Saya dan Seorang Yahudi

Namanya Moran Wetzig, teman sekelas kursus bahasa Jerman saya yang dikenal paling aktif. Dia lahir di Haifa, kota terbesar ketiga di Israel. Rambutnya keriwil, berwajah oriental. Namun siapa sangka, dialah sahabat pertama saya yang beragama Yahudi dan berkebangsaan Israel.

Di awal perkenalan, saya dibuat merinding begitu mendengar nama Israel. Seketika terbayang wajah muslim Palestina, lambang-lambang zionis, dan bendera Israel yang mengerikan. Maklum, di Indonesia berita-berita negatif tentang konspirasi Yahudi dan Israel sangat populer bagi beberapa kalangan. Terlebih belakangan ini, di mana represi Israel terhadap warga Palestina menemukan momentum untuk kembali memanas.

Saya lahir dan dibesarkan di keluarga dan lingkungan yang relijius tradisionalis. Saya pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren selama hampir tujuh tahun. Setelah itu, saya melanjutkan kuliah di Al-Azhar Mesir. Bisa dipastikan, dalam hampir semua pengalaman hidup saya tidak pernah bersinggungan langsung dengan mereka yang bukan Muslim, apalagi yang beragama Yahudi.

*****

Hari itu pertama kali kami kursus. Ketika break kami sempatkan untuk saling berkenalan, bercerita sembari menikmati kopi yang kami beli dari mesin kopi. Di sela-sela perbincangan, Moran berkisah tentang pengalamannya bertemu dengan teman baru. Dia bercerita tentang ketidaknyamanan ketika beberapa orang selalu mengaitkan dirinya dengan kebijakan pemerintah Israel. Dia pun mengaku sangat merasa tersudut.

Sometimes, it is hard for me to listen how people judge my country. Israel is politically controversial. I have bad experiences when talking about Israel political strategy with a lot of people. But that was not my responsible to explain everything that has no any relations with my personal experiences”.

Moran kembali merasa resah harus membincang tentang masalah ini. Kemudian dia bercerita bagaimana dia hidup bertetangga dengan seorang Muslim dan Kristen. Dalam kehidupan nyata, Moran selalu berkisah betapa dia dengan tetangganya yang Muslim berhubungan sangat baik. Neneknya lahir di Maroko. Dia mempunyai keturunan Arab yang kental. Tak ayal, dia juga mahir bahasa Arab.

“Maria, kamu akan menemukan tidak hanya Sinagog di sana. Gereja dan masjid juga banyak tersebar di Haifa. Saya menjadi saksi atas keberagaman ini. Bahkan kurikulum sekolah saya dulu mewajibkan belajar agama lain. Tidak hanya Yahudi, tapi juga Kristen dan Islam. Kami juga harus belajar bahasa Arab. Karena tetangga kami merupakan negara Arab”.

Begitu kira-kira cerita Moran, panjang lebar tentang bagaimana dia merasa kehidupannya di Israel baik-baik saja. Berkawan dengan non-Yahudi, hidup rukun dan saling menghormati kepercayaan masing-masing. Dia juga bercerita bagaimana dia sangat menghargai perbedaan, entah agama, ras atau budaya.

Kami sama-sama berpandangan bahwa kekerasan atas nama agama adalah kejahatan. Di dalam al-Qur’an, Bible maupun Taurat tidak ada satu ayat pun yang memerintahkan umatnya untuk saling membunuh. Sebagai seorang yang lahir di tanah Israel, Moran sungguh mendambakan semua hidup rukun, harmoni, dan damai. Tapi kenyataannya, dunia semakin tidak berpihak pada kedamaian.

Dari beberapa penggal kisah yang diceritakan Moran, saya mulai mencerna tentang stereotype di masyarakat kita mengenai Yahudi, Israel, dll. Dari awal saya berkeyakinan bahwa apa pun agamanya, kita wajib bersikap baik dengan sesama. Moran, dengan segala identitasnya, telah membantu membuka mata hati saya untuk terus berupaya mengesampingkan berbagai stereotypes yang tidak beralasan.

