Pro-Kontra Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan Musala: Ingat Pesan Gus Dur!

Sejak beredarnya Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang dikeluarkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, sudah muncul banyak pro dan kontra. Meskipun kedua kubu itu belum tentu sudah membaca atau telah memahami SE tersebut. Ditambahkan kemudian beredar potongan video dan liputan beberapa media online atas penjelasan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas terkait SE saat berada di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.

Sejak itu pula, semakin banyak orang lebih tertarik mendengar hingga menilai penjelasan itu. Bukan untuk membaca, apalagi memahami SE tersebut. Bisa dikatakan, banyak netizen (sebutan masyarakat digital) yang hanya berbekal membaca judul sebuah berita, potongan video, hingga komentar atas komentar orang, lalu ikut berkomentar atau setuju dengan kesimpulan yang ditawarkan. Bahwa Menteri Agama, sedang mendiskriminasi umat Islam. Bahkan ada yang melaporkannya dengan dugaan penistaan agama, seperti yang dilakukan oleh Roy Suryo dan Kongres Pemuda Islam (KPI).

Salah satu teman istri saya, mengunggah beberapa konten dalam story Whatsapp-nya. Salah satunya video Tik Tok yang menyatakan sebuah pertanyaan, bahwa dia (Menteri Agama) punya dendam apa dengan Islam? Salah satu yang lainnya juga semacam itu.

Awalnya, saya tersenyum saat melihat story itu. Namun, lama-kelamaan, saya merasa gelisah. Betapa mudahnya menyetujui sebuah penyataan, hanya karena penyataan itu dianggap membela Islam. Tanpa mengetahui benar tidaknya pernyataan itu.

Dari situ, saya jadi teringat dengan salah satu tulisan Gus Dur. Yang akhirnya juga menjadi judul sebuah buku kumpulan tulisan Gus Dur: “Tuhan Tidak Perlu Dibela.”

Di situ Gus Dur menulis, berdasarkan pendapat Kiai Tarekat dan sebagaimana dikatakan Al-Hujwiri, “Informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu ‘dilayani’. Cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang ‘positif konstruktif’. Kalau gawat, cukup dengan jawaban yang mendudukkan persoalan secara dewasa dan biasa-biasa saja. Tidak perlu dicari-cari.

Jadi, segala bentuk tuduhan atas SE yang dianggap mendiskriminasi Islam, haruslah dipahami dengan informasi yang cukup dan benar. Tidak hanya mendahulukan rasa takut yang berlebihan, rasa curiga yang berlebihan, hingga perasaan marah. Sejatinya Tuhan saja tidak perlu dibela saat ada yang menghina-Nya. Begitu juga dengan Islam. Lebih-lebih itu terkait mengatur pengeras suara. Bukan membatasi sebuah ibadah.

Berdasarkan hal itu, pertama-tama mari kita bersama-sama membaca SE itu. Saya telah membaca SE dengan seksama dan dalam situasi yang tenang. Lalu berpikir, di mana letak kalimat atau aturan yang mendiskriminasi Islam dalam SE? Jawabnya tidak ada. Hal itu memang perlu diatur karena berkaitan dengan sesama warga Negara. Agar menjalani kehidupan bersama dengan nyaman dan tentram.

Bahkan ketika saya mencoba bertanya kepada seseorang yang berkomentar negatif atas SE itu, “Apakah sudah membaca SE Menteri Agama terkait Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala?” Dia hanya membaca pesan saya. Bisa saja memang dia belum membaca SE. Bisa juga telah pesimis dengan saya, yang sudah distigma sebagai pembela Menteri Agama. Padahal tidak demikian.

Lalu saya juga bertanya kepada seorang teman. Adik angkatan saya sewaktu kuliah, yang sekarang menjadi ketua Takmir Masjid di Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan. Sembari saya kirimi SE-nya. Komentarnya, “Bagus peraturannya.”

Yang kedua, kaitannya dengan upaya yang dilakukan Menteri Agama dalam menjelaskan SE saat berada di Pekanbaru, seyogyanya tidak berlebihan dalam menanggapinya. Lebih-lebih sudah ada penjelasan maksud dari penjelasan itu secara resmi. Harusnya selesai sudah.

Andai penjelasan itu dipaksakan dianggap sebagai upaya menistakan agama Islam, kemudian keputusan pengadilan menyatakan terbukti menistakan agama Islam, bukankah hanya akan memupuk rasa takut, rasa curiga, dan waspada yang berlebihan terhadap sesama warga masyarakat yang majemuk di Indonesia? Lalu ketika pengadilan memutuskan sebaliknya, akankah muncul tuduhan pemerintahan saat ini menginginkan Islam hancur? Hal itu jelas tidak menyelesaikan persoalan kita dalam beragama dan dalam kehidupan bernegara.

Oleh karenanya, mestinya kita menjalankan kehidupan beragama sebagaimana yang telah diajarkan oleh Gus Dur. Bahwa “Informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu ‘dilayani’. Cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang ‘positif konstruktif’. Kalau gawat, cukup dengan jawaban yang mendudukkan persoalan secara dewasa dan biasa-biasa saja. Tidak perlu dicari-cari.” Mudah diucapkan, sulit dilakukan bukan?

Koordinator Komunitas Gitu Saja Kok Repot (KGSKR) GUSDURian Pasuruan. Dosen UNU Pasuruan. Ketua LTNNU PCNU Kabupaten Pasuruan.