Teologi Publik, Gus Dur, dan Moderasi Beragama

Perkembangan teknologi digital yang melahirkan media sosial telah menyebabkan berbagai kebisingan di ruang publik. Termasuk, yang terkait dengan agama. Beragam kalangan–dari berbagai macam latar belakang dan kepentingan–terlibat dalam mengajukan aneka rupa tafsir agama yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kewarganegaraan (citizenship), yang menaungi kehidupan kita bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewarganegaraan mensyaratkan semua orang untuk menerima perbedaan dan keragaman. Tidak boleh seorang pun mendapat perlakuan berbeda karena perbedaan agama, etnisitas, warna kulit, gender, dan lainnya.

Tafsir agama yang paling problematik datang dari kelompok-kelompok konservatif dan radikal. Mereka merasa diri paling benar dalam menafsir dan memahami kehendak Tuhan. Dengan klaim kebenaran sepihak, mereka menyalahkan kelompok-kelompok lain yang tidak sepaham. Nuansa kebencian inheren dalam pandangan kaum radikal yang bermula dari penafsiran teks yang serba hitam putih dan kaku. Terjebak dalam pemikiran yang sempit. Mereka tidak segan-segan menyebar permusuhan dan menggelar aksi-aksi kekerasan atas nama agama.

Tafsir agama yang dikembangkan kelompok-kelompok radikal berdengung kencang di ruang publik negeri kita yang tengah mengalami transisi politik penuh guncangan pascajatuhnya rezim Soeharto. Ia terutama memukau anak-anak muda generasi milenial yang sedang mengalami kegamangan menatap masa depan. Banyak di antara mereka teperdaya setelah bersentuhan dengan aneka rupa tafsir agama yang disebarluaskan kelompok radikal di ruang publik melalui pemanfaatan media sosial. Termasuk, Facebook, Youtube, Line, Whatsapp, dan Instagram.

Ruang publik

Dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1989), Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai forum terbuka yang berada di antara negara dan pasar yang memungkinkan orang dari beragam latar belakang terlibat mendiskusikan isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama.

Bagi Habermas, ruang publik memainkan peran penting dalam membentuk opini publik yang dapat memengaruhi proses-proses pembuatan kebijakan dalam sistem politik. Ruang publik merupakan prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi yang meniscayakan partisipasi masyarakat dan akuntabilitas pemerintah dalam penyelenggaraan kekuasaan.

Kehadiran agama di ruang publik merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Jose Casanova dalam Public Religion (1994) menunjukkan dengan jelas fakta bahwa di zaman post-modern ini, tradisi keagamaan di berbagai belahan dunia, termasuk negara yang mengalami arus deras sekularisasi, menolak menerima peran marginal mereka dalam ranah privat.

Kini, telah terjadi apa yang disebutnya deprivatisasi agama. Agama masuk kembali ke ruang publik untuk mengambil bagian dalam proses kontestasi, legitimasi wacana, dan penarikan ulang batas-batas.

Namun, kehadiran agama di ruang publik bukan tanpa masalah. Sebagai arena yang terbuka, ruang publik memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk mengajukan tafsir agama yang diyakininya.

Lalu, tafsir agama seperti apakah yang diharapkan hadir di ruang publik demokratis dan memengaruhi perdebatan krusial menyangkut permasalahan-permasalahan bersama. Kerangka aksi komunikatif (communicative action) yang digagas Habermas relevan dalam konteks ini.

Aksi komunikatif merupakan interaksi, setidaknya antardua subjek yang mampu berbicara dan melakukan aksi untuk menegosiasikan pemahaman masing-masing terhadap sebuah situasi demi mencapai kesepakatan bersama. Bagi Habermas, semua pihak boleh terlibat dalam perbedaan sengit dalam menyampaikan pikiran masing-masing. Namun, tetap tunduk pada nilai-nilai bersama karena yang dituju ialah konsensus dan kesepakatan yang akan membawa kemaslahatan bersama (public good).

