Selaksa Hegemoni, Secuil Resistensi: Agama Lokal dan Kepercayaan di Hadapan Agama Resmi

Benarkah hubungan antara agama resmi dan agama-agama lokal bersifat hegemonik? Ini adalah sebuah pertanyaan yang sangat mendasar dan ke arah jawabannya mensyaratkan pemeriksaan yang mendalam mengenai konsepsi hegemoni dan prosedur-prosedur penciptaan hubungan kedua entitas keagamaan tersebut.

Hegemoni, sebagaimana kita tahu, adalah konsep yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci. Meskipun arti asalnya dalam bahasa Yunani, adalah penguasaan suatu bangsa terhadap bangsa lain, namun dalam pengertian Gramscian, pengertiannya sangat berbeda. Secara singkat, menurut Gramsci, kelestarian kekuasaan suatu rezim terhadap suatu kelompok masyarakat itu bisa melalui dua cara, yakni kekerasan (represi) dan kesopanan (persuasi). Kekerasan bisa ditunjang melalui aparatus-aparatus seperti hukum, militer, polisi, dan penjara. Praktiknya bisa melalui teror, intimidasi, penculikan, pemaksaan, dan lain-lainnya.  Sementara yang kedua bisa dilakukan melalui pranata kehidupan swasta, seperti kesenian, agama, olah raga, pendidikan, dan lainnya. Yang pertama menghasilkan apa yang disebut sebagai ‘dominasi’, sedangkan yang kedua memproduksi jenis kekuasaan yang disebut ‘hegemoni’.

Untuk kelanjutan dan kebertahanan suatu rezim, dominasi saja, menurut Gramsci, tidaklah cukup. Ini karena dalam banyak hal, dominasi selalu melahirkan perlawanan, konfrontasi, dan bahkan revolusi dari rakyat. Tentu saja hal ini akan membahayakan dan mengancam keberlangsungan rezim. Dominasi menelan biaya sangat mahal, baik dari segi rezim pemerintahan maupun rakyatnya. Karena itu, ia perlu dilengkapi dan kalau perlu secara perlahan diganti dengan hegemoni, di mana praktik-praktik kekerasan sangat minimal dan demikian juga perlawanan terhadapnya. Bahkan sedemikian efektifnya hegemoni, ia bukan saja bisa memberi garansi kekuatan dan kebertahanan suatu rezim pemerintahan, tetapi membuat rakyat yang dikuasainya itu juga menerima dengan senang hati dan lapang kekuasaan tersebut.

Dengan demikian fungsi hegemoni adalah mengabsahkan kekuasaan dan ketimpangan apa pun yang ditimbulkannya. Dan penguasa hegemonik tidak perlu bersusah payah menindas dan atau mengeluarkan biaya untuk memadamkan perlawanan, karena mereka yang ditindas itu sudah pasrah dan rela menerima penindasan itu. Mereka bahkan menganggap ketertindasan itu sebagai suatu hal yang wajar dan sudah demikian takdirnya.

Dengan pengertian hegemoni di atas, bisakah kita simpulkan hubungan antara agama lokal dan agama resmi itu bersifat hegemonik. Saya kira tidak gampang menjawab pertanyaan ini, kendati stok peraturan yang menyangkut keberadaan agama lokal ini tersedia penuh di kantong kita. Soalnya adalah hegemoni dalam banyak hal tidak berbicara tentang bentuk kekuasaan saja tetapi lebih banyak suatu mekanisme atau cara mencapai dan mempertahankan kekuasaan tersebut. Lantas, dalam kaitan ini, bisakah sejumlah peraturan yang menyangkut eksistensi kelompok agama-agama dan kepercayaan lokal dianggap sebagai suatu (bagian dari) mekanisme penciptaan hegemoni?

Saya tak hendak menjawab langsung pertanyaan ini, tetapi dengan cara melingkar mencoba mengemukakan topik tentang resistensi. Adalah hal yang penting dicatat bahwa hegemoni bukan sama sekali anti dengan protes dan perlawanan. Di dalam kekuasaan hegemoni, protes dan kritik sangat diperlukan dan menjadi bagian dari sistem hegemoni itu sendiri. Namun kritik dan perlawanan itu memiliki batas dan aturannya sendiri.

