Ketika menjabat presiden, Gus Dur meminta Widjojo Nitisastro, menjadi salah seorang anggota Dewan penasehatnya dalam bidang ekonomi. Pengangkatan ini sudah barang tentu mengecewakan sebagian besar pendukungnya karena Widjojo dikenal sebagai salah seorang arsitek ekonomi Orde Baru dan bagian penting dari mereka yang disebut sebagai ‘mafia Barkeley’. Orang ingin Gus Dur menarik garis putus sama sekali terhadap Orde Baru. Nyatanya ini tidak dilakukan, dan dalam beberapa hal Gus Dur masih pakai orang-orang lama, sebagian demi alasan simbolik rekonsialiasi dan sebagian lain karena kebutuhan praktis-pragmatis. Pertanyaannya mengapa Widjojo?
Baru-baru ini terbit buku berjudul “Widjojo Nitisastro, Panditaning Para Raja, dalam kenangan putri tercinta, Widjajalaksmi Kusumaningsih.” Sebagaimana judulnya, buku ini berisi kenangan putri Widjojo akan ayahandanya. Dalam Bab 3: “Gus Dur, Eyang Kakung Nitisastro, Jombang, dan Saya,” si putri bercerita hubungan keluarga mereka dan keluarga Gus Dur.
Awalnya pada 1992, Gus Dur bersama ibu, istri dan adiknya mengalami kecelakaan lalulintas. Luka parah membuat ketiga perempuan itu pun harus dirawat di RS tempat Widjajalaksmi dan suami berpraktik. Mereka tidak tahu ini keluarga siapa, tapi heran karena yang besuk tak habis-habis dari rakyat kecil hingga pejabat tinggi. Sampai dia ketemu dengan orang yang dipanggil om Emil Salim dan tante Sad (istri Sadli) yang turut membesuk. Kedua orang sahabat ayahnya ini pun tanya, kok dia ada di sini? Ia jawab, ia dan suaminya yang merawat tiga perempuan ini. Dia tanya, memang orang-orang ini siapa om? Emil Salim pun menceritakan kalau ini adalah keluarga Abdurrahman Wahid, ulama dan cendekiawan Muslim dan Ketua PBNU.
Laksmi pun bercerita ke bapaknya kalau dia merawat keluarga Gus Dur. Bapaknya Widjojo senang sekali karena, menurutnya, bapaknya pengagum Gus Dur. Sejak itu kedua keluarga ini jadi dekat. Lebih-lebih ternyata Widjojo sendiri, meski lahir di Malang, besar di Jombang, tak jauh dari rumah ibu Sinta. Kakek nenek kedua keluarga sudah kenal dekat jauh sebelumnya. Bahkan menurut Gus Dur, beberapa keluarga Nitisastro ada yang menjadi pengurus NU pada masa-masa awal. Rumah keluarga Nitisastro sendiri sering dipakai oleh NU (dan juga Muhammadiyah) di Jombang.
Yang menarik adalah pertanyaan Gus Dur kepada Laksmi dan suaminya, Apakah mereka berdua sebagai pasutri baik-baik saja? Mereka menjawab, baik-baik saja. Memang ada apa? Soalnya kata Gus Dur, mereka berdua sebenarnya berasal dari garis keluarga yang berseteru sekitar dua abad lalu. Yang satu adalah keturunan Kiai Mutamakkin, sedang yang satunya lagi adalah keturunan Katib Anom. Mereka yang baca sejarah Jawa akan mengerti siapa kedua tokoh ini. Sejarah menceritakan bahwa Kiai Mutamakkin dilaporkan ke Sultan telah melanggar perintah agama, dan yang mengadili adalah Katib Anom. Cerita ini termuat dalam Serat Cebolek.
Tentu saja Laksmi dan suaminya kaget mendengar cerita ini. Tapi juga campur senang karena ternyata mereka adalah keturunan orang-orang besar. Dan sekarang mereka menjadi lambang rekonsiliasi.
Gus Dur, saya kira, adalah seorang Jawa yang gemar mencari asal-usul moyang dan menghubungkan dan dihubungkan dengan para leluhur tersebut secara genetik maupun secara spiritual. Barangkali tak usah diceritakan lagi kesukaannya berziarah kubur ke mana pun. Cerita ini membuat dua keluarga ini makin dekat dan akrab.
Jauh sebelum jadi presiden, Gus Dur sudah mengungkapkan kepada Widjojo kalau dia ingin dan akan jadi presiden. Meski heran dengan keadaan Gus Dur, Widjojo percaya bahwa kelak Gus Dur akan jadi presiden. Karena itu dia berpesan kepada putrinya untuk menjaga dan mengawasi kesehatan Gus Dur.
Gus Dur yang kalau bicara dengan Widjojo, menurut Laksmi, dalam bahasa Jawa Krama, atau kalau pun berbahasa Indonesia, sangat sopan dan rapi, kemudian menunjuknya sebagai salah seorang anggota Dewan penasehat dalam bidang ekonomi. Sayang tak banyak diceritakan dalam buku ini bagaimana “nasihat” itu diberikan dan apakah dijalankan?
Setelah Gus Dur tidak jadi presiden, kedua keluarga ini tetap dekat. Ketika ibu Widjojo berpameran lukisan, yang membuka adalah Gus Dur dan Bu Shinta.
29 Desember 2009, atau persis sewindu yang lalu, Gus Dur meninggal. Menurut Laksmi, ayahnya menelponnya ketika ia dalam perjalanan memberitahu kalau Gus Dur meninggal. Ia sendiri sudah tahu dari berita tapi tetap mendengarkan pemberitahuan ayahnya karena merasakan kesedihan yang dirasakan ayahnya.
Demikianlah,… Mungkin hanya Gus Dur yg bisa “bermusuhan” dengan tetap menjalin persaudaraan. Persaudaraan itu abadi, dan perbedaan tak akan menyingkirkan persaudaraan.