Teologi publik

Kemaslahatan bersama merupakan kata kunci bagi hadirnya agama dalam ruang publik. Tafsir agama yang hadir di ruang publik haruslah tafsir yang menyejukkan, yang dapat menjadi common platform bagi para pemeluk agama dalam melaksanakan agama mereka sekaligus menaati nilai-nilai bersama. Inilah yang dimaksud sebagai teologi publik yang menjadi topik disertasi Antonius Steven Un di Vrije Universiteit Amsterdam di bawah promotor Prof GJ Buijs dan Prof C van der Kool.

Saya beruntung menjadi salah satu penguji disertasi itu yang dipertahankan pada Oktober 2020 lalu melalui sidang promosi virtual karena saya bisa memahami dengan detail apa yang mendorong Pendeta Anton mengangkat tema ini. Rupanya, pilihan tema ini terkait dengan kegelisahannya melihat kebisingan ruang publik Indonesia pasca-Soeharto dengan hadirnya simbol-simbol dan wacana keagamaan yang cenderung memecah belah dan merusak kesatuan kita sebagai bangsa.

Konsep teologi publik pertama kali diperkenalkan Martin E Marty pada 1974. Beberapa sarjana lain, seperti Ronald Thiemann, Robert Benne, Sebastian Kim, dan Duncan Forrester, menjelaskan lebih jauh konsep ini untuk menunjukkan terbukanya ruang keterlibatan tradisi keagamaan dalam perdebatan publik yang menyangkut berbagai masalah kehidupan. Termasuk, politik, ekonomi, dan budaya.

Bagi Forrester (2004), misalnya, teologi publik berupaya menghadirkan kebenaran ilahi ke ruang publik sehingga bisa memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya bersama, menyelesaikan persoalan-persoalan nyata yang terjadi di masyarakat tanpa mengganggu nilai-nilai dan norma-norma kehidupan bersama.

Gus Dur

Dalam konteks negara kita, nilai-nilai bersama itu sudah terangkum jelas dalam Pancasila yang disepakati para founding fathers bangsa kita sebagai dasar negara. Pancasila menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban warga. Hak warga untuk mendapatkan perlindungan, rasa aman, pendidikan, keadilan, kesejahteraan, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan, berjalan beriringan dengan kewajiban mereka untuk memberikan kontribusi terbaik bagi cita-cita bersama, dan jalannya mekanisme kehidupan bernegara. Keseimbangan antara hak dan kewajiban itu mensyaratkan kesediaan setiap warga menerima kebinekaan dan menenggang perbedaan.

Pancasila memberi jalan bagi kehadiran agama di ruang publik melalui sila pertama, yakni ketuhanan Yang Maha Esa, yang sekaligus merupakan fundamen etik bagi kehidupan bernegara. Namun, kehadiran agama di ruang publik diberi kerangka oleh sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sila-sila lainnya.

Ekspresi dan tafsir agama seperti apa pun mestinya mendapatkan ruang sepanjang tidak melanggar prinsip kemanusiaan universal dan keadaban agar tidak ada ekspresi dan tafsir agama yang melanggar serta mengancam hak-hak orang lain untuk meyakini dan mengekspresikan agamanya masing-masing. Ini berlaku sama baik bagi mayoritas maupun minoritas.

Penyimpangan terhadap prinsip keadaban ini dapat mengganggu persatuan nasional yang merupakan inti sila ketiga Pancasila, yakni persatuan Indonesia, dan jalannya sistem demokrasi kita yang berasas sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Sila ini memuat empat unsur utama, yaitu kedaulatan rakyat, kebijaksanaan, deliberasi, dan representasi, yang memastikan kehidupan bernegara kita tidak saja berjalan di atas nilai-nilai demokrasi. Namun, sekaligus juga mengandung semangat gotong royong, tepa salira, dan kekhasan-kekhasan lokal genius yang mengalir dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Muara dari semua ini tentu saja terwujudnya keadilan yang menjadi pesan kunci dari sila kelima.

