Gus Dur: Ibu Kota Bagi Kaum yang Teraniaya

Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali, puing-puing cinta, ibu kota bagi kaum yang teraniaya.

(“Durrahman”, Joko Pinurbo)

Puisi karya Joko Pinurbo sangat tepat dalam menggambarkan sosok Gus Dur. Gus Dur merupakan suaka bagi segala umat, terutama bagi mereka yang teraniaya, mereka yang patut untuk dibela. Gagasan dan tindakannya untuk kemanusiaan sungguh luar biasa. Tak jarang Gus Dur dicerca karena gagasan dan tindakannya tersebut. Meskipun demikian keteguhannya dalam memperjuangkan setiap apa yang diyakini sebagai kebenaran tak ada duanya. Cerita tentang kesederhanaan hidupnya, penghargaannya terhadap orang lain, pembelaan-pembelaannya terhadap kaum yang terpinggirkan, perjuangannya terhadap keislaman dan keindonesiaan telah banyak diungkapkan dalam beragam tulisan, diceritakan dalam banyak narasi.

Yang jelas Gus Dur sangat dicintai. Mengapa Gus Dur begitu dicintai? Tentunya banyak jawaban yang bisa menjelaskan mengapa Gus Dur begitu dicintai. Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia, dalam pengantar buku Damai Bersama Gus Dur (2010) menyebutkan, Gus Dur dikenang dan dicintai karena telah memberikan dirinya untuk orang lain. Ibarat lilin ia habis terbakar. Menjadi pembela kaum minoritas, pelindung gerakan pluralisme, penganjur kebebasan berekspresi, penggiat antiserba kekerasan.

Jakob Oetama juga menuliskan mengenai jasa Gus Dur dalam memisahkan polisi dari tentara, membentuk kementrian kelautan, menghidupkan adat istiadat Tionghoa (perayaan Imlek, pengakuan agama Konghucu, dsb), dan menjadikan istana kepresidenan sebagai istana rakyat.

Selain itu, bukti lain betapa Gus Dur sangat dicintai dapat dilihat juga setiap tahun ketika diselenggarakannya peringatan Haul Gus Dur. Peringatan Haul Gus Dur selalu dipadati oleh masyarakat dari beragam kelas sosial. Makamnya pun tak pernah sepi diziarahi. Doa-doa untuk Gus Dur terus mengalir.

Ajaran dan ujarannya dibaca, didiskusikan, dan diikuti. Tulisan-tulisannya terus dibaca dan disebarluaskan. Pun dengan humor-humornya, guyonan-guyonan lucunya. Gus Dur tetap menginspirasi dan membuat bahagia meskipun sudah tak hadir (secara fisik) di antara kita. Gus Dur tetap hadir dalam relung hati orang-orang yang mencintainya. Gus Dur tetap membuat kita tertawa dan bahagia.

Kata-kata dan foto Gus Dur sangat banyak diposting di media sosial. Kata-kata Gus Dur yang paling banyak dibagikan di media sosial adalah “Apa pun agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Kata-kata tersebut sangat relevan dengan konteks kekinian, ketika kita masih saja ribut mengurusi agama dan kepercayaan orang lain tetapi sering lupa mengamalkan ajaran agama islam, menjadi muslim yang baik.

Gus Dur merupakan pribadi yang sangat hangat. Greg Barton, penulis Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, menuliskan kesan pertamanya bertemu Gus Dur, “Meskipun penampilannya sederhana, namun kehadirannya selalu menyita perhatian. Ia bukanlah seorang yang mengesankan – malah justru sebaliknya – tetapi kehangatan yang terpancar dari dirinya yang santai, sikapnya yang bergairah ditambah dengan rasa humornya yang tinggi dan kecerdasan berpikirnya merupakan mengapa saya menyukainya”.

Seorang sahabat pernah menceritakan pengalamannya ketika bertemu Gus Dur secara langsung, ketika ia pernah mewawancarai Gus Dur untuk keperluan skripsinya.

Sebagai mahasiswa S1 yang tak banyak pengalaman dan jaringan, ia nekat berangkat dari Surabaya ke Kantor PBNU di Jakarta untuk bertemu langsung dengan Gus Dur. Dan, benar saja, ketika sampai di kantor PBNU ternyata sudah sangat banyak orang yang ingin sowan dengan Gus Dur.

Ia pun harus sabar menunggu giliran untuk bertemu Gus Dur. Setiap hari ia datang ke kantor PBNU, menunggu di depan ruang Gus Dur. Tekadnya untuk bertemu dengan Gus Dur sangat besar. Ia memiliki keyakinan tinggi Gus Dur akan menerimanya. Padahal setelah dua hari menunggu, uang sakunya sudah mulai menipis. Jelas sekali ia tak bisa berlama-lama di Jakarta dengan kondisi tersebut.

Penantian yang penuh kesabaran tersebut ternyata membuahkan hasil. Ia pun diijinkan untuk mewawancarai Gus Dur secara langsung. Tidak main-main, ia diajak Gus Dur duduk bersebelahan selama di pesawat Jakarta-Surabaya. Selama di pesawat ia diberi kesempatan untuk bertanya beragam hal berkait penelitiannya.

Pengalaman tersebut sangat berkesan bagi sahabat saya tersebut. Yang menurutnya merupakan berkah tersendiri. Ia seolah mendapat durian runtuh. Ia dapat secara langsung mewawancarai Gus Dur, duduk bersebelahan dengannya, dan pulang ke Surabaya gratis. Keajaiban-keajaiban maupun kisah unik seperti yang dialami oleh sahabat saya tersebut banyak juga diceritakan orang-orang yang pernah bertemu langsung dengan Gus Dur.

Untuk pembelaan terhadap mereka yang teraniaya, posisi Gus Dur sangatlah jelas. Dia siap membela kelompok yang terpinggirkan ketika tak banyak yang mau bersuara secara lantang.

Di dalam Film Dokumenter Konghucu (Bukan) Agama Baru karya Dandhy Laksono, Budi S. Tanuwibowo (Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia 2002-2010) menceritakan bagaimana pembelaan-pembelaan Gus Dur terhadap etnis Tionghoa yang beragama Konghucu. Salah satunya adalah ketika Gus Dur menghadiri persidangan gugatan pengantin Konghucu terhadap catatan sipil yang menolak mencatatkan pernikahan mereka. Pembelaan tersebut dilakukan sebelum Gus Dur menjadi presiden.

Ketika jadi presiden Gus Dur membuka ruang besar agar perayaan kultural etnis Tionghoa yang sebelumnya dilarang oleh Pemerintahan Era Orde Baru dapat dirayakan secara terbuka. Dan sampai sekarang kegiatan-kegiatan menyambut tahun baru Imlek dirayakan begitu meriah oleh kita semua.

Ketika lupa menebar kasih dan malah asyik menebar kebencian, kita perlu mengingat Gus Dur. Kita patut mempelajari ide-ide besar yang sudah ditinggalkan Gus Dur. Mengikuti jejak langkah dan teladan baik yang ditinggalkan oleh Gus Dur.

Alumnus Ponpes Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Saat ini menjadi peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI.