Ketika kata agama disebut, yang terlintas bagi sebagian manusia abad 21 adalah perihal Tuhan, hukum, ibadah, pahala, surga-neraka, dan hal-hal lain yang lebih bersifat gaib. Agama selalu diidentikkan dengan sesuatu yang metafisis, di luar jangkauan manusia. Pembahasan tentang kemanusiaan akhirnya tidak begitu mendapat tempat dalam agama. Sehingga dimensi ini cenderung terlupakan dan akhirnya hilang.
Ketika membincang tentang Islam perdana, di bawah naungan Nabi Muhammad Saw, hal yang paling mendominasi adalah laku, baik yang bersifat fisik atau metafisik. Belum ada semacam rumusan atau ilmu tertentu.
Praktik keagamaan berjalan secara alami. Mereka tidak dibingungkan dengan bermacam-macam mazhab, sekte atau corak pemikiran tertentu.
Hanya ada satu nalar yang mendampingi laku kehidupan mereka, yaitu nalar profetik yang terilhami dari pancaran wahyu. Di sini, nalar profetik mempunyai dua dimensi sentral; dimensi teosentris sebagai pusat dari nilai keagamaan dan dimensi antroposentris sebagai terapan atas nilai-nilai keagamaan yang menyatu dengan unsur kemanusiaan.
Kondisi berubah total setelah masa Khulafaur Rasyidin berakhir. Perubahan terjadi di berbagai lini kehidupan; politik, nalar komunal, sosio-kultur dan yang paling penting Islam tidak lagi dapat dipahami hanya sebagai laku.
Untuk mendapatkan deskripsi yang utuh tentang kata Islam setidaknya ada tiga unsur yang perlu dicemati; ilmu, peradaban dan laku.
Ketiga unsur ini menjadi pondasi inti yang membentuk kata Islam sejak pasca Khulafaur Rasyidin–barangkali–sampai sekarang. Menyoal tentang ilmu saja belum dapat mewakili kata Islam sebagai sebuah agama, sebab ia sudah berkembang–di sisi lain mundur–sedemikian rupa.
Dalam tradisi fikih misalnya, ilmu yang paling banyak menyimpan kompilasi pendapat ini, memiliki standar kebenaran yang plural. Mazhab tekstualis mendaku bahwa kebenaran bersama orisinalitas teks, juga qaul pendahulu mazhab. Terbukti ketika mengambil hukum atas suatu peristiwa teks yang dianggap sahih lebih diperhatikan ketimbang substansi dan kemaslahatan.
Adapun madzhab substansialis (maqashidiy) dalam memberi hukum lebih memandang maqashid dan mashlahat sebagai acuan hukum, meski dalil atau qaul yang ada dianggap dha’if atau bahkan syadz.
Secara umum pola yang terjadi adalah seperti ini. Kedua madzhab ini mendapat dukungan yang kuat secara sosial dan politik. Sehingga seringkali menimbulkan konflik yang tak henti-henti.
Hilangnya nilai-nilai profetik dalam beragama juga disebabkan oleh dominasi akal yang berlebihan dalam aspek tertentu. Hal-hal yang tak terjangkau oleh akal sudah semestinya dihindari dalam membincang agama. Meski agama diturunkan untuk kepentingan manusia, tapi ia tetap memiliki dimensi ‘sakral’ yang bersifat metafisis.
Sebab manusia terdiri atas materi dan immateri yang menghubungkan dengan wujud yang lebih tinggi, Tuhan. Sehingga ketika salah satu dimensi manusia diabaikan nilai kemanusiaan tak lagi utuh.
Manusia tidak hanya tentang jasad, tapi ia juga tentang ruh. Barangkali, titik ini yang membedakan antara kemanusiaan dalam konteks Islam dengan mazhab Humanisme Barat yang murni lahir dari pertimbangan-pertimbangan materialistik.
Humanisme Barat lahir dengan semangat pembebasan manusia dari cengkeraman gereja yang mendaku sebagai tangan kanan Tuhan. Mereka menyuarakan kebebasan lantaran gereja terlalu mengekang berbagai lini kehidupan termasuk ilmu pengetahuan.
Sehingga lahir paradigma bahwa kemajuan hanya bisa diraih jika manusia bebas dari kitab suci, cengkeraman agama dan Tuhan, atau dengan membunuh Tuhan dan mendeklarasikan bahwa Tuhan telah mati.
Barangkali kemarahan yang sudah sampai ubun-ubun yang membuat mereka begitu memusuhi agama (baca: Kristen Katolik kala itu). Terbukti orang-orang seperti F. Nietzche mengkritik dogma-dogma Kristen yang buruk tentang dunia, semerta menjadikan dunia berubah lebih buruk.
Atas kebencian yang teramat dalam pada agama ia pun secara radikal menghakimi agama, bahkan Tuhan. Akan tetapi di satu sisi, ia mendukung langkah-langkah Martin Luther, perintis Kristen Protestan, yang memperjuangkan hak-hak kemanusian dalam Kristen. Pola yang tak jauh beda dilakukan oleh Sartre, teori eksistensialis yang ia kembangkan berpusat pada manusia.
Baginya, Humanisme tidak dapat dicapai apabila manusia masih berhubungan dengan Tuhan.
Ia mengamini wejangan Dostoyevsky, seorang pengkaji psikologi manusia dari Rusia: If God didn’t exist, everything would be permitted. Corak Humanisme yang dikembangkan Sartre adalah murni berasal dari manusia. Tak sedikit pun memberi celah pada dimensi teosentris.
Serta karena mereka pada dasarnya mengesampingkan referensi transendentalnya tersebut, maka mereka lalu kehilangan petunjuk. Mereka pun terjatuh ke dalam macam-macam aliran pemikiran filsafat, dan dengan itu justru mereka terbelenggu.
Humanisme–dalam istilah mereka–justru menjadi tidak manusiawi karena dimensi immateri dan spiritual yang juga menjadi bagian dari manusia dihilangkan. Hal ini sama artinya dengan memperlakukan manusia seperti robot, hanya ia memiliki akal dan perasaan.
Oleh karenanya, saya lebih menggunakan kemanusiaan ketimbang ‘humanisme’. Agar kemudian tidak terjadi salah tafsir. Selanjutnya, kemanusiaan yang saya kemukakan adalah kemanusiaan yang menjaga dua dimensi sekaligus; materi dan immateri.
Kemanusiaan yang bisa mengantarkan manusia pada Sang Pencipta. Penulis mengamini adagium yang dilontarkan cendekiawan muslim klasik, yaitu: man ‘arafa nafsah, faqad ‘arafa Rabbah.
Kemanusiaan yang mengantarkan manusia kepada eksitensi yang lebih dan paling tinggi. Dan hanya itulah yang membedakan antara agama dengan selainnya.
(Artikel ini pertama kali dimuat di alif.id)