Setengah abad yang lalu Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan bahwa akan terjadi perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan selamat. Apa yang tidak lebih mengerikan dari perpecahan pada sebuah kaum? Kalau hanya sekedar terpecah dalam segi pemahaman menjadi tujuh puluh tanpa adanya permusuhan itu mungkin akan menjadi hal biasa, karena itu adalah manifestasi dari perbedaan. (et al., 2020)
Menjadi sebuah masalah adalah kemudian kesalingklaiman dari masing-masing golongan terhadap kebenaran tunggal pada dirinya dan menuduh sesat golongan lainnya. Oleh karena hal itu, fardlu kifayah bagi setiap generasi untuk mengajarkan kepada mereka yang tidak memahami ajaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad SAW.
Perlu dipahami bahwa semua golongan dari perpecahan itu mengaku sebagai penganut Ahlissunnah Wal Jama’ah. Semua juga menganggap dirinya sebagai golongan yang benar dan berhak masuk surga. Tidak ada yang mengaku sebagai ahli bid’ah dan sesat.
Menyikapi keadaan ini tentu sebagai generasi muda kita harus bersikap bijaksana. Bahkan kita harus menguji kebenaran dari pengakuan itu dengan cara mencocokkannya dengan Al-Qur’an, Sunah Nabi SAW, dan sunah para sahabatnya. Ahlussunnah Wal Jamaah yang biasa kita singkat menjadi Aswaja berasal dari kata “sunnah” yang berarti “jalan” dan kata “jama’ah” yang berarti golongan orang banyak.
Adapun yang dimaksud dengan “sunnah” adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabatnya. Sedangkan yang dimaksud “jamaah” adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabatnya. Maka pengertian dari Ahlussunnah Wal Jamaah adalah golongan mukminin yang mengikuti sunah Rasulullah SAW dan sunah para sahabatnya. (Zahroh, 2021)
Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan golongan yang mengikuti Imam Al-Asy’ari, yakni orang yang merumuskan akidah ini, dan Imam Al-Maturidi dalam permasalahan akidah. Sedangkan dalam hukum fikih menganut madzhab empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali. Dalam tasawuf berkiblat kepada Imam Al-Ghazali dan Al-Junaidi.
Di era post truth yang sering digambarkan sebagai era matinya kepakaran, the death of expertise (meminjam bahasanya Tom Nichols) adalah masa di mana prinsip sebuah metode berpikir sebagai landasan untuk bertindak dari Aswaja menjadi harga mati yang tidak mungkin ditawar. Kebenaran menjadi kabur, yang terpenting keyakinan dan ego diri, semua bisa bicara meski bukan ahlinya. Itu semua dipercaya masyarakat jika sesuai dengan keyakinan mereka. Artinya, fakta dan kebenaran bukanlah hal yang terpenting, melainkan informasi berlandaskan emosi dan itu direproduksi secara berulang-ulang melalui media sosial.
Jadi post truth ini bukan lagi peristiwa tunggal. Melainkan penyebaran informasi dengan intensitas luar biasa, sehingga seolah-olah ketidakpedulian terhadap kebenaran telah menjadi norma. Kita hidup di zaman “fakta sia-sia”, sebuah ungkapan singkat untuk meringkas fenomena post truth. Dalam post truth ada kenyamanan dengan berita bohong dan propaganda, yang penting bisa memuaskan hasrat kekuasaan. Manhaj al-Fikr Aswaja Ahlussunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. (Ansori, 2019)
Peran Pesantren
Dalam hal ini pesantren menjadi sangat penting untuk ikut andil dalam proses kaderisasi intelektual para santri. Sejauh ini proses keilmuan yang masih bisa dipertanggungjawabkan adalah komunitas pesantren. Salah satu buktinya adalah keberpihakan memilih kajian dan menyaring beberapa pengetahuan dengan sistem sanad atau isnad. Tradisi akhdzu sanad atau etika mengambil sanad masih menjadi sakral dalam beberapa pondok pesantren. Dalam arti lebih luas, para santri tidak boleh berguru dan mengambil ilmu dari seorang yang tidak diketahui dengan jelas pengambilan ilmunya (gurunya).
Beberapa literatur menyebutkan pentingnya mengambil ilmu dari sumber yang dapat dipercaya. Misalnya sebagian ulama meyakini bahwa ilmu adalah agama itu sendiri, oleh karena itu dalam pengambilannya tidak boleh sembarangan.
Al-ilmu ad-dinu fandzuru an man ta’khudzuna dinaa. Disebutkan bahwa ilmu adalah jalan atau agama itu sendiri, sehingga pemahaman agama dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sangat berkaitan dengan kualitas para santri dalam memenuhi setiap bidang keilmuannya. Rata-rata para santri yang mengkaji sesuai dengan kapasitas kemampuannya dan benar jalur sanadnya, ia cenderung lebih berhati-hati dalam menyimpulkan kasus atau kejadian yang sedang terjadi.
Oleh karena itu potensi para santri di pondok pesantren untuk berbicara tanpa keahlian yang dimiliki sangat minim. Berbicara soal matinya kepakaran adalah persoalan yang perlu ditelisik sampai dalam. Bisa jadi ada kesalahan dalam proses pengambilan ilmunya. Namun sayangnya fenomena seperti ini sudah menjadi hal yang mengakar di lingkungan kita. Sehingga pemandangan perdebatan orang biasa dengan seorang profesor atau intelektual di ruang publik sudah menjadi hal yang biasa.
Pemahaman Aswaja sebagai manhaj al-fikr adalah metode dalam berpikir yang dilahirkan dan dirumuskan oleh orang-orang pesantren. Maka dari itu berangkat dari sini kajian-kajian yang diperjuangkan oleh para kiai dan santri jangan sampai dipahami mentah-mentah oleh sebagian golongan yang kualitas keilmunnya masih diragukan. Hal ini adalah solusi agar pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah tidak dieksploitasi dan dibelokkan ke arah kepentingan yang kurang menguntungkan. (Ansori, 2019)
Dari pembahasan ini setidaknya menjadi otokritik bagi para santri yang berkutat dalam kajian-kajian kepesantrenan, sebab literasi klasik soal kajian Aswaja semuanya berangkat dari generasi salaf yang karya-karyanya masih dikonsumsi di setiap pondok pesantren. Sementara post truth atau matinya kepakaran adalah bentuk yang muncul karena kurangnya konsumsi keilmuan dan minimnya pembendaharaan ilmu yang diraih, atau bisa saja karena proses pengambilan ilmunya tidak jelas sumbernya. Wallahu a’lam