Minggu, 6 Juni 2021, terjadi penyekatan dan swab antigen di perbatasan Surabaya-Madura. Penyekatan di perbatasan tersebut membuat macet panjang daerah Jembatan Suramadu. Hal tersebut merupakan imbas dari melonjaknya kasus Covid-19 di Kabupaten Bangkalan. Tidak hanya itu, Bangkalan akan menjalankan micro lockdown di empat kecamatan yaitu Arosbaya, Bangkalan, Geger, dan Klampis.
Menurut data satgas Covid-19 Jawa Timur, Pulau Madura memiliki kasus Covid-19 terkonfirmasi sebanyak 5.637 kasus; terbanyak berada di Kabupaten Bangkalan (1.779 kasus), diikuti oleh kabupaten Sumenep (1.765 kasus), lalu Kabupaten Pamekasan (1.171 kasus), dan Kabupaten Sampang adalah yang terendah (922 kasus). Data ini diambil per tanggal 6 Juni 2021 pukul 23.32.
Peningkatan kasus Covid-19 di Madura diikuti dengan ketidakpercayaan terhadap virus tersebut, sehingga mereka pun terkesan abai terhadap pandemi yang sedang terjadi. Ada beberapa hal mengapa teman-teman dari kalangan Madura bisa tidak percaya terhadap pandemi yang ada. Saya sempat berdiskusi dengan seorang kawan Madura. Menurutnya, masyarakat Madura merasa Covid-19 tersebut sama dengan penyakit terdahulu, yaitu ceklek (penyakit paru-paru di Madura).
Penyakit ceklek ini memiliki kesamaan dengan Covid-19 yaitu sesak dan batuk-batuk. Bagi kebanyakan masyarakat Madura, jika tidak ingin tertular penyakit ceklek, mereka hanya dilarang untuk mengkonsumsi makanan yang disajikan oleh keluarga yang sedang terjangkit. Tidak perlu memakai masker, juga tidak perlu repot-repot memakai sanitasi tangan dan disinfektan. Ketidakpercayaan tersebut membuat sebagian besar masyarakat Madura mempercayai ceklek sama dengan Covid-19.
Masalah penyamaan ceklek dan Covid-19 terus berkembangan, dan rata-rata masyarakat percaya akan pemahaman yang terus beredar dari mulut ke mulut. Muncul candaan “orang Madura sakti-sakti”. Candaan tersebut terus bermunculan di berbagai media sebagai respons nihilnya kasus terkonfirmasi Covid-19 saat penyekatan Hari Raya Idhul Fitri pada 6-18 Mei 2021. Candaan tersebut juga membuat beberapa tetangga saya yang notabene adalah orang Madura, termasuk saya, menjadi merasa lebih bangga dan akhirnya membenarkan candaan tersebut. Naasnya, ternyata kasus terkonfirmasi Covid-19 melonjak dua minggu setelahnya.
Lalu kira-kira apa yang bias dilakukan pemerintah untuk menangani keterlanjuran candaan dan ketidakpercayaan akan pandemi Covid-19 ini? Pertama, tentu saja dengan terus memberikan edukasi-edukasi atas bahayanya pandemi dan langkah-langkah menanganinya (memperkuat kepercayaan) di berbagai media. Kedua, menggandeng organisasi akar rumput yang bersinggungan langsung dengan masyarakat, serta mengedukasi secara langsung maupun tidak langsung (tindakan).
Ketiga, yang sangat penting adalah menggandeng tokoh masyarakat setempat seperti kiai/bu nyai kampung untuk tetap menjalankan protokol kesehatan, minimal menggunakan masker ketika berpergian dan ketika berkumpul mengadakan pengajian. Tokoh masyarakat sangat disegani dan dipatuhi oleh masyarakat. Apa saja yang mereka katakan, itulah yang diikuti masyarakat. Bahkan ada beberapa masyarakat yang lebih percaya kepada alim ulama (kiai/bu nyai kampung) dari pada berita-berita yang beredar luas.
Suatu contoh, di kampong saya di Madura, ada seorang kiai cukup terkenal dan disegani di tempat kami. Beliau hanya berjalan menggunakan masker dan membuka masker ketika memulai ceramah. Namun dampaknya bagi masyarakat sangat besar. Misal, ketika saya bertanya kepada ibu saya yang biasanya jarang memakai masker walaupun sudah diberi tahu berkali-kali oleh anak-anaknya, “Ibu maskeran?”
“Iyeh, soallah kiaeh a maskeran, seng alem beih maskeran, apapole sengkok (Iya, karena kiai maskeran, yang alim aja maskeran apalagi saya),” kata ibu.
Setelah kejadian itu beberapa warga kos-kosan di rumah saya kebanyakan memakai masker. Hanya bermodal melihat kiai kampung memakai masker ketika berjalan dan berkendara. Selain itu, kiai di kampong saya juga jarang keluar kalau tidak untuk urusan penting. Seharusnya duta masker layak disandang oleh beliau. Jadi, kapan pemerintah mau menggandeng kiai kampong untuk mencegah tersebarnya pandemi di Madura?