Dimzoom Harlah Gus Dur: Cerita Keluarga Ciganjur

Dalam rangka memperingati hari lahir (harlah) Gus Dur, Jaringan GUSDURian menggelar diskusi virtual via Zoom pada Jumat (17/9) malam. Acara yang diberi tajuk “Cerita Keluarga Ciganjur” ini menghadirkan semua keluarga inti Gus Dur, yaitu Ny. Sinta Nuriyah (istri), Alissa Wahid (putri pertama), Yenny Wahid (putri kedua), Anita Wahid (putri ketiga), dan Inaya Wahid (putri keempat). Dalam panel ini, Jay Akhmad dari Seknas Jaringan GUSDURian berperan sebagai host yang memandu acara.

Diskusi dibuka dengan pertanyaan, kenapa harlah Gus Dur bisa diperingati dua kali (4 Agustus dan 7 September)? Bagaimana bisa sampai ada dua versi? Dan sebenarnya mana versi yang asli?

“Yang pertama begini, kan ada tanggal 4 Agustus, tanggal ini yang ada di KTP. Yang kedua, ada tanggal 7 September karena itu yang ada di catatan tulisan tangan yang ditemukan bu Aisyah Hamid. Tapi yang kita harus ingat Gus Dur kan lahir ketika akta kelahiran belum ada. Jadi tidak ada catatan langsungnya. Ditambah lagi, karena kita tidak ada yang bisa memverifikasi dan Gus Dur sendiri tidak peduli mau lahirnya kapan,” terang Alissa Wahid memulai topik diskusi.

Alissa melanjutkan penjelasannya ketika ditanya perasaannya menyandang status sebagai anak Gus Dur. Ia bersyukur menjadi putri pasangan Gus Dur dan Ny. Sinta Nuriyah, tetapi di sisi lain ia tidak menganggap hal itu menjadi sesuatu yang ringan. Sedangkan statusnya sebagai putri sulung bagi Alissa tidak ada bedanya dengan anak-anak Gus Dur yang lain karena keluarganya menerapkan prinsip egaliter.

“Saya malah sering dikira adiknya. Saya sering dikira Inaya. Yang lebih sering dikira anak sulung kan mbak Yenny, bukan saya,” tutur Alissa menceritakan pengalamannya.

Anita Wahid, putri ketiga juga turut mengungkapkan unek-unek-nya ketika dirinya sering tidak dikenal orang sebagai putri Gus Dur. Baginya, tidak terlalu dikenal publik merupakan sesuatu yang baik.

“Mungkin orang berpikir bahwa semua orang pengen terkenal, pengen ngetop,” kata Anita. “Bagi aku, konsekuensi dari ngetop itu adalah under public scrutiny, dilihat sama orang terus-menerus, dan aku sebenarnya tidak terlalu nyaman dengan itu. Tetapi di saat yang sama, tetap saja karena nama belakang Wahid, yang penting buat aku kontribusinya apa buat masyarakat. Itu yang paling penting,” lanjutnya.

Sepeninggal Gus Dur, keempat putrinya mengakui bahwa warisan yang ditinggalkan adalah perjuangan-perjuangannya semasa hidup. Mengingat banyak dimensi yang diperjuangkan Presiden RI ke-4 tersebut, para putrinya berdiskusi warisan perjuangan apa saja yang akan dilanjutkan dan dirawat oleh masing-masing.

“Ini sering menjadi pertanyaan umum ya, kenapa ada satu putri Gus Dur yang banyak ngomongin politik, misalnya mbak Yenny. Atau mbak Anita lebih banyak aktif di organisasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Sedangkan mbak Alissa aktif di gerakan grassroot. Kenapa beda-beda?” tanya Inaya Wahid.

Yenny Wahid sebagai putri kedua Gus Dur yang dianggap mewarisi dimensi politik Gus Dur mengaku bahwa semuanya berjalan mengalir tanpa direncanakan. Pada saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, Yenny adalah putri yang paling sering mendampingi Gus Dur ke acara-acara politik. Selain karena ia belum punya banyak kesibukan pada saat itu, Yenny juga berada di Jakarta, mengingat kakak sulungnya, Alissa tinggal di Jogja dan sedang sibuk dengan kehadiran anaknya yang baru lahir.

“Jadi itu mengalir, organik. Kemudian background saya sebagai wartawan memberikan andil juga, sehingga bisa lebih banyak ngobrol sama Bapak agak nyambung tentang orang-orang yang jadi aktor-aktor politik di Indonesia. Berminat dengan geopolitik juga. Ya sudah, jadi setengah terjerumuslah masuk politik,” ungkap Yenny Wahid.

Di kesempatan lain, Nyai Sinta Nuriyah turut menjelaskan tentang pendidikan yang ia dan Gus Dur praktikkan kepada anak-anaknya. Menurutnya, ketika mendidik anak, orang tua tidak perlu mengeluarkan banyak larangan atau mendiktenya dalam melakukan hal-hal tertentu. Sebagai orang tua, memberi contoh baik adalah sikap paling efektif untuk mengajari anak-anak tentang nilai-nilai positif.

“Kita memang tidak pernah mengatakan kamu tidak boleh begini, tidak boleh begitu, kamu harus begini, harus begitu. Bukan begitu. Yang penting kita berikan contoh atau teladan dari sikap kita kepada mereka. Kita tunjukkan sikap yang baik, kelakuan yang baik, bagaimana bersikap kepada orang lain. Semuanya kita contohkan saja,” ujar Nyai Sinta Nuriyah.

Peringatan harlah Gus Dur ini berlangsung mulai pukul 19.00 hingga 21.00 WIB dan disiarkan secara langsung di GUSDURian TV. Sebelum diskusi dimulai, terdapat acara peluncuran buku oleh Seknas Jaringan GUSDURian. Buku berjudul Menatap Lukisan Gus Dur tersebut merupakan kumpulan esai tentang pemikiran dan keteladan Gus Dur dari para pemenang lomba menulis esai yang diadakan Jaringan GUSDURian bersama Islami.co dan NU Online dalam rangka peringatan harlah Gus Dur tahun lalu. Terdapat 25 esai di dalamnya yang membahas tentang nilai-nilai Gus Dur dari beragam perspektif dan isu.