Gus Dur di Tengah Genderang Muktamar NU

Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid tidak bisa terlepas dari organisasi Nahdlatul Ulama. Selain sebagai cucu pendiri NU (KH. Hasyim Asy’ari) dan putra pejuang NU (KH. A. Wahid Hasyim), Gus Dur juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama selama tiga periode. Sedari Muktamar ke-27 NU di Situbondo sampai terpilih untuk ketiga kalinya pada Muktamar ke-29 NU di Cipasung. Tak kurang lima belas tahun lamanya ia memimpin (1984-1999).

Ada banyak catatan penting yang dilakukan oleh Gus Dur sepanjang memimpin Nahdlatul Ulama tersebut. Mulai dari penataan menejemen organisasi, pengkaderan sampai upayanya menjadikan NU sebagai kekuatan global. Akan tetapi, capaian prestisius Gus Dur dalam menakhodai NU itu, tak lantas membuatnya melenggang kangkung begitu saja mempertahankan posisinya sebagai Ketua Umum. ada beragam dinamika yang harus dihadapi di setiap menjelang muktamar.

Sebagaimana diketahui, Muktamar adalah forum permusyawaratan tertinggi di Nahdlatul Ulama. Pada forum inilah, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi diperbaharui serta program kerja selama satu periode disepakati. Di sini pula, Rais Aam dan Ketua Umum PBNU dipilih.

Jika pemilihan Rais Aam cenderung landai, maka proses pemilihan Ketua Umum berlaku sebaliknya. Nuansa politis dan kompetisinya begitu kuat. Tidak hanya dipengaruhi faktor internal Nahdlliyin saja, namun juga terkadang banyak campur tangan pihak lain yang ingin mengkooptasi NU. Nuansa yang demikianlah yang mengiringi keterpilihan Gus Dur sebagai Ketua PBNU sampai tiga kali.

Gus Dur pertama kali terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984. Muktamar ini amat bersejarah. Tidak hanya mengukuhkan Pancasila sebagai asas tunggal di Indonesia, tapi juga memutuskan NU kembali ke Khittah 1926. NU kembali menjadi jam’iyah ijtimaiyah diniyah (organisasi sosial keagamaan). Terlepas dari politik praktis secara struktural.

Pada muktamar ini pula sistem penentuan Rais Aam maupun Ketua Umum tidak menggunakan sistem voting dari masing-masing utusan Cabang NU sebagaimana dikenal sebelumnya. Namun, menggunakan sistem Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA). Di mana pemilihan dilakukan dalam forum permusyawaratan perwakilan ulama sepuh. Di antaranya adalah KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Masjkur, KH. Ahmad Siddiq, dan KH. Ali Ma’shum.

Pada forum AHWA tersebut, Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Meskipun sepintas terkesan mudah, proses terpilihnya Gus Dur ini ternyata melalui proses yang berliku. Kala itu, ada dua arus besar yang terjadi di NU. Kelompok Cipete di bawah pimpinan Ketua Umum PBNU KH. Idham Chalid berseberangan pandangan dengan Kelompok Situbondo yang dipimpin Kiai As’ad.

Berbeda dengan muktamar pertama di atas, pada muktamar selanjutnya di Krapyak, Yogyakarta (1989) Gus Dur justru berseberangan jalan dengan Kiai As’ad. Secara terang-terangan Kiai As’ad menyatakan mufaraqah (berpisah) dengan kepemimpinan Gus Dur. Dalam sebuah wawancara dengan Majalah TEMPO, 2 Desember 1989, Kiai As’ad mengibaratkan Gus Dur sebagai imam salat yang batal wudlunya.

“Tetap di satu masjid tapi tidak menjadi makmum. Ya, bagaimana, wong ketika salat imamnya kentut atau kelihatan anunya. Masa, saya makmum juga. Jadi, saya tidak membatalkan salat saya, tapi saya salat sendiri. Masa, imamnya sudah kentut dan tak mau wudhu lagi, kok masih tetap ingin jadi imam juga.”

Tak hanya Kiai As’ad kala itu, yang mencoba menjegal pasangan Kiai Achmad Siddiq – Gus Dur di pucuk pimpinan NU. Namun, juga ada sejumlah tokoh sepuh NU lainnya. Seperti KH. Masjkur dan KH. Idham Chalid. Mereka mempersiapkan sejumlah calon tandingan. Mulai dari Dokter Fahmi Syaifudin sampai KH. Jusuf Hasyim (Paman Gus Dur yang juga ketua panitia Muktamar). Akan tetapi usaha tersebut tak cukup kuat, keduanya kembali terpilih untuk memimpin PBNU sebagai Rais Aam dan Ketua Umum.

Setelah merampungkan masa khidmatnya yang kedua kalinya sebagai Ketua Umum, Gus Dur kembali menghadapi Muktamar NU pada 1994. Acara ke-29 dalam sepanjang sejarah NU itu, digelar di Cipasung, Tasikmalaya. Dibandingkan dengan dua muktamar sebelumnya, inilah muktamar yang paling berat yang harus dihadapi oleh Gus Dur. Pemerintah yang saat itu dipimpin oleh Presiden Soeharto menginginkan NU dipimpin oleh orang lain.

Menjelang Muktamar tersebut, sebagaimana ditulis oleh Majalah GATRA, Nomor 3 Tahun I, Desember 1994, muncul gerakan yang dikenal dengan akronim ABG. Singkatan dari Asal Bukan Gusdur. Gerakan ini digawangi oleh aktor-aktor yang juga disingkat ABG (ABRI – Birokrasi – Golkar) yang tak lain adalah kepanjangan tangan pemerintah kala itu. Saat itu, kandidat penantang Gus Dur sebagai calon Ketum adalah Abu Hasan. Ia adalah seorang pengusaha yang dekat pemerintah dan duduk sebagai salah satu pengurus NU.

Menghadapi tantangan tersebut, Gus Dur tak hanya melakukan konsolidasi pada simpul-simpul NU. Namun, juga menemui sejumlah hamba Allah yang memiliki kedekatan khusus dengan Sang Kholiq. Satu di antaranya adalah Kiai Muhtadi Thohir, seorang kiai di Banyuwangi.

Beberapa bulan sebelum Muktamar, kerja-kerja spiritual telah dilakukan oleh Gus Dur. Pada musim haji sebelum muktamar, ia mengajak sejumlah sahabatnya untuk menunaikan ibadah haji. Mereka berangkat atas undangan dari Kerajaan Arab Saudi secara mendadak. Kesepuluh orang yang turut berhaji itu kata Haji Masnuh – sebagaimana dicatat oleh Gus Ainurrofiq Jombang – adalah Gus Dur, Gus Amanullah (Tambakberas), Gus Nu’man (Kajen), Gus Muadz (Kajen), KH. Muhtadi (Banyuwangi), Gus Jakfar Shodiq (kakak Kiai Said Aqil Siradj), Haji Anwar (Gresik), adik Haji Anwar (Haji Masnuh lupa namanya), Haji Sulaiman (Jakarta), dan Haji Masnuh sendiri.

Mereka menunaikan wukuf di Arofah sembari menjalan misi khusus. Mereka berdoa untuk memohon petunjuk guna menyelamatkan NU. Dari hasil tirakat di padang Arofah itu, melalui petunjuk yang dilewatkan pada Haji Masnuh, Gus Dur optimis bakal mampu melewati ujian menghadapi rezim.

Haji Masnuh kala itu melihat langit Arofah terbelah dan tampak sembilan matahari yang bersinar terang. Hal ini oleh Gus Dur dimaknai sebagai pertanda NU bakal selamat. Jumlah sembilan memang identik dengan NU yang logonya terdapat bintang sembilannya.

Keterlibatan Kiai Muhtadi tak sebatas sampai di sana. Ia pun turut hadir di muktamar yang dijaga ketat oleh aparat tersebut. Ia berangkat menjelang Muktamar dan ditemani oleh putra sulungnya, Gus Ainul Yaqin.

Sesampainya di Pesantren Cipasung yang diasuh oleh KH. Ilyas Ruchiyat tersebut, Kiai Muhtadi bertemu dengan sahabat Gus Dur asal Surabaya, lantas dipersilakan untuk beristirahat di tempat penginapan Gus Dur. Tempat tersebut, merupakan sebuah rumah yang dilengkapi dengan sejumlah fasilitas seperti halnya dispenser untuk membuat kopi.

Setelah sampai di tempat peristirahatan, Gus Ainul Yaqin membuat dua gelas kopi untuk dirinya dan ayahandanya. Selang beberapa waktu, saat kopi tinggal setengah, datang KH. Muslim Rifai Imampuro atau yang tersohor dengan nama Mbah Liem. Beliau mengenakan seragam hansip dan membawa bebunyian.

Mbah Liem memasuki ruangan istirahat tersebut. Antaranya dengan Kiai Muhtadi beradu pandang seolah ada suatu hal yang dikomunikasikan. Sorot matanya dan anggukan kepala keduanya, seolah jadi tanda percakapan tersebut. Lalu, pertemuan itu, diakhiri dengan bersulang. Dua gelas kopi yang tersisa separuh itu ditoskan oleh keduanya. Diseruput lantas berpisah.

Menjelang pemilihan ketua umum PBNU, Gus Ainul Yaqin diperintahkan oleh Kiai Muhtadi untuk menaruh gelintingan kertas. Ada lima buah. Empat buah ditaruh berdasarkan arah mata angin. Satu buah lagi ditaruh di arena pemilihan. Entah kertas apa itu? Kiai Muhtadi tak bercerita apa pun.

Sebagaimana diketahui, pada pemilihan tersebut berlangsung dramatis. Pada tahap pencalonan, Gus Dur memperoleh 157 suara. Sementara Abu Hasan meraih 136 suara. Juga ada yang memilih Fahmi Saifudin Zuhri sebanyak 17 suara dan Chalid Mawardi dengan 6 suara. Dengan selisih yang cukup tipis, Gus Dur dan Abu Hasan kembali bersaing dalam tahap pemilihan.

Ada 23 suara mengambang yang diperebutkan, yakni suara pendukung Fahmi dan Chalid Mawardi. Pada tahap ini, Gus Dur kembali terpilih dengan meraih 174 suara, sedangkan Abu Hasan hanya dapat 142 suara. Dengan hasil demikian, Gus Dur pun melenggang sebagai Ketua Umum PBNU untuk ketiga kalinya.

_____________

Artikel ini adalah hasil kerja sama alif.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro.