Tepa Selira: Kebudayaan Luhur Manusia Indonesia

Nun sejak abad kelima Masehi hingga satu alaf kemudian, bangsa Nusantara pernah menjalani laku lampah kehidupan yang luhur. Kita bisa menengarainya dari beberapa pencapaian yang telah mereka wariskan. Sedari kedalaman susastra, busana, pusaka (tosan aji), musik, kecanggihan graha semacam Buwana Shaka Phala (Borobudur) dan Prambanan, juga serba-serbi gastronomi—yang kelezatannya masih bertahan di lidah kita sampai sekarang.

Semua pencapaian yang mendaki ke puncak peradaban itu, seolah runtuh satu persatu ketika bangsa asing masuk ke Nusantara, berdagang, lantas menjajah. Terhitung sejak Marco Polo mendarat di Samudera Passai (Aceh sekarang). Ia adalah penjelajah terkenal Italia yang melakukan perjalanan dari Eropa ke Asia melalui Jalur Sutra antara 1271-1295. Pada 1292, Marco yang telah lama mukim di Cina memutuskan untuk kembali ke negaranya. Dalam perjalanan pulang, ia bersama rombongan sempat singgah di Pulau Sumatera dan Jawa. Ia menyebut bahwa Pulau Jawa sangat luas dan menceritakan tentang penyerangan Kubilai Khan ke Kerajaan Singhasari. Selain itu, ia juga menguraikan tentang beberapa kerajaan yang berdiri di Nusantara saat itu, seperti Perlak, Samudera Pasai, dan Lamuri.

Tiga ratus tahun kemudian, setelah kejatuhan Konstantinopel, Portugis (Portugal) yang malu hati karena dipermalukan Kekaisaran Ottoman di bawah kepemimpinan Muhammad al Fatih, memilih wilayah timur jauh untuk dikuasai. Merekalah bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Nusantara. Tokoh penjelajah samudera dari Portugis yang berhasil mencapai kepulauan rempah lebih dulu adalah Alfonso D’albuquerque dan Antonio de Abreu. Pada 1512, Alfonso D’albuquerque tiba di Maluku, sementara Antonio de Abreu menemukan Pulau Timor dan mencapai Kepulauan Banda, Ambon, dan Seram. Sejak saat itu, Portugis mulai memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate. Kekuasaan Portugis di Maluku pun berlangsung cukup lama, sekitar tahun 1512 sampai 1641.

Kehadiran Portugal di sini, disusul kemudian oleh Spanyol, Belanda, Prancis, Inggris, Swiss—yang semuanya dengan niat ekspansionis. Merampok harta kekayaan bangsa Nusantara. Hal yang sama juga mereka lakukan di belahan dunia lain, terutama Amerika, dengan merebut benua itu dari tangan pemilik sahnya, Indian. Kita belum lagi membincang warga dunia lain seperti Arab dan Cina yang masuk dengan pendekatan akulturasi tapi juga menimbulkan dampak yang tak jauh berbeda dengan orang-orang Eropa.

Bangsa kita yang semula hidup tenteram, adem-ayem, gemah ripah loh jinawi, seketika bangkit melawan karena baru menyadari bahwa mereka telah ditipu mentah-mentah oleh para pendatang yang brutal. Sayangnya, perang demi perang yang telah berlangsung dan merenggut begitu banyak korban jiwa, juga meluluhlantakkan kebudayaan agung yang telah dibangun susah payah dan dipertahankan sebegitu lama. Tak sedikit khazanah peradaban Nusantara yang dicuri dan dibawa pulang ke negeri mereka. Tak sedikit pula bekas dari kerusakan yang mereka tinggalkan. Terutama, devide et impera (adu domba).

