Ramadan, bulan membuka album nostalgia mumpung membetahkan diri di rumah. Kita mulai kangen masa lalu, kangen Zainuddin MZ. Pada masa lalu, ia memegang atau berada di muka mikrofon, umat Islam bakal mendengar kata-kata memicu peningkatan iman dan takwa. Umat tak lupa tertawa. Di depan radio, orang-orang mendengar dengan saksama. Suara Zainuddin MZ itu khas. Bocah dan remaja kadang meniru suara sambil berlagak sedang berceramah di mimbar. Pendengar tak cukup dengan siaran pengajian di radio berhak membeli kaset seri pengajian Zainuddin MZ. Ramadhan masa lalu, sekian orang mungkin menjadwal pemutaran kaset sebulan penuh. Ramadan bersama Zainuddin MZ terasa membahagiakan ketimbang mendengar atau menonton para penceramah abad XXI sering ngamuk, minder, gembeng, dan menghasut.
Kita kangen Zainuddin MZ. Kangen saat ia masih muda, belum menjadi tokoh kondang di Indonesia. Kita belum mendapat buku biografi (lengkap) bertokoh Zainuddin MZ. Di toko buku, kita justru kebingungan memilih buku-buku untuk mengenali Hamka. Sekian buku biografi sudah terbit. Novel-novel biografis mengenai Hamka pun terbit mengaku “paling” apik. Para Indonesianis tak ketinggalan menulis Hamka. Pada abad XXI, buku-buku bertokoh Hamka terus bertambah. Novel-novel dan buku-buku agama garapan Hamka selalu cetak ulang. Kita merindukan Zainuddin MZ tapi belum menemukan buku-buku bermutu atau otoritatif. Penggalan-penggalan kisah di majalah dan koran membuat kita agak sampai ke pengenalan Zainuddin MZ.
Dulu, Zainuddin MZ pernah memiliki cita-cita sebagai pengarang. Sejak remaja, ia suka membaca buku-buku Hamka: Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan lain-lain. Zainuddin MZ juga membaca cerita silat Kho Ping Hoo. Para guru dan teman memberi doa dan sokongan agar ia menekuni sastra. Keinginan itu perlahan padam. Ia malah kuliah di jurusan perbandingan agama, bukan “perbandingan roman”. Gagal jadi pengarang, kemujaraban buku-buku sastra tetap berpengaruh dan terasa saat ia menjadi penceramah kondang di Indonesia. Ia itu pencerita. Kita kangen mendengar orang-orang berdakwah mahir bercerita.
Di majalah Femina, 28 Maret-3 April 1991, kita disuguhi lakon asmara Zainuddin MZ. Pada saat remaja, ia mengirimi surat ke gadis pujaan bernama Kholilah. Sang pujaan masih remaja, pelantun di komunitas kasidah dan gambus. Pemilik suara merdu membuat Zainuddin MZ dimabuk asmara. Konon, surat-surat biasa memuat puisi-puisi melenakan perasaan. Mereka saling mencintai tapi masih remaja. Pertanda paling kentara adalah saat Idul Fitri puluhan tahun lalu. Mereka bertemu untuk saling memaafkan. “Waktu berjabat tangan, Zainuddin MZ memegang tangan Kholilah cukup lama, bahkan ia sempat ‘mengilik’ telapak tangan si gadis dengan jari telunjuknya,” tulis di Femina. Ingat, mereka remaja sedang kasmaran. Nostalgia itu milik mereka berdua setelah menjadi suami-istri.
Pada situasi sulit bertemu dan berkumpul bersama umat, kita tiba-tiba kangen Zainuddin MZ. Kita kangen dengan lakon asmara dan masa-masa keranjingan membaca novel. Di sela-sela lamunan menuruti kangen, kita mulai memikirkan sekian penceramah kondang di televisi. Apa mereka memiliki masa lalu gandrung novel dan rajin berpuisi? Kita mengerti urusan membaca novel belum menjadi ketentuan bagi orang-orang ingin dianggap dai, penceramah, khotib, mubalig, dan lain-lain. Zainuddin MZ gagal menjadi pengarang. Kita saja mengandaikan ia terus menekuni sastra dan menulis novel-novel. Ia mungkin memikat ketimbang Kang Abik dan Tere Liye. Ia bisa saja penerus Hamka. Begitu.
Sumber: alif.id