Politik Jalanan dan Demokrasi Kita

Di masa pemilihan umum, sering kali publik terjebak di ruangnya sendiri oleh hingar-bingar bendera, knalpot motor yang dimainkan dengan kasar, dan sejuta senyuman ramah para calon pemimpin. Unsur-unsur kampanye mengandung kontradiksi satu sama lain. Televisi mengatakan partai ini baik, tetapi aksi kampanye di lapangan jauh dari kesan yang ingin diciptakan. Publik memproses ini sebagai pesan politik yang saling menegasi.

Pemilihan umum sejauh ini dimaknai sebagai kompetisi untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Pemaknaan ini membawa konsekuensi pada strategi yang diambil. Sepuluh tahun ini kita kenyang dengan citra yang berderet di pinggir jalan. Frekuensi publik kita dikuasai oleh kekuatan privat yang tidak lain juga aktor politik. Politik tidak pernah menyenangkan bagi publik Indonesia karena sering kali membawa kesan buruk. Rakyat hanya disebut di musim kampanye dan ditinggalkan setelah pemilu.

Ini terjadi karena politik praktis hanya jalan bagi penguasa dan menghambat kaderisasi kepemimpinan yang baik. Menghambat karena sistem politik kita sudah terjebak dalam tindakan koruptif dan pencitraan belaka. Kader pemimpin kita selama ini tidak diciptakan oleh partai politik, melainkan kantung-kantung organisasi masyarakat sipil yang bekerja di level mikro, menyentuh masyarakat secara langsung, lantas mereka dicangkok oleh partai.

Saya pernah menemukan baliho besar calon legislatif yang menyebutkan semua jenjang dan lembaga pendidikan yang pernah ia tempuh, mulai dari madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi. Calon ini ingin menunjukkan latar belakang identitas dan jejak kerja sosialnya. Mereka mengharapkan dengan mencantumkan itu, masyarakat dapat mengidentifikasi kualitas dan mungkin kesamaan identitas yang menjadi potensi calon pemilih. Kalau benar jejak itu sudah dirasakan masyarakat, tidak perlu repot-repot dibeberkan. Lebih parah lagi, banyak sekali caleg yang memanfaatkan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Dalam bahasa Gus Mus, mereka bahkan sama sekali tidak menunjukkan kehebatan dirinya sendiri.

Saya pun teringat pengalaman ketika menjadi utusan Jaringan GUSDURian di akademi Political Leadership for Young Leaders di Gummersbach, Jerman. Saya berkenalan dengan salah satu aktivis sayap pemuda partai liberal, Free Democratic Party (FDP), yang berusia 18 tahun. Namanya Linus Stieldorf, ia dengan mantab akan maju di pemilihan legaslitaif tingkat distrik. Pemuda belia ini bukan tanpa modal untuk bertempur dengan politisi lokal yang usianya bisa jadi lebih tua darinya. Dia sudah bergabung dengan sayap pemuda FDP yang disebut Young Liberals dan bertekad untuk mengusung isu pemuda sesuai dengan ideologi liberal.

Setiap partai politik di Jerman punya sayap politik bagi pemuda. Mereka memberikan pendidikan politik dan mengkader sejak dini. Linus, meski lebih muda beberapa tahun dari saya, tampak jauh lebih tangguh sebagai pemimpin sosial di kelompoknya. Jika Anda mengunjungi situs Young Liberals atau Youth Green (sayap pemuda Partai Hijau), Anda akan menemukan bahwa mereka mengerti betul di jalur apa dan bagaimana mereka berjalan. Mereka mengerti ideologi dan misi yang harus mereka perjuangkan secara spesifik.

Tetapi pikiran saya harus pulang pada kenyataan di bumi Nusantara bahwa gerakan pemuda partai di sini tidak lebih dari bermain bleyer knalpot di jalan saat menjelang pemilu. Pemaparan tentang sayap politik pemuda Jerman tadi tentu bukan sekadar refleksi inferior yang pada akhirnya akan bicara, yah begitulah Jerman dan beginilah Indonesia. Tetapi, ini menyadarkan kita ada yang keliru dengan isu kepemudaan terkait dengan partai politik. Mengapa partai politik? Karena partai politik ini lumbung aktor negara.

Persoalan pertama, partai politik di Indonesia tidak memiliki kaderisasi yang baik. Kalau pun ada sayap pemuda dalam partai, saya melihat dari fakta kampanye di lapangan, fungsinya hanya untuk menggerakkan kerumunan (crowd), bukan untuk pendidikan politik. Barangkali memang partai ini sudah kehilangan bahan pendidikan politik. Fenomena partai politik hari ini jauh dari upaya mengusung ideologi. Semua partai politik bergerak ke arah moderat. Sejumlah partai berbasis Islam juga sudah menyatakan diri sebagai partai terbuka. Mereka bilang itu sebagai bentuk toleransi, tetapi sebenarnya bentuk nyata langkah pragmatis. Pragmatisme adalah ideologi politik yang paling digandrungi dan paling banyak dipeluk politisi masa kini.

Pertarungan ideologi kini justru terjadi di luar koridor parlementer. Islamisme bergerak di tengah masyarakat sipil dan secara militan menyebarkan konservatisme agama. Di sisi lain, liberalisme pemikiran dan ekonomi dijalankan oleh para intelektual dan teknokrat. Sementara itu, partai politik melalui jalur eksekutif dan legislatif meramu keduanya dengan pragmatisme. Hasilnya adalah wajah kebijakan Indonesia hari ini yang menjadi konservatif di isu agama, tetapi liberal di isu ekonomi. Pemerintah yang konservatif tampak dari SK 3 Menteri tentang Ahmadiyah karena negara tidak berdaya berhadapan dengan aktor radikal. Lantas, liberalisme ekonomi yang tidak diiringi dengan akuntabilitas dan transparansi berujung pada korupsi. Rakyat dipertarungkan secara horizontal dan politisi mengambil keuntungan dari kerugian rakyat.