Dan tiap kali hubungan Palestina dan Israel memanas, saya selalu mengingat perbincangan kamu berdua di sela-sela jam istirahat kursus bahasa Jerman beberapa tahun lalu. Warga Israel bukanlah masyarakat yang homogen, Israel adalah tempat di mana orang-orang seperti Moran dan orang-orang Yahudi lainnya mengharapkan keamanan dan kedamaian. Moran bercerita bagaimana keluarganya mendapatkan pengalaman buruk hidup di tengah-tengah mayoritas masyarakat Muslim. Kehadiran mereka juga terhimpit, dan dianggap sebagai ancaman. Mereka seketika menjadi minoritas setelah awalnya keluarga besarnya hidup tenang dan bahagia di tengah-tengah masyarakat Muslim.

Saat itu Moran bercerita tentang bagaimana kehidupan nenek dan saudaranya yang sudah hidup beberapa generasi di negara Arab, dia menyebutkan Mesir, Libanon, dan Maroko, kemudian menjadi sangat terpuruk dengan ancaman dan represi dari warga setempat yang mayoritas Muslim. Bahkan dia mengatakan jumlah warga Yahudi di negara Arab menurun drastis karena ketidakamanan yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu warga keturunan Yahudi kemudian memilih untuk hengkang dari tanah kelahirannya, di negara-negara Arab, untuk berpindah ke Israel. Salah satu tujuannya adalah mencari keamanan dan kedamaian.

Nyatanya hal itu memang terjadi. Di beberapa negara Arab, yang dahulunya banyak dihuni warga keturunan Yahudi sekarang jumlahnya sangat menurun. Sinagog-sinagog layaknya museum yang hanya menyisakan kisah dan sejarah kemurungan dan ketertindasan. Moran sangat menyayangkan hal tersebut, karena toh nenek dan buyut-buyutnya lahir dan besar di Mesir, Libanon, dan Maroko. Warga Arab bukanlah identitas yang terpisah darinya dan keluarganya, bahkan ia sendiri adalah keturunan Arab.

Tak ada satu hal pun yang membuatnya kemudian membenci warga keturunan Arab di Israel dan Palestina. Namun, Moran hanyalah warga biasa. Moran Moran lain jumlahnya sangat banyak, tapi mereka tentu saja tidak punya suara, mereka tak ingin konflik dan peperangan yang terjadi dengan tetangganya terus terjadi, mengganggu kedamaian dan terus merenggut nyawa. Namun sayang sekali, suara-suara Moran seperti tenggelam bersama puluhan bahkan ratusan misil yang membombardir tetangganya, warga Palestina.

Di akhir perbincangan kami, Moran selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah Israel bukanlah representasi dari aspirasi warganya. “You may hate my country, but not the people of Israel”. Karena yang paling keras berhadap-hadapan dengan warga Palestina adalah kelompok Yahudi garis keras, kelompok kanan yang selalu merasa dirinya lebih baik dari yang lain. Mereka selalu merasa bahwa tanah inilah yang dihadiahkan Tuhan untuk mereka. Padahal jumlah warga Yahudi di Israel yang berhaluan cukup moderat juga tak kalah banyak.

 “Kami hanya ingin dekat dengan Tuhan, kami hanya ingin bisa beribadah dengan tenang di tanah Israel“.

“Saya sudah lelah dengan peperangan. Karena nyatanya ketika saya berkomunikasi langsung dengan tetangga saya yang orang Palestina, mereka sama seperti kita, manusia biasa“.

Moran Wetzig, seorang Yahudi tulen yang membuat mata saya terbuka tentang kondisi Israel dan ketegangan dengan Palestina dari kisah warga biasa yang nihil kepentingan. Saya mencoba memahami situasi di mana Moran selalu disudutkan dan dianggap sebagai warga dari negara yang dianggap paling kejam dan jahat sedunia. Tapi tentu saja, saya juga tidak bisa serta merta menganggap Moran adalah wajah dari pemerintah Israel. Moran adalah wajah dari agama Yahudi itu sendiri, seperti halnya saya yang akan selalu dan berusaha merepresentasikan wajah agama Islam dengan sebaik-baiknya. Meskipun, nyatanya tak seideal yang kami harapkan.

(Artikel ini pertama kali dimuat di neswa.id)

Alumnus Universitas Al Azhar dan CRCS UGM. Peminat Kajian Sejarah dan Kebudayaan Islam, Arsitektur Islam, Women Studies.