Kehadiran agama di ruang publik memang membutuhkan kerangka yang tepat dan perlu terus-menerus diperkuat. Di sinilah signifikansi warisan pemikiran Gus Dur bagi Indonesia. Gus Dur sangat peduli dengan Islam inklusif yang menghargai budaya lokal dan nilai-nilai kemanusiaan universal yang sesuai dengan prinsip-prinsip kewargaan.

Baginya, semua manusia sama di hadapan Tuhan. Gus Dur menolak segala bentuk eksklusivisme, sektarianisme, dan privilese politik yang diberikan kepada kelompok tertentu. Dia menentang penerapan hukum agama apa pun oleh negara dan gagasan proporsionalitas perwakilan di lembaga-lembaga negara.

Dengan tegas Gus Dur menolak gagasan pendirian negara Islam karena dia percaya bahwa di bawah negara-bangsa modern hanya ada satu komunitas yang sah, yaitu warga negara Indonesia. Cita-cita tertinggi Gus Dur ialah melihat Indonesia berkembang menjadi negara demokrasi damai yang menghargai perbedaan, multikulturalisme, kesetaraan, dan kewargaan yang menjamin hak-hak minoritas.

Moderasi beragama

Warisan tak ternilai Gus Dur perlu terus-menerus dirawat karena tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa yang besar tidaklah pernah sederhana. Terlebih, di era globalisasi ini, persoalan yang ada di hadapan kita semakin kompleks. Terutama, terkait meningkatnya kompetisi antarberbagai elemen bangsa dalam mendapatkan akses-akses ekonomi-politik.

Banyak kalangan berusaha memainkan politik identitas dengan mengeksploitasi simbol-simbol primordial, termasuk agama. Politik identitas mendorong sebagian kalangan menolak untuk mengakui keberadaan kelompok-kelompok lain. Dalam konteks inilah kita membutuhkan tata kelola keragaman keagamaan (management of religious diversity) yang baik sebagai kerangka untuk melindungi keragaman keagamaan dan budaya.

Program moderasi beragama yang sekarang dijalankan pemerintah sebenarnya upaya memperkuat tata kelola keragaman keagamaan bangsa kita yang sempat terseok-seok dihantam terjangan konservatisme dan radikalisme. Moderasi beragama merupakan cetak biru bagi upaya menjawab berbagai problem kekinian. Termasuk, meningkatnya intoleransi dan konservatisme di kalangan masyarakat kita.

Sejumlah riset menunjukkan bahwa tidak banyak orang Indonesia yang punya pemikiran terbuka terhadap kelompok-kelompok keagamaan berbeda, terlebih minoritas. Mereka terkena sindrom toleransi malas (lazy tolerance) karena hanya mau menerima orang yang berbeda agama dengan syarat-syarat tertentu. Moderasi beragama merupakan program strategis nasional yang kehadirannya akan semakin signifikan jika dipadukan dengan upaya kita bersama untuk terus mendorong tegaknya kewargaan, multikulturalisme, dan hak-hak asasi manusia.

Terpilihnya KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua PBNU masa bakti 2021-2026–yang bertekad menghidupkan kembali warisan Gus Dur–menjadi sinyal penting bahwa program moderasi beragama akan benar-benar hadir sebagai mekanisme penataan keragaman beragama yang berujung pada terciptanya kerukunan bersama dan perdamaian. Bukan saja dalam konteks nasional, melainkan juga global.

Ia tidak akan bergeser menjadi alat untuk mendukung kepentingan dan agenda politik tertentu. NU merupakan organisasi keagamaan masyarakat sipil yang menghimpun jutaan masyarakat Indonesia dalam cita-cita bersama mewujudkan keseimbangan, toleransi, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Ia selalu berdiri di depan menjadi kompas bagi perjalanan bangsa kita meraih kejayaan.

_______________

Artikel ini pertama kali dimuat di mediaindonesia.com

Guru Besar Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dekan Fakultas Studi Islam Universitas Islam InternasionaI Indonesia, dan anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.