Social Media

Toleransi dan Kolom Komentar

Selama ini Indonesia berdiri dengan kokoh di atas berbagai perbedaan, baik perilaku, budaya, maupun agama. Sebagaimana semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’, masyarakat Indonesia telah berhasil menghadapi berbagai perbedaan dengan menumbuhkan jiwa toleransi, yang mana menuntut kita untuk senantiasa menghargai perbedaan, selama masing-masing perbedaan tersebut tidak menyalahi norma dan etika bermasyarakat, tidak juga mengganggu sesama. Dengan toleransi inilah kita telah berhasil menghindari gesekan dan menjaga kearifan di tengah masyarakat.

Itulah yang seharusnya terus terjadi hingga masa kini. Walaupun tampaknya masih terkontrol, namun jika kita telusuri lagi, gesekan mengenai berbagai perbedaan ada di mana-mana. Di era yang sudah maju ini –di mana kita dapat mengakses informasi dengan mudah– kita dapat dengan jelas menemukan gesekan-gesekan tersebut.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah, bagaimana kita menilai seseorang yang mungkin ingin berbuat baik –misalnya berdakwah– namun justru menimbulkan ketidaknyamanan karena dianggap tidak pada tempatnya. Bagaimana penyampaian kebenaran tersebut justru dianggap mengganggu?

Dakwah sudah menjadi tradisi dari masa ke masa dan merupakan amalan yang bernilai baik, namun ternyata jika tidak disertai pemahaman situasi, hal ini justru dapat mengganggu karena disampaikan di tempat yang kurang pas. Misal dalam sebuah konten, ditemukan sebuah komentar yang mengisyaratkan si pemilik konten tersebut untuk berhijab, padahal orang tersebut belum tentu seorang muslim.

Masih di konten milik orang non-muslim, mereka menikmati daging babi yang bagi mereka boleh secara bebas dimakan, seseorang terkadang menegaskan larangan yang ada dengan membawa ayat Alquran atau hadis, atau terkadang seseorang juga menuliskan doa agar pemilik konten tersebut mendapat hidayah dan masuk Islam. Hal ini tentu membuat orang-orang non-muslim merasa tidak nyaman. Sebagai respons tersinggung, seorang non-muslim pernah memposting tanggapannya bahwa perkataan yang demikian membuat mereka (para non-muslim) merasa seolah-olah menumpang tinggal di negara orang lain (negara orang-orang muslim), padahal berada di negeri sendiri.

Ketika hal ini dibahas di kolom komentar oleh banyak orang dari berbagai kalangan, berbagai pendapat pun diluncurkan. Sebagian mendukung dakwah yang ‘salah server’ ini karena tujuan mereka baik, sebagian menyatakan ketidaknyamanan atas perkataan yang menyinggung, sebagian menuntut bagaimana mereka seharusnya menghargai agama lain, beberapa mencantumkan dalil religi mengenai perlunya dakwah dan ada juga yang menimpali dengan menyebut al-Kafirun ayat enam, yang mana mengisyaratkan pada kita mengenai menolerir adanya agama lain: untukmu agamamu, untukku agamaku.

Sebagai penetral suasana yang kurang mengenakkan, beberapa orang pun memberikan salam toleransi kepada sesama. Salah satu kalimat seseorang yang masih saya ingat di kolom komentar tersebut, kurang lebih berkata ’salam toleransi dari Islam’ dengan emoji wajah tersenyum.

Jika memang negeri ini merupakan negeri yang diwarnai toleransi, seharusnya orang tidak akan merasakan adanya ketidaknyamanan atas perbedaan yang dimilikinya, termasuk pilihan beragamanya sekalipun di kolom komentar.

Dari sepintas keributan di kolom komentar tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa alangkah baiknya jika kita ingin menyebarkan kebaikan dan berdakwah, hendaknya kita lakukan di tempat yang tepat dan tanpa menyinggung perasaan pemeluk agama lain. Karena walaupun dakwah tersebut telah disampaikan dengan bahasa yang halus, jika situasinya kurang tepat, maka akan memicu ketidaknyamanan. Maka, jika kita ingin berdakwah, kita harus bisa menyampaikan dakwah kita tanpa kesan menghakimi.

Walaupun hanya sekadar tulisan pendek di kolom komentar, jika itu menimbulkan ketidaknyamanan, sebaiknya kita hindari, terlebih jika itu menyinggung perbedaan. Kita boleh mengkritik jika perbuatan yang ditampilkan memang tidak sesuai norma-norma yang ada di Indonesia. Tapi jika hal itu dianggap salah oleh satu perspektif agama saja, sebaiknya dihindari karena kita tentunya mengedepankan rasa toleran kita sebagai sesama warga negara.

____________

Artikel ini adalah hasil kerja sama neswa.id dengan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Lahir di Wates Kulonprogo. Alumnus Madrasah Aliyah Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta. Hingga saat ini masih ‘nyantri’ di Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri Kotagede dan tengah menempuh studi lanjut di Jurusan Studi Agama-Agama (SAA) Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.