Kata pa Acung (Abdul Wahid Maryanto): “Bapak menyimpan dan mengoleksi banyak kaset dan CD musik klasik, wayang dan musik-musik yang lain baik Barat maupun Indonesia”. Beberapa nama komponis musik klasik dunia antara lain adalah Ludwig van Beethoven, Wolfgang Amadeus Mozart, Johan Sebastian Bach, Frederic Chopin, Frans Schubert, Peter Ilich Tchaikovsky dan lain-lain. Akan tetapi Gus Dur amat suka pada Shimponi 9 in D minor karya besar sang maestro; Beethoven. Dia sering bercerita soal ini. Katanya pada suatu saat: Simfoni No. 9 ini menggambarkan kehidupan Beethoven yang penuh dengan perubahan-perubahan dan perjuangan keras. Ia menggapai kegembiraan dengan mengarungi badai kesulitan. Para pendengarnya menyebut simfoni ini sebagai “the inhuman voice”.
Selain musik-musik klasik Barat, Gus Dur juga menyukai lagu-lagu Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris dari Mesir yang dijuluki “Kaukab al-Syarq” (Bintang Timur). Banyak lagunya yang bagus dan indah. Ketika belajar di Kairo Gus Dur (dan Gus Mus) pasti sering mendengarkan alunan merdu Ummi Kaltsum ini. Di sana ada stasiun radio yang khusus memutar lagu-lagunya sepanjang hari, sejak wafatnya sampai hari ini.
Beberapa lagunya yang sering disebut adalah “Amal Hayati” (harapan hidupku), “Al-Athlal”, (puing-puing), “Wulidal Huda” (kelahiran Sang Cahaya), dan “Rabi’ah al-‘Adawiyah”, sang sufi agung perempuan, dan lain-lain. Lagu “Amal Hayati”, bercerita tentang mabuk cinta kekasih. Salah satu liriknya mengatakan: “Cintamu, duhai kekasih, memenuhi relung jiwaku dan pikiranku”. “Al-Athalal”, bicara tentang kenangan masa lalu yang indah. “Wulidal Huda”, karya Ahmad Syauqi, penyair Arab terkemuka, menceritakan tentang kelahiran Nabi Muhammad. Sementara lagu “Rabi’ah al-‘Adawiyah” bercerita tentang puisi-puisi cinta Rabi’ah kepada Tuhan. Perempuan ini adalah ikon mistisisme cinta. Syair-syair cinta yang ditulis sufi perempuan dari Basrah, Irak ini telah mengilhami banyak sufi besar lainnya. Salah satu syairnya yang terkenal adalah:
أُحِبُّكَ حُبَّيْنِ, حُبَّ الْهَوَى وَحُبّاً لِاَنَّكَ أَهْلٌ لِذَاكَ
فَاَمَّا الَّذِى هُوَ حُبُّ الْهَوَى فَشُغْلِى بِذِكْرِكَ عَمَّنّ سِوَاكَ
فَاَمَّا الَّذِى هُوَ أَهْلٌ لَهُ فَكَشْفُكَ لِى الْحُجْبَ حَتَّى أَرَاكَ
Aku mencintai Mu dengan dua cinta
Cinta karena hasrat diriku akan Diri-Mu
Dan cinta karena hanya Engkau yang memilikinya
Cinta hasrat, karena aku selalu sibuk menyebut nama-Mu
Cinta karena Diri-Mu saja pemilik Cinta itu
Dan tidak yang lain
Karena aku selalu berharap-harap
Engkau singkapkan Tirai Wajah-Mu
Biar aku menatap-Mu seluruh
Tak ada puja-puji bagi yang ini atau yang itu
Seluruh puja-puji untuk-Mu saja
Kegemaran Gus Dur pada musik klasik ini mengingatkan saya sekali pada Mawlana Jalal al-Din Rumi. Sufi penyair besar ini menggemari musik dengan mengambil suara “Ney”, seruling. Ney ditiup untuk mengiringi tarian-tarian yang diciptakannya yang popular disebut “Sama’”. Ia adalah tarian spiritual dengan cara berputar-putar. Di dunia Barat, tarian spiritual ini disebut “Whirling Dervishes”. Nada-nada “Ney”, yang mendayu-dayu, berayun-ayun dan menyayat-nyayat hati bagai nyanyi sunyi seseorang yang ditinggal kekasih, menciptakan nuansa-nuansa religiusitas yang amat kuat dan menggetarkan.