Di lain pihak, penting pula dicatat, bahwa tidak pernah ada kelompok masyarakat yang sungguh-sungguh didominasi atau pun dihegemoni, tanpa memberikan perlawanan sama sekali. Namun tentu saja, karena suatu perlawanan konfrontatif atau revolusi sama saja dengan bunuh diri, pasti menuai kekalahan, maka pilihannya adalah sejenis perlawanan diam-diam, halus, tersembunyi, dan lain-lainnya. Kalangan ilmu sosial menyebut bentuk protes dan perlawanan seperti ini sebagai ‘resistensi’.

James C. Scott, seorang antropolog, paling terkenal dengan ulasannya tentang bentuk resistensi ini dalam kehidupan para petani di Malaysia dalam kaitannya dengan majikan atau perusahaannya. Menurutnya, sepanjang penelitiannya di tahun 1970-an itu, jarang atau tidak ada sama sekali suatu protes, kritik, atau konfrontasi terbuka terhadap majikan/perusahaan. Namun itu tidak berarti perlawanan itu tidak ada, dan justru ia berlangsung setiap hari dalam bentuk sabotase, pencurian kecil-kecilan, pengabaian waktu, menginjak tanaman, merusak peralatan, ngerasani majikan, dan lain-lain. Inilah yang disebutnya ‘resistensi’. Resistensi ini menurut James C. Scott adalah “senjata buat mereka yang kalah”. Ia menyebut bentuk-bentuk perlawanan ini dengan berbagai diksi yang memikat, seperti “tembak menembak kecil-kecilan,” “aksi gerilya tabrak lari tingkat rendah,” dan lainnya. Pekerjaan ini mereka lakukan secara sadar, sengaja dan penuh kehati-hatian. Resistensi menjadi pilihan karena perlawanan secara terbuka atau sebentuk revolusi sudah tidak mungkin dilakukan, karena sedemikian mencengkeramnya kekuasaan itu. Banyak yang beranggapan bahwa resistensi seperti ini sia-sia belaka, namun bagaimanapun hal itu menunjukkan telah adanya perlawanan di balik stabilitas dan keamanan yang tampak terlihat di permukaan, di bawah konsensus yang tampaknya mereka telah terima. Suatu istilah Ariel Heryanto yang menarik untuk menyebut resistensi ini adalah “perlawanan dalam kepatuhan.” Jadi meski kelihatan patuh dan menerima, namun tetap saja melawan secara halus dan sembunyi-sembunyi.

Konsep resistensi ini belakangan, terutama di kalangan penggiat cultural studies –meski tidak diambil dari James C. Scott—diterapkan untuk melihat kehadiran subkultur kaum muda, minoritas subaltern, kelas pekerja, dan lainnya. Di sini peran ‘pemaknaan’, terutama yang bersandar pada semiotika dipakai untuk mengintip praktik-praktik resistensi ini. Dalam hal subkultur kaum muda misalnya, mereka melihat di sana bagaimana resistensi telah menjadi upaya membela diri, gaya hidup, atau taktik dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah sedikit pelesiran konsep ini, saya kira, tak ada salahnya kita mencoba juga melihat: apakah ada semacam ‘resistensi’ di kalangan kelompok keagamaan lokal terhadap mayoritas agama resmi? Dengan memanfaatkan stok data yang dikemukakan para antropolog mengenai cerita-cerita lisan, mitos, dan praktik kehidupan mereka sehari-hari, serta ditambah suatu ‘pemaknaan’, mungkin resistensi ini akan bisa dilihat. Ambil contoh, cerita lisan yang beredar luas di kalangan orang Dayak Meratus, seperti pernah dikemukakan Anna Lowenhaupt Tsing. Menurutnya, orang Dayak Meratus meyakini bahwa mereka dan orang Banjar, berasal dari leluhur yang masih sedarah kandung. Si kakak bernama Sendayuhan kelak menurunkan orang Dayak Meratus, dan si adik bernama Bambang Basiwara yang kemudian menjadi cikal bakal orang Banjar. Konon, kedua kakak beradik ini sama-sama dianugerahi Tuhan sebuah kitab suci. Namun si kakak, Si Ayuh, menelan kitab sucinya.

