi presiden dan kemudian ditandatangani di masa Presiden Megawati Soekarnoputri pada 1 Agustus 2001.
“Dari silaturahim kami ke para ulama di Aceh yang membantu penegerian Unimal, nama Gus Dur selalu disebut sebagai salah satu orang yang paling berjasa dalam penegerian Unimal,” ungkap Herman ketika berbicara di hadapan putri Gus Dur; Alissa Wahid, Anita Wahid, dan Inayah Wahid di Jakarta, Jumat pagi.
Menurut Herman, pihak Unimal ingin berjumpa dengan keluarga Gus Dur pada 2020 berkaitan dengan peringatan Dies Natalis Unimal ke-52 pada 12 Juni 2020 lalu. “Tapi karena masih dalam suasana pandemi, pertemuan baru bisa terlaksana tahun ini,” ungkap Herman.
Rombongan Universitas Malikussaleh terdiri dari Rektor, Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Dr. Baidhawi; Pembantu Rektor IV Bidang Kerja Sama, Dr. Azhari, dan Kepala Unit Pelaksana Teknis, Teuku Kemal Fasya. Sedangkan dari tim keluarga Gus Dur, selain tiga putrinya, juga ada penulis buku Gus Dur sekaligus anggota Ombudsman RI 2016 – 2021, Ahmad Suaedy, serta Suraji dari Yayasan Bani Abdurrahman Wahid.
Rektor Unimal juga menceritakan secara singkat profil Universitas Malikussaleh yang disebutnya sebagai Kampus Bhineka Tunggal Ika karena 20.300-an mahasiswa datang dari berbagai provinsi di Indonesia. Meski di Aceh berlaku syariat Islam, banyak mahasiwa Unimal uang non-muslim dan mereka bebas menjalankan keyakinannya.
Selain itu, Unimal juga memiliki program untuk menghimpun anak-anak di daerah tertinggal untuk mengenyam pendidikan di Universitas Malikussaleh. “Program ini sesuai dengan cita-cita almarhum Gus Dur untuk membangun kesetaraan pendidikan,” ujar Herman yang memaparkan sejumlah capaian Unimal dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara, Alissa Wahid menyebutkan penyerahan penghargaan tersebut merupakan extraordinary karena di tengah pandemi masih diupayakan untuk pertemuan dengan keluarga Gus Dur. Ia menyebutkan, kisah penegerian Unimal dan Kampus Trunojoyo di Madura, tidak lepas dari prinsip Gus Dur; perdamaian tanpa keadilan ilusi.
“Ketika konflik Aceh – Jakarta, saya ingat, rombongan yang paling sering datang ke Istana dari Aceh. Termasuk ketika Gus Dus mengalami stroke berat, banyak tamu di Istana meski Gus Dur sedang dirawat,” ungkap Alissa.
Menurutnya, penegerian Unimal dan kampus lain serta keputusan yang diambil Gus Dur di masa menjabat presiden, bukan sekadar gestur politik, melainkan bentuk tanggung jawab negara menjaga martabat rakyatnya. Prinsip itu juga yang dipegang teguh Gus Dur dalam menyelesaikan konflik di Papua dan Timor Leste.
Mantan anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedy, menyebutkan apa yang dilakukan Gus Dur di Aceh dan beberapa daerah lainnya merupakan bentuk penyelesaian konflik secara damai dengan penguatan masyarakat sipil. “Gus Dur tahu persis kedalaman masyarakat Aceh. Gus Dur banyak menyerap aspirasi ulama,” katanya.
Anita Wahid mengharapkan kerja sama Universitas Malikussaleh dengan keluarga Gus Dur bisa berlanjut di masa mendatang. Sejarah antara Gus Dur dengan Aceh sudah ada sejak lama, salah satunya jejaknya adalah penegerian Unimal. “Pertanyaannya, setelah ini mau ke mana? Kami siap membantu Unimal, misalnya memberikan workshop dan sebagainya,” kata Anita.