Tuhan Modernitas dan Tuhan Penjaga di Tokyo dan Kawaba

Di hadapan kuil arca berbentuk alat kelamin pria, Akemi Sensei bercerita tentang sejarah God of Cause milik penganut Shinto di Jepang. Dulu, simbol itu dibuat ketika pemeluk Shinto mengalami masalah dengan kesehatan, utamanya urusan fertilitas. Orang-orang berdoa dengan memberikan koin persembahan, membungkukkan badan tiga kali dengan tangan menelungkup di dada dan bertepuk tangan.

Kini, orang-orang yang bermasalah dengan fertilitas tidak lagi pergi ke kuil Sang Tuhan Kejadian sebab mereka telah mengenal sains dan teknologi medis. Meskipun di desa Kawaba kuil itu masih dirawat, tapi terasa betul bahwa perilaku yang terbentuk dari tradisi manusia terhadap kepercayaan tentu saja berbeda dengan tradisi perilaku terhadap sains.

Suatu hari desa Kawaba didatangi oleh sepasang turis dari Amerika Serikat. Turis itu bertanya, atau lebih tepat dibilang tak bisa memahami mengapa Tuhan Kebahagiaan dalam tradisi Shintoism berbentuk sepasang Tuhan laki-laki dan perempuan yang membawa botol sake, sedangkan Tuhan Sakha dalam tradisi Buddhisme hanya satu wujud laki-laki yang mengatupkan kedua tangan di depan perut sambil bersila di hamparan bunga lotus.  

Seorang pegawai pariwisata menceritakan habitus bule Amerika itu dengan masygul. Apa yang harus mereka lakukan untuk melayani turis dengan baik? Mereka bingung memilih, apakah harus berfokus untuk menyesuaikan selera turis Timur ataukah turis Barat.

Minggu ini, saya datang ke Jepang untuk sebuah program yang diadakan oleh Japan Foundation Asia Center. Dalam kunjungan EYES Program for Embracing Diversity, kami berkunjung ke desa Kawaba di wilayah Gunma. Kawaba sedang bersiap menyambut kunjungan turis global pada Olimpiade 2020. Sebagai muslim, saya takjub melihat Kawaba. Ia adalah wajah lain dari Jepang yang sering kali hanya diasosiasikan dengan Tokyo. 

Di Tokyo, orang Jepang berjalan dengan langkah yang begitu gegas, tak saling menengok dan mengobrol di jalanan maupun dalam transportasi publik. Hampir tak ada senyuman di jalanan Tokyo. Orang-orang keluar dari rumah untuk pergi bekerja di pagi hari dan pulang ke rumah pada sore hari. Di Kawaba waktu berjalan begitu lambat. Di gerbang desa terpasang simbol alas kaki raksasa yang terbuat dari batang padi. Ia adalah simbol kesejahteraan warga desa. Memasangnya di gerbang desa adalah kepercayaan bahwa seluruh desa terlindungi oleh roh penjaga. 

Para leluhur di Jepang percaya bahwa Tuhan ada di mana-mana. Arca Tuhan Shinto ada di kuil tiap rumah, di tengah kebun, di bawah tiang listrik, di depan perkantoran desa, bahkan di dalam toilet pun ada Tuhan penjaga. Sepanjang perjalanan ziarah ke situs penganut Shinto, Buddhisme, dan kuburan tersembunyi penganut Katolik yang dipersekusi militer Samurai Jepang di masa lalu, saya berlarian sambil memetik buah di perkebunan apel dan blueberry.

“Bukan Kawaba yang mesti memenuhi kebutuhan para turis, para turis itulah yang harus memberi penghormatan ketika datang ke Kawaba,” ucap saya dengan penuh harap.

Desa Kawaba masih begitu hijau dan perawan. Pada sebuah sudut, saya diajak berhenti di sebuah sungai yang aliran airnya dapat langsung diminum. Mereka sangat percaya diri bahwa penyaringan tanah dan bebatuan dari alam di Kawaba terjaga dengan sempurna. Hutan lindung di Kawaba dikelola oleh pemerintah dengan sangat hati-hati sehingga aliran air yang begitu deras dan jernih itu mereka sebut air Tuhan. 

Dari sumber air pegunungan Kawaba itu juga mereka membuat sake, yang komposisinya berasal dari 80% air dan 20% beras terbaik persawahan di Jepang. Tentu saja saya tidak bisa minum sake. Tapi, Tuhan Sake yang terpasang di sudut-sudut ruang pabrik sake modern cukup membuat berdecak kagum.

Hari-hari ini, Jepang mengalami masalah depopulasi yang cukup serius. Toshihiro Menju menulis dalam New Challenges for Japan: Can Japan Open to the World? bahwa gejala depopulasi telah mengakibatkan pengurangan 6.811 sekolah negeri sejak 2002, juga sejumlah jalur kereta dan jalur bus umum. Anak-anak muda di Jepang malas menikah dan punya anak. Mereka berkelakar, untuk apa menikah jika segala sesuatu di Jepang telah sangat teratur dan telah banyak restoran yang menyiapkan kebutuhan pokokmu? 

Saya bilang bahwa dalam Islam, orang-orang menjalani pernikahan tidak hanya untuk saling menyiapkan kebutuhan, tapi juga sebagai misi saling mengasihi dan saling memberikan kenyamanan satu sama lain. Dalam diskusi soal depopulasi, saya bilang barangkali Jepang mesti mengingat folklore, dongeng klasik, atau tradisi spiritualitas Jepang yang berkisah tentang berpasang-pasangan agar strategi pemerintah Jepang untuk meningkatkan angka kelahiran berhasil.

Isu depopulasi di Jepang membuat negara ini terbuka pada penduduk migran. Jepang yang homogen, penduduknya yang tak mau bicara bahasa Inggris, kini mulai mencari strategi hidup dalam keragaman. Mau tak mau, dunia memang telah menjadi desa global. Tapi, menerima kelompok asing tentu saja bukan perkara mudah. Wajah Islam dunia sering kali hanya diwakili oleh suara-suara menyakitkan yang datang dari kelompok ekstremis yang membuat sejumlah aksi teror yang menyakiti kemanusiaan. 

Sebagai muslim Indonesia tentu saya gembira sebab memiliki tradisi keberagamaan yang menyenangkan. Beragama dengan banyak tradisi kenduri mengajarkan muslim Indonesia terbiasa untuk terbuka dengan tetangga tanpa memandang perbedaan latar belakang. Beragama dengan banyak tradisi ziarah menuturkan generasi masa kini untuk menyambung jejak dengan masa lalu, agar meskipun penemuan sains kian tak terjangkau, manusia senantiasa mengingat asal usulnya, yakni tanah tempatnya berpijak sekaligus tercipta. 

Rekan saya, Sarah Monica dari Abdurrahman Wahid Center-UI memberi masukan agar Kawaba memfasilitasi turis muslim dengan menyediakan tempat berwudu.

Tokyo dan Kawaba seperti dua sisi mata uang. Satu sisi bicara modernitas yang tampak maju namun diam-diam begitu rapuh. Kawaba bagaikan surga tersembunyi yang diam-diam dirindukan.

Sumber: detik.com

Kolumnis dan esais. Mendalami isu-isu perempuan dan kesetaraan. Tinggal di Yogyakarta.