Kedua, ada dikotomi political leader dan social leader yang keduanya tidak dapat disatukan kecuali oleh integritas. Pemimpin politik sering kali mendapat kesan yang tidak baik karena pragmatisme mereka yang tanpa tiding aling-aling. Mereka menjual visi dan janji, bekerja di level makro, tetapi level mikro ditinggalkan kecuali menjelang pemilu. Penggarap level mikro ini adalah para pemimpin sosial yang biasanya ogah masuk politik. Mereka hidup dengan politik sebagai seni menghidupi umat, bukan metode menuju kekuasaan.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan dikotomi pemimpin politik dan pemimpin sosial. Yang menjadi persoalan adalah jika pemimpin politik ini tidak memiliki karakter pemimpin sosial. Politik sepenuhnya menjadi jalan untuk merebut kuasa bahkan materi, tidak diperkaya dengan integritas untuk bekerja bagi rakyat, khususnya kalangan akar rumput. Maka, perpaduan karakter pemimpin politik dan pemimpin sosial ini yang disebut Gus Dur ‘Berkuasa Harus Memimpin’. Berkuasa minus kepemimpinan berarti bukan pemimpin. Hanya berkuasa, tetapi tidak berorientasi kesejahteraan rakyat berujung pada kelaliman.

Indonesia memiliki banyak pemimpin sosial yang baik. Gerakan sosial seperti Jaringan GUSDURian, Akademi Berbagi, Indonesia Mengajar; komunitas-komunitas lokal seperti Qoryah Thoyyibah, Tanoker, Sakola Rimba, dan banyak lainnya, tidak dapat berkembang tanpa kepemimpinan. Kelompok-kelompok ini dengan caranya ingin memperbaiki keadaan Indonesia. Bagaimanapun, ranahnya adalah masyarakat sipil dan tidak dapat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan negara. Artinya, di level pengambilan kebijakan yang dijalankan oleh birokrat dan politisi, kepemimpinan yang baik juga harus ditumbuhkan.

Geng motor yang tampil setiap jelang pemilu dan politik pencitraan yang berjejalan di ruang publik merupakan bukti tidak berjalannya kaderisasi partai politik dengan karakter kepemimpinan sosial. Karena, kalau karakter kepemimpinan sosial ini dimiliki partai, tidak perlu ada gelombang besar mengenalkan caleg pada masyarakat karena selama ini mereka sudah bekerja bersama masyarakat. Tetapi, kenyataanya tidak demikian. Partai hanya catut orang yang memiliki latar belakang organisasi dan popularitas  yang lantas dijadikan pioneer instan. Seperti kita tonton bersama, kader baru seperti Angel Lelga tidak paham visi besar partai pengusungnya. Saya tidak menafikan banyak juga politisi yang memiliki kapasitas yang baik, tetapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa fenomena seperti Angel Lelga ini mewabah.

Demokrasi kita usianya sama panjangnya dengan umur negara. Indonesia pernah dibalut dengan demokrasi terpimpin ala Soekarno, demokrasi Pancasila ala Soeharto, sampai demokrasi ala reformasi yang memiliki banyak wajah. Perjalanan demokrasi ini panjang dan tertatih-tatih. Tidak layak jika kebebasan demokrasi era reformasi ini disuguhi dengan kader partai alias calon pemimpin politik ala kadarnya, bahkan tidak menempuh pendidikan politik yang mumpuni. Demokrasi kita tidak hanya tentang suara terbanyak, tetapi cita-cita untuk keadilan dan kesejahteraan.

Jelas sudah, keadilan dan kesejahteraan tidak dapat diraih dengan bleyer knalpot dan politik pencitraan. Sudah saatnya kita menghentikan pertunjukan badut ini. Partai politik bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik dan kader terbaiknya kepada negara. Kalau yang terjadi hanya pembodohan politik, pemimpin yang baik akan selalu ada di luar jalur politik praktis. Jika template pragmatisme yang disodorkan oleh partai, hanya orang-orang pragmatis yang menguasai dunia politik.

Partai politik harus bertransformasi dengan membersihkan dirinya dari unsur-unsur koruptif dan pragmatisme destruktif. Pertama, prinsip ‘mengutamakan rakyat’ harus menjadi pusat dari segala aktivitas partai baik sebagai lembaga maupun individu politisinya. Kedua, Indonesia membutuhkan munculnya partai kader yang konsisten untuk memegang teguh prinsip dan tidak tergoda dengan sistem kaderisasi yang instan dan pragmatis. Ketiga, dua poin pertama harus dijalankan dalam agenda memperkuat NKRI, bukan menjatuhkannya.

Saat ini, partai politik kalah maju dibandingkan kelompok-kelompok masyarakat sipil yang sudah berusaha mendorong munculnya bibit pemimpin yang unggul, menyediakan laboratorium sosial, dan menguatkan peran masyarakat dalam partisipasi politik. Sementara elit politik sibuk mengumpulkan suara dan mengeruk dana untuk kepentingan sempit.

Itu seperti membangun rumah yang—sekelompok tukang membangun tembok dan rangka atap agar kokoh, tukang yang lain menghantam tembok basah dengan palu hingga roboh. Lantas, kapan rumah demokrasi kita akan selesai dibangun? Jika pergerakan masyarakat sipil ini konsisten, dalam jangka waktu yang panjang, perbaikan ini akan menampakkan hasilnya. Mari kita kawal bersama!

Alumnus PP Tambakberas, PP Krapyak, dan Fisipol UGM.