Gus Dur dan Antisipasi Sumber Kebudayaan Islam

Salah satu warisan Gus Dur yang jarang atau belum diperhatian adalah antisipasi perubahan besar peta sumber kebudayaan Islam Indonesia akibat perubahan geopolitik dan ekonomi dunia. Ini sudah diperingtai Gus Dur secara intensif sejak dini. Yaitu bangktinya sumber kebudayaan dunia yang sempat tenggelam pada era kolonial dan paska kolonial. Tentu, boleh jadi, dalam wujud yang sama sekali baru. Para sejawaran menginformasikan, kebudayaan Islam Jawa atau Nusantara tidak lain berasal dari tiga puncak kebudayaan dunia pra kolonial, yaitu Persia, Cina dan India. Dari tiga poros inilah sesungguhnya Islam semula diolah sedemikian rupa sebagai sebuah kebudayaan yang matang dan mendalam, kemudian merambah ke Nusantara –kini Indonesia. Di dalamnya termasuk hubungan dagang dan penguasaan akan laut. Beberapa novel Pramoedya Ananta Toer mengindikasikan interaksi ini.

Dennys Lombard di pihak lain, misalnya, menginformasikan bahwa ketinggian budaya Jawa dan Islam di Nusantara sesungguhnya merupakan pergeseran dari Indochina. Indochina merupakan semacam transito ingredient Islam-Hindu-Buddhis-Animis sebelum ke Jawa. Tentu ada penyebar Islam yang berasal dari Arab langsung, juga orang Nusantara yang belajar ke Arab, tetapi perannya tidak sebesar mereka. Konon, tidak satu pun dari sembilan wali di Jawa yang kesohor itu adalah pribumi Nusantara. Sebagian besarnya para sufi berasal dari tiga poros tersebut.

Penundukan Barat –Eropa dan Amerika, atas sebagian besar pusat-pusat Islam seperti Saudi Arabia, Mesir, Afghanistan, Turki menempatkan mereka sebagai sumber alternatif utama Islam Nusantara dari sebelumnya. Kombinasi antara modernisasi Barat yang sentralistik dan Arab yang anti kebudayaan menggantikan sumber-sumber kebudayaan Indonesia yang kaya kombinasi spiritual sufistik yang mendalam dan ketrampilan berdagang. Sumber utama kebudayaan Islam Indonesia pra kolonial tersebut lantas nyaris hilang dari memory umat Islam Indonesia. Namun kini, Iran, Cina dan India siap menantang dominasi Barat. Apa reaksi Islam Indonesia?

****

Sewaktu menjadi presiden, Gus Dur bukan hanya marancang suatu poros dagang (sesungguhnya politik dan kebudayaan juga) Jakarta-Peking-New Delhi tetapi sebelumnya Gus Dur sudah sering mengintroduksi peranan Indochina sebagai sumber kebudayaan Islam Indonesia. Indochina terletak di halaman depan Cina dan halaman belakang India. Sedangkan dalam perspektif Asia Tenggara sekarang, Indochina yang dominan Buddhis adalah mainland sementara Indonesia dan sekitarnya yang dominan Islam adalah semenanjung. Karena itu, Islam dan Buddhisme sesungguhnya, dengan segala dinamikanya, adalah dua basis utama kebudayaan Asia Tenggara kini.

Gus Dur sering memperkenalkan Cham atau Campa, bahkan dia sendiri mengaku sebagai keturunan putri Champa. Cham adalah kerajaan besar Hindu sejaman dengan hegemoni Majapahit di Jawa dan Sriwijaya di Sumatera yang ditundukkan oleh Angkor di Kamboja, yang kemudian timbul kembali. Pada kemunculan kedua inilah dikuasai oleh Islam, sebelum kemudian dihabisi oleh kerajaan Viet di Vietnam. Betapa kuatnya Islam dalam masyarakat Cham, meskipun hanya sebagai nama kerajaan dan bukan sejenis etnis atau ras, tetapi penduduk wilayah itu yang kemudian terpencar karena aksi bumi hangus Viet, juga yang tertinggal di sekitarnya, menyebut dirinya sebagai Cham: setara dengan etnis atau ras.

Sebuah situs overseas milik jaringan orang-orang Cham mengumumkan secara agak aneh: barang siapa yang merasa keturunan penduduk dari kerajaan Cham diminta mendaftarkan diri ke situs yang berpusat di California itu. Kerajaan Cham telah dibumihanguskan sejak abad ke-18 tetapi penduduknya masih mengakui sebagai keturunan mereka. Jika disebut kata Cham maka hampir selalu berkonotasi Muslim meskipun sebagian kecilnya beragama Hindu.

Islam melewati tiga poros dunia tersebut, dengan demikian, tidak hanya numpang lewat melainkan terlebih dahulu menaklukkan pusat kekuasaan dan menguasai rakyatnya. Islam tampil bukan hanya dalam bentuk kekuasaan melainkan menjadi tradisi dan spiritual yang menghunjam ke dalam masyarakat dengan sangat dalam. Taj Mahal, salah satu warisan kebudayaan Islam yang sangat tinggi di India, misalnya, hanyalah sebuah simbol fisik. Lebih dari itu tradisi kehidupan dan spiritual masyarakatnya di wilayah itu jauh lebih dalam. Jangan lupa bahwa India kini masih tercatat sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, di atas negara-negara Timur Tengah sekalipun.

****

Dinamika politik di Indochina, Kamboja, Vietnam, Laos, Myanmar juga Thailand sebagai bagian dari arus globalisasi, di mana Islam masuk sebagai bagian dari dinamika tersebut, selayaknya mengingatkan kita pada antisipasi Gus Dur tersebut. Tidak seperti masa pra kolonial dimana Indochina sebagai transito Islam, kini justru Indonesia sebagai pusat Islam itu sendiri.

Para pewaris visi perdamaian Gus Dur perlunya memperkuat, bukan hanya mengingat, kembali secara sengaja dan sistematis dialog Islam yang bersifat kawasan dan antar kebudayaan dan keagamaan –dengan seluruh dimensinya– untuk diarahkan ke kawasan tersebut.

Senior Advisor Jaringan GUSDURian. Dekan Fakultas Islam Nusantara, UNUSIA, Jakarta.