Saat memutar-mutarkan tubuhnya penari menanggalkan semua emosinya serta pikiran-pikiran duniawi. Jiwanya hanyut, tenggelam dan larut dalam kerinduan dan kecintaan yang meluap-luap kepada Tuhan. “Setiap orang yang berada di tempat yang jauh dan terpisah dari asalnya akan selalu merindu untuk kembali ke asal”. Sampai pada akhir hayatnya, 17 Desember 1273 M, Rumi tak pernah berhenti untuk menari “sama’”, karena beliau tak pernah berhenti untuk mencintai Allah, tempat segala mengada. Tarian dengan iringan Ney ini sering disebut sebagai “tarekat” Maulawiyah.
Sungguh hasrat Gus Dur kepada musik klasik dengan iringan simpfoni gubahan para maestro musik klasik dunia tersebut sangatlah tidak umum bagi para ulama. Banyak ulama fiqh yang justru mengharamkan nyanyian dan tarian. Alat-alat yang digunakan mengiringi nyanyian juga mereka haramkan. Nyanyian dan tari-tarian adalah tradisi orang-orang kafir, Yahudi dan Nasrani. Fatwa-fatwa mereka menyebutkan bahwa mendengarkan musik dan menikmatinya adalah suatu kemaksiatan, suatu dosa besar (min al-Kaba-ir). “Al-Sima’ Fisq wa al-Taladzdzudz biha Kufr” (mendengarkan musik merupakan perilaku buruk dan menikmatinya adalah kekufuran). Bunyi seruling itu, adalah tiupan mulut setan, iblis yang selalu mengajak untuk menarik hasrat-hasrat rendah, menipu melalaikan dan mencelakakan.
Berbeda dengan mereka, Imam al-Ghazali, sang sufi terbesar, justru memberi apresiasi demikian tinggi atasnya. Dia menyampaikan kata-kata indah seperti ini :
مَنْ لَمْ يُحَرِّكْهُ الرَّبِيْعُ وَأَزْهَارُهُ، وَالْعُودُ وَأَوْتَارُهَ، فَهُوَ فَاسِدُ الْمِزَاجِ، لَيْسَ لَهُ عَلاَجٌ
“Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati”. (Ihya Ulum al-Din, II/275).
Bagi al-Ghazali musik dapat meningkatkan gairah jiwa. Ia mengajak para pembacanya untuk merenungkan suara-suara burung nuri atau burung-burung yang lain. Suara-suara itu begitu indah, merdu dan menciptakan kedamaian di hati pendengarnya. Seruling yang ditiup, piano yang ditekan satu-satu, biola yang digesek-gesek atau rebana yang ditabuh adalah suara-suara. Suara-suara ini hadir mengekspresikan lubuk hati yang dalam. Suara-suara itu tak ada bedanya dengan nyanyian para penyanyi.
Di tempat lain dia mengatakan dengan penuh kearifan: “Mendengarkan musik penting bagi seorang yang hatinya dikuasai oleh cinta kepada Tuhan, supaya api cintanya berkobar-kobar. Tetapi bagi orang yang hatinya dipenuhi cinta hasrat duniawi yang fana, mendengarkan musik merupakan racun yang mematikan, memalingkan dari Tuhan, melalaikan-nya, maka itu haram”.
(Tulisan ini sepenuhnya dikutip dari buku Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur karya KH. Husein Muhammad)