Pola itu mereka pakai di semua wilayah jajahannya. Keberhasilan cara ini dipengaruhi faktor pengkhianatan, kemiskinan, dan kebodohan yang merebak pasca perang berkepanjangan. Ditambah lagi, pengguntingan pohon sejarah Nusantara dan upaya mencerabutnya dari akar. Wajar bila pada hari ini, kita begitu kesulitan menemukan kepribadian bangsa sendiri. Anak-anak Indonesia kiwari malah tak tahu menahu betapa para pendahulunya adalah bangsa unggul yang pernah mewarnai peradaban manusia dengan sedemikian rupa.

Gold (kekayaan), glory (kejayaan), gospel (agama) yang menjadi misi utama Portugal dan Belanda selama menjarah Nusantara, adalah biang kerok utama yang merusak pranata kehidupan di negeri petirtan. Perang suci atas nama agama yang gagal mereka kobarkan melalui Perang Salib di Yerussalem, berganti jadi misi zending di sini. Ironisnya, dua bangsa terakhir yang datang dari Asia daratan, juga menggunakan cara yang sama dengan metode terbalik: agama, kejayaan, kekayaan.

Mari kita merujuk salah satu sumber primer dari abad-16 M, Suma Oriental (1512-1515) yang ditulis oleh seorang pelancong ulung bernama Tome Pires. Berbeda dengan saudara sebangsanya dari Portugis, yang sudah lebih dulu menganeksasi Maluku, Pires hanya sekadar mencatat apa yang ia lihat dan rasakan. Ketika datang ke Jawa, ia mendapati bangsa asing: Arab, Persia, Gujarat, dan Bengal. Para pendatang itu, katanya, berhasil memperkaya diri dengan berdagang hingga mampu membangun banyak masjid besar.

Kata Pires, “mereka sudah tinggal di Jawa selama 70 tahun” (dihitung dari waktu kunjungannya kali pertama). Wajar jika bangsa itu sudah membawa pengaruh yang besar. Menurutnya, “jauh sebelum Islam datang, orang Jawa masih meyakini ajaran leluhurnya. Ketika bangsa Moor (istilah lain untuk bangsa Arab) datang, mereka membangun benteng di sekeliling tempat tinggalnya. Mengirim kaumnya untuk berdagang dengan jung, membunuh penguasa Jawa, dan mengangkat diri sebagai penguasa baru. Dengan demikian, mereka berhasil menjadi penguasa dan mengambil alih kekuasaan dan perdagangan di Jawa.”

Kita tinggalkan catatan kelam itu. Kini kita hidup pada Abad-21. Masih ada begitu banyak pelajaran yang ditinggalkan leluhur dan bisa kita gali untuk memperbaiki jati diri bangsa Indonesia. Toh, hikayat sejarah bukan untuk disesali, dirutuki, apalagi dikutuki. Mari belajar jadi manusia pemaaf, dengan melupakan dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi sebagai sebuah keniscayaan takdir. Manusia dengan tingkat pencapaian budi dharma tertinggi, akan membiarkan segala sesuatu terjadi sebagaimana adanya, tanpa penilaian apa pun.

Bagi Kisanak yang masih kerok dan pusing dengan keyakinan orang lain dalam hal beragama, cermatilah karya unggulan yang digubah Mpu Prapanca (Dang Acarya Nadendra) pada abad 14 M era Majapahit, baris kedua pupuh keenam dalam kitab Nirarthaprakreta.

Rin apan kawastwan i siran grahana tubu widehalaksana / Ya matannya durgama kapangihanika tekapin memat hayu / Humenen datan wenan atarka ri karegepanin samankana / Katunan tutur hidepikan lebar abalika / Wreddhyanin lupa.

Bagaimana (manusia) dapat menggambarkan-Nya dan meraba-Nya, karena Dia sungguh bersifat tak bermateri. Itulah sebabnya Dia sangat sukar ditemukan oleh orang yang berniat mencapai kebahagiaan. Hanya pada waktu manusia mampu men-’diam’-kan diri (dari segala pikiran liar) dan saat ‘tak merasa menemukannya, maka akan hilang lenyap rasa dan pikiran kembali pada kealpaan yang sempurna.’ (dan dapat bertemu Dia).”