Kita tahu, kitab suci adalah pertanda luhur dan adiluhungnya suatu ajaran. Kitab, tentu berisi suatu ajaran tertulis, menjadi perlambang agung peradaban jauh di atas mereka yang masih bersandar pada kelisanan. Di Indonesia, kitab suci bahkan menjadi kriteria politis untuk menunjukkan eksistensi suatu kelompok keagamaan. Cerita ini jelas menunjukkan bagaimana orang Meratus mengakui dan tak bisa begitu saja mengabaikan ‘pentingnya’ kepemilikan sebuah kitab suci. Namun serentak dengan itu, mereka juga mencoba menihilkan arti penting sebuah kitab. Mengakui sambil pada saat yang bersamaan menolak tentulah suatu taktik yang jitu. Ada semacam main-main dan proses negosiasi di sana. Dengan mengatakan bahwa “leluhur mereka sebenarnya memiliki kitab suci namun kemudian menelannya,” kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka sepenuhnya menolak atau pun menerima eksistensi sebuah kitab. Posisi mereka tampak abu-abu, berada di tengah-tengah, antara menolak dan menerima, mempercayai tapi juga menampik, menyeriusi tapi pada saat yang sama seperti menertawakan, menganggapnya penting tapi juga menyepelekan, dan seterusnya.

Antropolog Jane Monnig Atkinson, punya cerita yang menarik lain mengenai Suku Wana di Sulawesi Tengah berhadapan dengan ambisi penyebaran dan penaklukan agama semitik. Salah satu soal keagamaan bagi suku ini adalah yang berkait dengan praktik makan. Karena makanan merupakan masalah yang begitu penting bagi kaum muslim, maka diet dianggap sebagai jalan masuk dan keluar dari Islam. Menurut orang Wana, orang dapat keluar dari Islam dengan memuntir leher ayam kemudian memakannya, dengan demikian melanggar aturan sembelih dalam Islam. Mereka menyebut prosedur ini maluba. Masalahnya prosedur ini tidak berlaku di dalam agama Kristen yang tidak memiliki larangan makan. Namun itu tidak berarti mereka tidak bisa keluar dari Kristen. Caranya mereka menempuh jalur melingkar, dengan mengucap syahadat berarti keluar dari Kristen, dan setelah itu memuntir kepala ayam dan memakannya berarti keluar dari Islam. Dengan demikian, cara yang sehat untuk memeluk sekaligus keluar dari agama bagi mereka yang terpaksa adalah mula-mula masuk Kristen dulu, kemudian beralih ke Islam, kemudian memuntir kepala ayam dan memakannya agar selamat sejahtera sehingga berarti kembali kepada agama suku mereka. Demikianlah seterusnya.

Jelas ini adalah sebuah taktik mereka menghadapi kuasa agama resmi. Sekali lagi tampak ada kesan main-main di sana, semacam gerilya kecil-kecilan, mengelak, mencicir, dan mengejek secara halus, dan seterusnya. Tentu karena melawan dan menolak secara terbuka akan jauh lebih membahayakan eksistensi mereka, maka pilihannya adalah pola-pola resistensi semacam ini.

Baru-baru ini saya mendengar cerita dari seorang peneliti dari lembaga Negara tentang komunitas Aliran Kepercayaan yang hingga sekarang eksis di Jawa. Saya bertanya bagaimana mereka bisa eksis dan bertahan? Ada banyak jawaban: salah satunya adalah mereka tidak pernah ribut menuntut penghapusan status agama di KTP dan diganti dengan kepercayaan yang mereka anut. Sebaliknya, mereka tetap mencatumkan agama semula atau agama keluarga besar mereka, entah Islam, Kristen atau pun lainnya, dan dengan nyaman dan aman berlindung di balik status itu. Nah!

Dengan mengidentifikasi cerita-cerita lisan, mitos, dan praktik hidup sehari-hari, sementara bisa katakan bahwa hegemoni agama resmi itu memang hadir di sana. Namun saat yang bersamaan, kita bisa juga saksikan resistensi atasnya. Ini bukan sekedar cerita, tetapi suatu dorongan bagi kita untuk mempertimbangkan pandangan-pandangan kita tentang mereka.

Penulis dan peneliti. Direktur Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta.