Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai Alat Eksklusi

Terlepas dari siapa yang bermain di balik TWK (Tes Wawasan Keabangsaan) KPK RI–sebetulnya juga TWK di lembaga-lembaga lain, termasuk seleksi penerima beasiswa LPDP dan semacamnya–permainan nasionalisme sebagai alat eksklusi pemegang kekuasaan ini sudah kelewatan dan sangat berbahaya jika diterus-teruskan.

Saya sangat memahami kekesalan Mbak Alissa Wahid. Saya juga mengenal baik Tata. Sangat menjengkelkan jika pribadi seperti dia, dengan rekam jejak yang panjang dalam gerakan sosial untuk membangun jejaring yang inklusif dan apalagi telah bekerja bertahun-tahun untuk KPK akhirnya dinyatakan tak lolos TWK yang hanya berdurasi 1 jam. Banyak orang lain mengalami hal yang sama. Tes 1 jam yang nggak karu-karuan isi dan kriterianya membatalkan kerja bertahun-tahun.

Nasionalisme bukan milik seseorang atau sekelompok orang, bahkan bukan milik negara. Nasionalisme adalah semangat yang tumbuh di kalangan rakyat sebagai ungkapan tanggung jawab kolektif kepada bangsanya. Dalam konteks semacam ini, mengukur nasionalisme pada akhirnya adalah mengukur kesetiaan, bukan terhadap bangsa, tetapi pada rejim yang sedang berkuasa.

Saya pernah menjadi salah seorang reviewer seleksi penerima beasiswa LPDP selama beberapa tahun, antara 2015-2019. Nasionalisme juga dipakai sebagai kriteria seleksi di sana. Tapi nasionalisme tentu adalah suatu pengertian yang sangat abstrak. Karena itu, apa yang dimaksud dengan nasionalisme dan bagaimana konsep itu dipakai sebagai kriteria seleksi sangatlah tergantung pada anggota tim seleksi. Tak jarang muncul pertanyaan absurd seperti “Apa Anda punya ketrampilan tari daerah?” seolah kemampuan tari daerah bisa dijadikan sebagai ukuran nasionalisme. Terutama untuk calon perempuan, tak ada pertanyaan menyudutkan “Kenapa (sampai usia yang dianggap cukup lanjut) belum punya anak?” “Bagaimana nanti hidup jauh dari suami?” dan semacamnya. Sikap yang kritis terhadap isu HAM di Papua, pandangan tertentu tentang LGBT adalah tidak nasionalis, misalnya.

Saya tahu ada banyak anak muda yang sangat potensial akhirnya tak lolos hanya karena sikap politiknya yang kritis dan tak disukai penguasa. Jika anak-anak yang potensial tak lolos karena dianggap tak cukup nasionalis, bisa dibayangkan apa akibatnya model seleksi semacam itu terhadap masa depan generasi kita. Hanya anak-anak yang penurut saja yang dianggap nasionalis. Penurut terhadap siapa? Buat apa?

Di masa Orde Baru, bentuk lain dari TWK yang dipakai adalah litsus, screening, bersih lingkungan. Intinya itu adalah sarana yang dipakai penguasa untuk mengeksklusi siapa saja yang dianggap kiri (bahkan meskipun sama sekali tak kiri), untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggap potensial sebagai ancaman terhadap rejim. Kesetiaan terhadap rejim dianggap kesetiaan terhadap negara. Kritis terhadap rejim disamakan dengan melawan negara, tak nasionalis.

Kini TWK dipakai sebagai alat untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggap potensi musuh rejim. Jika dulu kiri, sekarang yang dianggap potensial adalah radikalisme agama, kadrun (kadal gurun). Ini adalah gejala otoritarianisme yang tak boleh dibiarkan.

Jangan melihat kasus ini secara sepotong, seolah persoalan orang-orang yang sudah lama bekerja di KPK dan akhirnya tak lolos ini adalah persoalan yang berdiri sendiri. Ini bukan cuma soal tes dan yang tak lolos tes ya sudah move on saja. Bukan sesimpel itu. Persoalan ini harus didudukkan dalam konteks KPK sebagai hampir satu-satunya warisan Reformasi yang masih tersisa dan telah berkontribusi banyak dalam pemberantasan korupsi tapi terus digempur dan dilemahkan secara sistematis dari segala penjuru.

Jika Anda sudah bekerja bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun di suatu lembaga dan tak ada track record yang menunjukkan ada punya masalah, lalu tiba-tiba harus keluar gara-gara tes 1 jam yang dikelola oleh lembaga atau kelompok yang tak tahu persis urusan yang selama ini Anda kerjakan, apalagi dengan pertanyaan yang aneh-aneh, apa semua baik-baik saja?

Mestinya seleksi para pegawai KPK yang sudah sekian lama bekerja di lembaga itu dilakukan dengan cara yang lain. Misalnya, tinggal dievaluasi rekam jejak dan kinerja mereka selama ini, adakah masalah? Adakah indikasi bahwa yang bersangkutan punya problem nasionalisme, radikalisme, dan lain-lain. Kalau ada yang mencurigakan, baru ditelusuri lebih jauh. Bukan tes 1 jam oleh orang yang tak tahu seluk-beluk kerja pemberantasan korupsi lalu menghakimi dan bahkan menganulir dedikasi dan kinerja bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.

Kaum intelektual (seniman, wartawan, akademisi, rohaniawan, semua) perlu bicara, bukan karena anti terhadap rejim yang sedang berkuasa, tapi justru untuk menjaga agar kesalahan Orba tak diulangi sekarang. Setiap rejim politik selalu berpotensi melakukan kesalahan. Kritik adalah alat kontrol supaya kesalahan itu bisa diperbaiki. Kaum intelektual punya tanggung jawab moral untuk menyuarakan kebenaran yang diketahuinya.

Dulu Orba jadi besar karena orang menutup mata terhadap kesalahan Suharto. Apa yang terjadi? Setelah mesin melaju kencang, sulit dihentikan, bahkan tak bisa dihentikan. Di belakang setiap rejim ada banyak kekuatan yang ingin meraih dan mempertahankan posisinya dengan cara apa saja dan biaya berapa saja.

Sekali lagi, kritik adalah cara untuk mengontrolnya. Rejim yang anti-kritik adalah rejim yang memang berperangai otoriter. Saya percaya akal sehat kita masih terjaga. Saya juga percaya kaum intelektual masih mampu mengemban tanggung jawab. Saya juga percaya, rejim politik kita sekarang mau mendengar suara kebenaran.

Menyelesaikan pendidikan doktoral di Temple University, Amerika Serikat. Sekarang mengajar di UGM. Selain menekuni bidang kajian agama, juga menulis sastra.