Sebulan sebelum meninggal, saya masih sempat mendengarkan Gus Dur bicara panjang lebar. Kalau tak salah hampir dua jam. Obrolan itu leluasa sebab hanya ada beberapa orang saja. Seingat saya hanya Mas Rumadi Ahmad dan Badrus Fata.
Obrolan itu berlangsung selepas Gus Dur menyambut dan berdiskusi dengan Cardinal Jean-Louis Tauran dari Vatikan di Rumah Taman Amir Hamzah 8. Dalam forum itu, Gus Dur menyatakan hal penting yang masih terus relevan hingga sekarang. Kelompok fundamentalis, katanya, tidak untuk dimusuhi melainkan diajak bicara.
Selepas acara Gus Dur tak beranjak dari tempat duduknya dan meladeni pertanyaan-pertanyaan kami. Mendapat kesempatan langka itu, saya bersemangat untuk mendengarnya bicara. Beruntung Mas Rumadi menjadi penggali informasi yang teliti. Ia mengajukan pertanyaan atau sekedar klarifikasi.
Saya ikut manfaatkan kesempatan ini dengan mengajukan pertanyaan soal Mu’allim Rajiun, tokoh Nahdlatul Ulama dari Betawi. Seperti Anda tahu, penguasaan Gus Dur atas ulama-ulama Betawi di atas rata-rata. Sebagian mereka ditulis Gus Dur dalam esai-esainya yang tajam dan reflektif. Sayang sekali kami lupa merekam.
Nama Muallim Rajiun ini melekat di kepala saya sebab Bapak sering menyebut nama ini. Belakangan baru saya tahu, Muallim Rajiun adalah “pintu gerbang pendidikan” bagi beberapa pemuda Pulau Tidung ketika itu. Salah satunya Bapak dan guru fikih saya di Madrasah Tsanawiyah, Ustad Dja’far Arsy.
Muallim Raji’un membawa sejumlah anak dari Pulau Tidung untuk belajar di Pekojan Jakarta Barat. Dari situ pula Bapak terhubung dengan pesantren Tebuireng dan Gontor. Belakangan saya tahu jika Ustad Dja’far Arsy Ketua Anshar pertama di Pulau Seribu. Kata Ustad Dja’far Arsy, Muallim Rajiun yang melantik. Sebagian tokoh agama di Pulau Tidung setelah itu berasal dari murid-murid Muallim Rajiun.
Seingat saya Gus Dur bercerita sekilas tentang Muallim Rajiun, juga ulama-ulama Betawi lain. Salah satunya kakek Ustad Yusuf Mansur: Guru Mansur. Tentu saja Muallim Syafi’i. “Setelah sakit, saya banyak lupa,” kata Gus Dur sambil berusaha mengingat-ingat. Padahal sebelumnya banyak sudah tokoh-tokoh yang sudah Gus Dur sebut.
Pada bagian-bagian akhir saya mulai tak mengerti dan berusaha memahami apakah itu nyata atau hanya pengalaman spiritual Gus Dur. Gus Dur menyebut nama-nama orang yang sudah meninggal dan bercerita kalau ia pernah melakukan shalat jemaah bersama dengan mereka. Saya lihat Mas Rum dan Badrus bersemangat dengan menanyakan beberapa hal.
Menjelang Ashar pertemuan bubar dan Gus Dur pergi meninggalkan rumah tempat ia dibesarkan itu. Kami bertiga mengantarkan hingga ke pintu. Setelah itu tubuhnya hilang ditelan mobil yang pergi entah ke mana. Rasanya itu pertemuan langsung kami yang lama. Setelah itu di pengujung Desember, Indonesia geger dengan kepergiannya. Jutaan orang menangis. Menangis dalam arti sesungguhnya.
Kalimulya, 14 Desember 2020
(Artikel ini pertama kali dimuat di alif.id)