Pada pupuh keenam, Mpu Prapanca juga punya pesan yang tak kalah apik. Sila direnungkan:

Iwa mankaneki gati san hyan umibeki samuhanin dadi / Ya mawak pawak ya ginawe gumaway ikan acintya niskala / Sasinadhyanin tapa masadhya rin angulahaken giwarcana / Hana tan tumut tuwi tumut ta ya raket i sapolahin sarat. 

Seperti itulah halnya Dia, yang ada dalam seluruh makhluk dan yang menyarati segala makhluk. Dia Hyang Meliputi dan sekaligus Diliputi. Dia-lah yang diciptakan ini semua, dan Dia juga yang menciptakan, yang tak dapat dicapai dengan pikiran dan segenap indera; menjadi tujuan semua pertapa yang menyembah-Nya. Dia hadir dan dekat dengan segala makhluk, ikut dalam segala perbuatan makhluk, tetapi juga tidak berbuat.”

Bait terakhir itu senada seirama dengan ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi, “dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya tinimbang urat lehernya” (QS Qaf [50]: 16), serta “Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang engkat perbuat itu” (QS Barisan [37]: 96). Sadarilah bahwa Kisanak takkan pernah menemukan kesesuaian dalam segala perbedaan—apalagi dalam ranah keyakinan, selama tak berhasil menemukan benang merahnya. Dunia di sekitar kita adalah padanan fisik dari “dunia” dalam pikiran. Maka tugas kita menciptakan dalam pikiran sendiri, padanan jiwa yang tenang dari keluhuran hidup.

Secara nalar, kita ini memang berbeda. Karena itulah keagungan penciptaan Allah. Dia yang tak bisa disamakan dengan makhluk, juga tak menciptakan makhluk yang serupa. Pun ada manusia yang kembar, mereka tetap berbeda dalam banyak hal. Kesamaan kita hanya satu, kita sama bernama manusia. Ingin mengenal diri dan dikenali. Mengidamkan kebahagiaan dan membahagiakan sesama. Gemar mencintai dan berharap dicintai. Ikhwal kehidupan adalah perjalanan rasa, maka tengganglah rasamu sampai batas paling lenting. Niscaya kau kan menemukan betapa kita semua hanyalah pengejawantahan dari keindahan Tuhan yang tak tepermanai.

Walakin, sebelum risalah sederhana ini kami pungkasi, perlu juga kita telaah dan resapi sebuah nasihat bijaksana tetua bangsa kita dari masa lalu: “Dadiya lancip tanpa natoni. Dadiya landep tanpa nglarani. Dadiya obor tanpa mblerengi. Dadiya duwur tanpa nganciki. Dadiya bener tanpa keminter. Dadiya unggul tanpa njegal. Dadiya mulya tanpa ngina. Dadiya cahya sinebar datan nyulapi. Dadiya aguna mring sasama. Welas asih lan tepa selira mring sepada-pada.

Jadilah runcing dan tajam tanpa melukai. Jadilah cahaya tanpa membuat silau. Jadilah tinggi tanpa menginjak yang bawah. Jadilah pintar tanpa menunjukkan kepandaianmu. Jadilah unggul dengan cara yang benar. Jadilah mulia tanpa merendahkan orang lain. Jadilah cahaya berkilau. Jadilah berguna bagi sesama. Disarati kasih-sayang dan bertenggang rasa terhadap semua ciptaan.”

Janganlah membenar diri jadi yang suci. Allah sahaja Mahligai Tertinggi. Tiada cela tak pula nista. Hamba nan anitya. Tak elok mendaku Duli-Nya. Gurindam ini tuk pengingat. Janji nin lupa lagi khianat. Pada raga hati, jiwa, dan rasa. Dosa pahala purnasia. Kunarpa jua akhir hikayat kita.

_______________

Artikel ini adalah hasil kerja sama NU Online dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.