Soetandyo

Pada tanggal 14 Desember 2011, Profesor Soetandyo Wignjosoebroto menerima Yap Thian Hiem Award atas kiprah panjangnya sebagai Pejuang Hak Asasi Manusia. Tepat sepuluh tahun kemudian, yakni pada 14 Desember 2021, saya menerima anugerah Soetandyo Award dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga di Surabaya. Anugerah yang dinisbatkan kepada sang profesor.

Saya menerima anugerah ini bersama KH Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal yang tekun berkiprah dalam membangun keberagamaan yang moderat di Indonesia. Oleh dewan juri Award, kami berdua dipandang memiliki watak perjuangan yang selaras dengan Pak Tandyo, panggilan akrab sang profesor.

Pak Tandyo memang merupakan tokoh yang sangat luar biasa dan menjadi sumber inspirasi. Ia dikenal sebagai intelektual kampiun dalam hal hukum dan keadilan. Ia adalah jebolan Fakultas Hukum UGM di Surabaya (cikal bakal Unair), lalu tanpa sempat menyelesaikan studinya tersebut, ia ke AS untuk belajar Manajemen Kebijakan Publik. Setelah kembali dan aktif mengajar, ia kemudian menjadi salah satu pendiri FISIP Universitas Airlangga sekaligus menjadi dekan pertamanya.

Baginya, hukum tidaklah sama dengan keadilan, bahkan kerap kali hukum memenjara keadilan hakiki. Hukum yang digerakkan untuk mengadili orang lemah sangatlah keras, sementara saat mengadili orang kuat, hukum menjadi lemah. Tajam ke bawah, tumpul ke atas, sebagaimana terbukti dalam berbagai kasus yang ramai dibincang publik, seperti kasus nenek Minah versus kasus korupsi para tokoh berkuasa.

Karena itu, Pak Tandyo konsisten mengingatkan bahwa fungsi hukum hanya menertibkan dan tertib hukum bukanlah keadilan itu sendiri. Salah kaprah ini tampak dalam kasus Mbah Minto, seorang kakek berusia 75 tahun yang membela diri terhadap pencuri, tetapi divonis 14 bulan penjara atas penganiayaan. Hakim dan aparat penegak hukum lainnya seharusnya memiliki kearifan sehingga keadilan tidak dilandaskan semata pada undang-undang sebagai hukum positif, tetapi disumberkan pada hati nurani yang jernih. Legal justice (tertib hukum) seyogianya selalu diselaraskan dengan social justice (keadilan sosial).

Apalagi, menurut dia, dalam merumuskan undang-undang, sering kali kita kurang melibatkan warga bangsa secara deliberatif sehingga suara dan cara pandangnya terwakili, misalnya hukum terkait dengan perburuhan yang tidak secara utuh melibatkan kalangan buruh, atau aturan industri ekstraktif yang tidak melibatkan kelompok masyarakat adat yang sering kali terdampak langsung.

Pak Tandyo merumuskan gagasannya dalam buku Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional yang terbit tahun 1992 dan sampai saat ini menjadi buku salah satu rujukan klasik mengenai perkembangan hukum di Indonesia. Ia juga mengkritisi pemerintahan yang dikembangkan dengan mental set masih feodalistik, diskriminatif, tetap mempertahankan dikotomi gusti-kawula (tuan-abdi) sehingga tak pernah rakyat berada pada derajat yang sama dengan pemerintah (pejabat).

Bahkan, berbekal pengalamannya sebagai anggota Komnas HAM, Pak Tandyo pun mempertanyakan universalitas konsep HAM di tengah konteks sosial budaya. Menurut dia, keyakinan bahwa HAM bersifat universal memang tidak keliru, tetapi mengingat keberagaman masyarakat dunia, tidaklah mudah menurunkan konsep HAM yang ideal dan mengawang menjadi konsep yang lebih aktual dan membumi karena keterikatan warga masyarakat pada konstruksi keadilan berperspektif lokalnya.

Pak Tandyo tidak hanya sosok akademisi yang artikulatif. Pemikiran kritisnya diwujudkan melalui kiprahnya mendampingi rakyat dalam apa yang disebutnya sebagai street justice (keadilan jalanan). Ia membuka rumah dan trotoarnya untuk menjadi lokasi pedagang kaki lima yang digusur oleh pemerintah daerahnya. Ia terlibat dalam berbagai advokasi kasus dan inisiatif-inisiatif pengembangan masyarakat, bahkan sampai akhir hayatnya.

Sosoknya membumi dan sederhana, sebagaimana para pejuang hak rakyat senior segenerasinya, seperti Ibu Ida Gedong Bagus Oka, Romo YB Mangunwijaya, Buya Syafii Maarif, Romo Franz Magnis Suseno, dan Gus Dur. Ia bersepeda ke kampus, dan sering naik angkutan umum selayaknya rakyat. Selalu berpenampilan sederhana, suatu kali bahkan ia dikira tukang kebun!

Integritas dan kemampuan intelektual membuat Pak Tandyo menjadi panutan, baik bagi para akademisi maupun para aktivis pejuang dan pemberdaya rakyat. Tak heran, banyak yang merasa kehilangan saat Pak Tandyo berpulang pada 2013.

Soetandyo Award adalah upaya FISIP Unair untuk merawat pemikiran dan keteladanan Pak Tandyo. Ini adalah sebuah upaya penting mengingat sampai saat ini tidak cukup banyak tokoh dan guru bangsa yang gagasannya terus digali dan dikembangkan untuk menjadi inspirasi. Belajar dari pengalaman Jaringan GUSDURian Indonesia merawat pemikiran dan keteladanan Gus Dur, upaya sedemikian membutuhkan komitmen dan konsistensi, juga strategi yang matang.

Padahal, bangsa ini sedang amat membutuhkan inspirasi membersamai perjuangan rakyat di tengah merosotnya kualitas demokrasi di Indonesia, seperti dilansir beberapa lembaga dunia. Tidak cukup banyak tokoh baru yang muncul di tingkat nasional.

Pada bulan Hak Asasi Manusia ini, sungguh tepat kita menyimak sosok Pak Tandyo untuk mengingatkan kita pada perjuangan yang belum usai. Di tengah semakin besarnya tantangan penegakan HAM, semoga kita dapat mencetak Soetandyo-Soetandyo baru, yang konsisten berupaya memajukan peradaban yang adil kepada rakyat yang dilemahkan. Ini mutlak diperlukan agar kita benar-benar dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam Indonesia yang adil makmur sentosa.

(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 19 Desember 2021)

Sumber: kompas.id

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.