Gus Dur dan Aceh

17 September 1999, di halaman depan Mesjid Bayt ar-Rahman Banda Aceh, ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dipapah oleh pemuda Aceh, Azmi dan Afdal Yasin, membuka selubung yang menutupi sebuah papan. Isinya dukungan untuk referendum di Aceh. Gus Dur pun menangis tersedu. Tak jelas kenapa, tapi ada yang mengatakan ia merasa sedih karena ditipu. Afdal Yasin ialah anak tokoh Nahdlatul Ulama Aceh Selatan dan deklarator PKB di Aceh. Adapun Azmi tokoh pemuda Aceh yang terkenal karena tinjunya kepada mantan gubernur Aceh, Ibrahim Hasan. Ibrahim Hasan dianggap bersalah karena menyetujui proposal Daerah Operasi Militer (1989-1998).

Takdir sejarah menarik mantan ketua PB NU tiga kali itu menjadi presiden R.I keempat pada 20 Oktober 1999, menggantikan B.J. Habibie. Habibie dilengserkan karena kebijakan blundernya memberikan referendum untuk Timor-Timur sehingga lepas dari pangkuan Republik Indonesia.

Dasar Gus Dur bukan seorang yang penakut dan traumatis, ia malah semakin intensif berkomunikasi dengan masyarakat Aceh. Sejak dilantik sebagai presiden, ia terus melakukan pendekatan menyelesaikan konflik secara nonmiliter. Berpuluh kelompok masyarakat Aceh bertemu dengannya, baik di Ciganjur, Istana Negara, Hotel Peninsula, atau di kediaman orang kepercayaan Gus Dur, H. Masnuh. Semua kalangan diterimanya: aktivis mahasiswa, aktivis perempuan, ulama, politikus, dan juga tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tanpa protokoler yang ketat. Pertemuan itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali!

Dari pelbagai pertemuan itulah Gus Dur menemukan resep penyelesaian Aceh melalui pihak ketiga. Masyarakat Aceh terlanjur tidak percaya kepada Jakarta. Gus Dur memercayakan kepada Hassan Wirajuda sebagai ketua tim lobi untuk menggandeng sebuah LSM internasional, Henry Dunant Centre (HDC) yang berlokasi di Davos, Swiss. Pada 2 Juni 2000, hadirlah kesepakatan internasional pertama dalam sejarah Republik untuk Aceh, yaitu Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause).

Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang keras baik di parlemen dan juga di pihak militer. Pihak GAM masih saja melakukan propaganda kemerdekaan, sehingga kekerasan di lapangan terus terjadi. Jeda Kemanusiaan I hanya bertahan tiga bulan dan direvisi menjadi Jeda Kemanusiaan II (15 September 2000). Lagi-lagi kesepakatan ini berakhir mungil pada 15 Januari 2001. Petinggi militer menganggap Gus Dur membawa anomali dalam penyelesaian konflik separatisme melalui internasionalisasi kasus Aceh. Baku tempur di lapangan merusak harapan perdamaian.

Meskipun gagal damai, Gus Dur tak malah berbalik arah memilih pendekatan represif. Dalam sebuah pertemuan dengan kami kelompok aktivis mahasiswa pascakegagalan Jeda Kemanusiaan Gus Dur berucap, selama ia presidennya, adalah haram mengambil kebijakan operasi militer lagi untuk Aceh.

Sosok Empatik

Gus Dur menjadi presiden kurang dari dua tahun (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001). Namun untuk waktu pendek itu ia berhasil melakukan puluhan komunikasi dengan masyarakat sipil Aceh. Belum lagi pendekatannya dengan masyarakat Papua atau urusan lainnya.

Bagi saya itulah the real blusukan, berkomunikasi dan memusyawarahkan pandangan-pandangan berbeda secara intensif. Dalam sejarah Republik, belum ada presiden yang memiliki daya tahan sedemikian kuatnya untuk menerima dan mendengar semua kalangan. Ia menghormati semua pandangan.

Pascapertemuan Kongres Perempuan Aceh (Duek Pakat Inong Aceh) Februari 2000, perwakilan perempuan Aceh menghadap Gus Dur untuk menyampaikan hasil kongres. Gus Dur telah mendengar bahwa kegiatan itu ditolak oleh GAM dan aktivis mahasiswa Aceh karena tidak membawa isu merdeka atau referendum. Perempuan Aceh saat itu membawa pesan perdamaian untuk mengatasi ketegangan antara pilihan referendum, otonomi khusus, atau merdeka.

Gus Dur bertanya, bagaimana ia tahu pilihan kelompok perempuan itu juga menjadi tuntunan masyarakat Aceh lainnya. Naimah Hasan, perwakilan perempuan saat itu menyatakan, jika substansi yang disampaikan sama dengan masyarakat sipil lain, berarti kelompok perempuan mendapat dukungan. Tapi jika disampaikan berbeda, Sang Presiden bisa menilai apakah pilihan mereka benar atau salah. Di ujung perbincangan Gus Dur mengangguk tanda setuju.

Sosok Misterius

Meskipun dikenal sebagai pemikir Islam rasional, tindakan Gus Dur tidak sepenuhnya mudah dinalar. Sebagai tokoh yang dibesarkan di alam pesantren, aspek magisme dan kharismatisme masih mudah merayu pandangannya. Tidak semua tindakannya berdasarkan ukuran objektif dan matematis.

Salah satu kegemaran Gus Dur adalah bersilaturahim dengan ulama-ulama kharismatis dari seluruh Nusantara. Di Aceh, salah seorang teman spiritualnya ialah Tgk Ibrahim Woyla. Pernah suatu kali ia memerintahkan stafnya untuk menjemput Abu Woyla ke Jakarta. Ternyata selama di istana keduanya tidak melakukan komunikasi verbal. Gus Dur sibuk dengan urusan kenegaraan sedangkan Abu Woyla sibuk berzikir. Ketika Abu Woyla pamitan, Gus Dur memeluk dan mengucapkan terima kasih untuk komunikasi yang sangat bersahabat itu.

Bahkan, ketika jam-jam menjelang kejatuhannya sebagai presiden, Gus Dur masih berkeras untuk mempertahankan kekuasaan kepresidenan yang didapatkan secara konstitusional. Saat itu Abu Woyla berada di istana negara. Ia meminta izin kepada ajudan presiden, Sutarman (Kapolri sekarang) agar bisa menduduki kursi kepresidenan. Sutarman mendelik kepada pengikut Abu tanda tidak setuju.

Gus Dur mengetahui itu dan mempersilakan Abu Woyla untuk duduk. Beberapa waktu Abu berdoa dan mengusap-usap kursi kepresidenan itu. Setelah itu ia menyatakan Gus Dur sudah waktunya turun. Tak tunggu lama, Gus Dur setuju dan keluar istana dengan celana pendek memberikan salam perpisahan.

30 Desember tahun ini lima tahun Gus Dur wafat. Terlalu banyak kisah dan sisi teladannya yang tak habis diulas. Kisahnya bersama Aceh juga bagian dari sejarah penting bangsa ini. Tak elok dikecilkan atau disamarkan.

(Artikel ini pertama kali dimuat di Kompas, 30 Desember 2014)

Pengajar antropologi dan Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh.