GUSDURian Semarang menggelar diskusi publik dan bedah film yang bertempat di Universitas Wahid Hasyim pada malam Minggu (27/11). Acara ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional.
Diskusi dan bedah film berlangsung dari pukul 18:00 WIB sampai selesai. Acara ini menghadirkan dua pemantik untuk membedah film KTP dan Selaras. Pertama adalah aktivis keberagaman Setiawan Budi, koordinator komunitas PELITA Semarang. Kedua adalah Alhilyatuz Zakiyyah, salah satu peneliti di eLsa Semarang dan aktivis kesetaraan gender.
Menurut Setiawan, bedah film KTP dan Selaras semacam ini sangat berharga sekali terutama untuk kalangan anak-anak muda khususnya yang aktif di GUSDURian. Sebab kita bisa mengkaji perjuangan para penganut kepercayaan untuk terpenuhinya hak-hak mereka.
“Dari film ini kita bisa belajar bagaimana perjuangan para penganut penghayat kepercayaan dalam memperjuangkan hak-hak mereka sebagaimana penganut agama yang lain,” tanggapan Setiawan Budi.
Selain itu Setiawan juga menambahkan kasus ini terjadi di lingkungan kita dan belum terselesaikan. Sehingga istilah mayoritas dan minoritas menjadi kuat dan kelompok yang tidak mendapatkan ruang kolom agama di KTP sering kali mendapatkan perundungan. Oleh karena itu kita harus perkuat sikap ramah dan toleransinya.
“Kita sebagai anak muda yang mempelajari nilai-nilai Gus Dur punya tugas untuk menampilkan wajah yang ramah toleran dan menghormati orang lain agar kasus diskriminasi minoritas dan perundungan tidak terulang,” sambung pria asal Semarang itu.
Selain itu peneliti eLsa, Alhilyatuz Zakiya juga menggapai kasus yang terjadi dalam film tersebut. Ia menganggap hal ini adalah bagian dari cerminan kondisi yang sekarang terjadi. Peran dari GUSDURian sangat besar sekali untuk mendampingi orang-orang yang didiskriminasi hak-haknya.
“Fenomena yang dibahas dalam film adalah cerminan sulitnya penganut kepercayaan minoritas dalam mendapatkan hak-haknya,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Hilya ini.
Selain itu Alhilyatu Zakiyah menambahkan sikap ramah toleran harus melewati tahap pengetahuan. Karena menurutnya gerakan atau sikap akan keluar dari hal pengetahuan yang kritis.
“Sebelum melakukan sesuatu sebenarnya ada fase untuk belajar, untuk mendapatkan hal kritis. Ada tiga tahapan dalam belajar, yaitu dialog intelektual, dialog teologi, dan dialog kemanusiaan. Ketiga hal ini ada dalam GUSDURian,” pungkasnya.